Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Citra Satelit Mata-mata AS Ungkap Hilangnya Area Persawahan di Pulau Bali, Berganti Jadi Apa?

Baca di App
Lihat Foto
tangkapan layar Nusantara Atlas
Perbandingan citra satelit Bali 1960-an dengan kondisi saat ini
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Sebuah citra satelit mengungkap perubahan mencolok yang terjadi di Pulau Bali 60 tahun yang lalu.

Citra satelit itu berupa peta interktif yang diterbitkan oleh Nusantara Atlas, menunjukkan perbandingan gambar citra satelit yang baru dan yang telah dideklasifikasi dari tahun 1965.

Gambar tersebut memperlihatkan perubahan daerah-daerah populer di Bali seperti Seminyak dan Canggu.

Wilayah tersebut yang dulunya merupakan area persawahan dan hutan kini menjelma menjadi tempat yang penuh dengan pusat perbelanjaan, resor-resor besar, dan vila-vila yang menjulang tinggi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Profil Wayan Koster-Giri Prasta, Gubernur-Wakil Gubernur Bali 2025-2030

Persawahan di Bali hilang di tengah pembangunan pariwisata

Dilansir dari The Guardian, Senin (24/2/2025), pendiri Nusantara Atlas sekaligus ilmuwan lingkungan David Gaveau, yang telah lama tinggal di Bali, telah melakukan pengamatan terkait masifnya pembangunan pariwisata.

Lebih dari satu dekade dirinya tinggal di Bali, melibatkan diri dalam diskusi mengenai pariwisata berkelanjutan di tengah laju pembangunan yang masif.

“Semua orang tahu Bali telah berubah, hanya saja kita tidak tahu di mana dan bagaimana, sekarang kita bisa melihatnya,” kata Gaveau

Pembangunan yang telah berlangsung selama puluhan tahun telah mengubah wajah Bali sebagai pulau liburan paling terkenal di Indonesia.

Namun, seiring perubahan yang telah berlangsung lebih dari setengah abad, muncul keluhan dari masyarakat lokal dan asing seputar kemacetan hingga polusi. 

Selain itu juga perilaku buruk orang asing yang datang bersama dengan hotel-hotel dan resor-resor yang sekarang membanjiri pulau ini.

Baca juga: Kronologi Pelajar Putri Dirampok dan Dianiaya Seorang Pria di Kuta Selatan Bali

Citra didapatkan dari satelit yang dulunya mata-mata AS

Citra satelit yang menggambarkan sejumlah perubahan lokasi di Bali 60 tahun lalu diambil oleh satelit mata-mata Amerika Serikat KH-7 Gambit pada bulan Mei 1965.

Dikutip dari Nusantara Atlas, (3/2/2025) satelit KH-7 Gambit yang dulunya merupakan satelit rahasia yang digunakan dalam misi pengintaian AS era Perang Dingin.

Citra monokrom ini memiliki resolusi tanah yang menakjubkan sebesar 0,61–0,91 meter yang memungkinkan untuk melihat wilayah Pulau Bali dengan detail pada enam dekade lalu.

Satelit tersebut memusatkan perhatian pada bentangan pantai selatan dari Uluwatu sampai ke daerah dataran tinggi Ubud.

Satelit yang aktif antara tahun 1963 dan 1967 ini merupakan satelit pertama di Amerika Serikat yang secara konsisten mampu menghasilkan foto-foto beresolusi tinggi.

Film-film pra-digital dikumpulkan di udara oleh pesawat yang dilengkapi peralatan khusus di dekat Hawaii dan dikembalikan ke bumi untuk diproses. 

Satelit ini biasanya mengorbit di atas wilayah Soviet dan dirancang untuk memotret silo rudal Soviet dan target lainnya.

Baca juga: Khasan Askhabov Dibebaskan dalam Kasus Perampokan WN Ukraina di Bali, Apa Alibinya?

Beberapa dekade kemudian, foto-foto tersebut juga menceritakan kisah lain tentang pembangunan di Asia Tenggara, seperti pariwisata yang telah mengubah lanskap dan cara hidup masyarakat.

Gaveau mengatakan bahwa pemilihan waktu pengambilan foto-foto tersebut sangat penting karena bandara internasional Bali baru dibuka beberapa tahun kemudian, yaitu pada tahun 1968.

Pembangunan bandara tersebut memicu ledakan pariwisata yang membuat Pulau Bali menjadi salah satu tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi di Asia.

Populasi meningkat dan mata pencaharian berubah di Bali

Dalam perkembangannya menjadi pariwisata internasional, populasi Bali telah mengalami peningkatan lebih dari 2 juta penduduk sejak 1960 an.

Menurut data Badan Pusat Statistik, saat ini penduduk Bali telah mencapai 4,32 juta jiwa. 

Sementara itu, ada sekitar setengah juta wisatawan mengunjungi Pulau Bali setiap bulannya. Serta semakin banyak pula wisatawan digital yang berdatangan ke pulau ini.

Tahun ini, pemerintah provinsi Bali juga berharap untuk mencapai rekor 6,5 juta wisatawan internasional.

Baca juga: LHKPN Raffi Ahmad: Punya 9 Bidang Tanah di Bali, Berikut Rinciannya

Anggota Walhi Bali, Ida Bagus Aria Yoga Dharata menyebut, gambar citra satelit tersebut akan membantu dalam mengadvokasi pelestarian lingkungan hidup di Bali.

Perubahan yang dialami Bali saat ini menunjukkan adanya sebuah pengikisan budaya masyarakat itu sendiri.

“Orang-orang datang ke sini karena budayanya. Orang Bali sangat terhubung dengan alam, satu sama lain, dengan Tuhan, dan tidak ada tempat lain yang seperti ini,” kata Dharata.

“Jika hal itu hilang, maka Bali tidak ada bedanya,” imbuhnya.

Seorang ahli konservasi Bali, Chakra Widia juga menyadari adanya perubahan cara pandang masyarakat saat ini terhadap kegiatan ekonomi.

Saat ini, banyak petani yang tidak lagi melihat pertanian sebagai mata pencaharian yang layak.

Namun, kebanyakan justru lebih memilih menjual tanah mereka untuk dibangun vila dan hotel.

Daerah seperti Canggu, yang dulunya dipenuhi dengan sawah, dalam beberapa tahun terakhir telah digantikan oleh deretan butik dan vila.

“Dulu pertanian padi menjadi tulang punggung, tapi sekarang adalah pariwisata,” kata Widia. 

Baca juga: Khasan Askhabov Dibebaskan dalam Kasus Perampokan WN Ukraina di Bali, Apa Alibinya?

Pemerintah tolak pembatasan pembangunan vila dan hotel di Bali 

Pada bulan Oktober 2024, politisi Bali dan nasional mengusulkan moratorium (pembatasan pembangunan hotel dan vila) selama dua tahun.

Tujuannya untuk membatasi pembangunan baru, di tengah meningkatnya kekhawatiran tentang pariwisata yang berlebihan dan degradasi lingkungan.

Namun, Gubernur Bali, Wayan Koster menolak kebijakan tersebut dan memilih memperketat aturan pembangunan.

Pada masa jabatan pertamanya, antara tahun 2018 dan 2023, Koster juga memberlakukan pungutan pajak pariwisata sebesar Rp 150.000 rupiah.

Namun, tingkat pengumpulan pajak tidak berjalan optimal, hanya 35 persen pengunjung yang membayar pajak.

Anggota DPRD Bali yang vokal dalam menyuarakan tantangan-tantangan yang dihadapi pulau ini, Niluh Djelantik memandang kebijakan tersebut kurang tepat.

Namun bukan berarti ia menolak atau menentang pembangunan.

Niluh Djelantik hanya ingin melihat penegakan yang lebih ketat terhadap peraturan yang ada, termasuk orang asing yang bekerja secara ilegal dan penggunaan pajak turis yang lebih baik.

“Kita mengundang turis yang salah, mereka mengambil keuntungan dari sistem kita,” katanya.

“Saya tidak menentang pariwisata, tetapi bagaimana kita perlu niat yang benar, untuk menciptakan kebahagiaan bagi masyarakat Bali,” pungkasnya.

Baca juga: Mengenal PARQ Ubud, Kampung Rusia di Bali yang Kini Ditutup

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: Guardian
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi