SENIN pagi pukul 8:15 waktu Jepang, bom atom yang dijuluki "Little Boy", dijatuhkan oleh pesawat pengebom Amerika Serikat, B-29 Enola Gay.
Setelah menghantam tanah, ledakan dahsyatnya menciptakan cendawan api yang menjulang tinggi ke langit, menewaskan sekitar 140.000 orang, dan menghancurkan sebagian besar kota Hiroshima.
Di tengah kepulan asap hitam yang menyembur dari jantung Hiroshima pada 6 Agustus 1945, sebatang pohon terkulai—kulitnya hangus, dahan-dahannya seperti tangan yang terluka menjulur ke langit kelam.
Namun di antara reruntuhan, akar Ginkgo biloba berusia 200 tahun di kuil Housenbou terus berdenyut.
Enam bulan kemudian, tunas hijau muncul dari pangkalnya yang retak, seolah berkata: "Kematian hanyalah ilusi bagi yang akarnya menyatu dengan Sang Sumber."
Fosil daun Ginkgo di lapisan batu Kapur, Heilongjiang, Tiongkok, masih memperlihatkan venasi seperti peta sungai purba—sama persis dengan daun yang jatuh di taman Masjidil Aqsa hari ini.
Dalam Kitab al-Hayawan karya Al-Jahiz, abad ke-9, biji Ginkgo disebut "buah yang membisikkan hikmah zaman ke zaman”, dikirim pedagang Sufi dari Nusantara ke Baghdad sebagai simbol kesabaran.
Sementara di Mundaka Upanishad, dedaunannya yang berbentuk kipas diumpamakan "Vyuha, pola kosmis yang memancar dari pusat Brahman".
Di laboratorium Universitas Kyoto, ilmuwan menemukan ginkgolide B—senyawa dalam daun Ginkgo—mampu merangsang neurogenesis seperti dzikir yang menggetar di dalam qalbu.
Tabib Dinasti Song mencampur ekstraknya dengan madu untuk menguatkan shen (roh), sementara Ibn Sina dalam Al-Qanun fi at-Thib (Canon of Medicine) menulis: "Ramuan pohon bermahkota emas ini menghubungkan memori manusia dengan ‘arasy kebijaksanaan lama".
Di Varanasi, para sadhu membakar daun Ginkgo kering sebagai dupa, asapnya meliuk mengeja aksara Om di antara kabut Sungai Gangga.
Di halaman Kuil Gu Guanyin, Tiongkok, sebatang Ginkgo berusia 1.400 tahun menjatuhkan daun emasnya setiap musim gugur, membentuk lautan lingkaran konsentris—mirip mandala yang terus tercipta dan musnah.
Seorang darwis dari tarekat Naqsyabandiyah pernah berbisik: "Lihatlah ia! Tak ada daun yang sama, tapi semua berasal dari dahan yang satu. Inilah makna Wahdatul Wujud."
Sementara di ashram Rishikesh, guru Vedanta mengusap batangnya yang berlekuk: "Ia tak pernah berusaha menjadi beringin atau lotus. Hanya menjadi dirinya—itu saja cukup untuk abadi."
Pada 1993, NASA menanam Ginkgo di biosfer tertutup Arizona. Dalam kegelapan ruang besi, pohon itu tetap tumbuh—akar-akarnya merayap mencari cahaya yang tak ada, seperti hati yang tetap berzikir dalam ujian.
Kini, di Taman Andalus, Granada, 99 batang Ginkgo ditanam melingkari air mancur kaligrafi ayat Kursi.
Para peziarah menempelkan dahi ke batangnya, merasakan getaran 200 juta tahun sejarahnya yang bergema dalam diam: "Kami pun bisa bertahan," bisik seorang ibu yang kehilangan anaknya di Aleppo, "selama akar iman masih menancap di tanah ketakterbatasan."
Di tepi Danau Manasarovar, Tibet, ada legenda: Daun Ginkgo pertama jatuh ke bumi saat Shiva menari Tandava penghancuran alam semesta. Dari sana ia tumbuh, menjadi saksi bisu bagi semua yang fana—dan semua yang abadi.
Akarnya menembus bumi, dahannya menyentuh nirvana
Di kompleks Kuil Yongmunsa, Korea Selatan, seekor monyet emas dalam relief kayu abad ke-12, menggenggam daun Ginkgo seperti kitab suci.
Pohon raksasa setinggi 42 meter di sana dikeramatkan sebagai "Surya Namaskar yang membeku" — setiap musim gugur, 300 kg daun emasnya berhamburan membentuk karpet yang memantulkan cahaya bulan purnama.
Para bhikkhu menenunnya menjadi mahkota ritual, sementara sufi dari Kashmir yang berkhalwat di sini berkata: "Inilah Tari Saman para atom; setiap daun yang jatuh adalah zikir daun sebelumnya."
Pada 2021, genom Ginkgo biloba berhasil dipetakan—10,6 miliar pasangan basa, 40.000 gen yang menyimpan memori letusan Toba dan naik-turunnya peradaban Atlantis.
Di Lab Biologi Molekuler Berlin, seorang ilmuwan keturunan Mesir menemukan gen GbWRKY15 yang aktif selama 1.000 tahun, mirip pola aktivasi otak para qari saat menghafal Al-Qur'an.
"Pohon ini," katanya sambil menatap kromosom di layar, "seperti memiliki firmware Langit yang terus memperbarui diri tanpa kehilangan esensinya."
Getah kuning Ginkgo yang beracun bagi serangga, menjadi metafora di kitab Tantra Al-Abyad karya Syekh Abdul Qadir al-Mandili: "Kepahitan perlindungan diri haruslah seperti getah pohon masnu'—menghalau syahwat dunia tapi tak pernah membunuh kupu-kupu iman."
Di pinggiran Delhi, pengrajin minyak obat mengaduk ekstrak daunnya dengan air Zamzam sambil melantunkan Asmaul Husna.
Aroma khasnya yang menusuk—campuran ambar dan tanah lembab — disebut dalam manuskrip kuno sebagai "parfumnya Nabi Idris as ketika menulis ilmu bintang."
Ketika Badai Haiyan menghajar Filipina tahun 2013, enam pohon Ginkgo di taman kota Tacloban tetap tegak di antara 20.000 mayat dan puing.
Akarnya yang menjalar di bawah tanah membentuk pola fraktal sempurna—persis diagram Shatkona dalam yantra Hindu atau segi delapan Isfahan arsitektur Islam.
Kini, di lereng Merapi, Jawa Tengah, kakek-kakek penjaga petilasan menanam biji Ginkgo di kawah yang masih berasap. "Kita perlu penjaga waktu, yang akarnya bisa bicara dengan lava," ujarnya.
Mimpi di bawah kanopi “abadi”
Seorang gadis tunawisma di Shanghai tidur di bawah Ginkgo berusia 800 tahun, saban malam. Dalam mimpinya, ia melihat nenek moyangnya yang pedagang Jalur Sutra mencampur teh daun Ginkgo dengan air wudhu.
"Minumlah, ini ramuan untuk ingatan yang lebih panjang dari usia karavan," bisik suara itu.
Paginya, ia menemukan daun emas utuh di pangkuannya—permukaannya berukiran kaligrafi Arab kuno: "Wa maa khalaqtul jinna wal insa illaa liya'buduun: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku).” Nun di kejauhan, dentang lonceng kuil Buddha bersahutan dengan adzan Subuh.
Di halaman Kuil Mahabodhi, Bodh Gaya, sebatang Ginkgo tumbuh di samping pohon Bodhi keturunan ke-17.
Seorang swami dari Rishikesh duduk bermeditasi di bawahnya, matanya tertutup, napasnya selaras dengan gemerisik daun yang jatuh.
"Lihatlah, Ginkgo ini adalah Brahman yang terwujud dalam bentuk kayu," bisiknya kepada murid-muridnya.
"Akarnya yang dalam adalah Muladhara, dahannya yang menjulang adalah Sahasrara, dan daunnya yang berbentuk kipas adalah Chakra yang berputar dalam keheningan."
Di tepi Sungai Godavari, seorang guru Vedanta menunjuk ke sebatang Ginkgo yang tumbuh di antara dua batu besar.
"Inilah Dvaita dan Advaita, dua batu ini tampak terpisah, tapi akar Ginkgo menyatukannya dalam tanah yang sama," katanya.
Begitu pula dengan kita—meski tampak terpisah, kita semua adalah satu dalam Brahman. Murid-muridnya duduk dalam lingkaran, menatap daun-daun yang jatuh membentuk pola mandala alami, simbol kesatuan dalam keanekaragaman.
Dedaunan yang mewujud kitab suci
Di ashram Pondicherry, seorang sadhaka mengumpulkan daun Ginkgo yang jatuh dan menuliskan mantra Om Namah Shivaya di atasnya.
"Setiap daun adalah halaman kitab suci, yang mengajarkan kita tentang Sanatana Dharma—kebenaran abadi yang tak pernah berubah," katanya.
Daun-daun itu kemudian dibakar dalam api suci, asapnya naik membawa doa dan meditasi ke langit biru.
"Seperti Ginkgo yang tetap sama selama jutaan tahun, kebenaran pun tak pernah berubah," ujarnya.
Di Varanasi, seorang pandit menceritakan legenda tentang Ginkgo yang tumbuh di tepi Sungai Gangga. "Pohon ini telah melihat kelahiran dan kematian tak terhitung jiwa, tapi ia tetap tegak, tak terpengaruh oleh siklus Samsara," katanya.
"Inilah pelajaran bagi kita—untuk tetap teguh dalam Dharma, meski dunia terus berputar."
Para peziarah duduk di bawah pohon itu, merenungkan makna kelahiran dan kematian, sambil mendengarkan gemerisik daun yang jatuh seperti bisikan para leluhur.
Di lereng Himalaya, seorang yogi tua bermeditasi di bawah sebatang Ginkgo raksasa. "Pohon ini adalah guru sejati. Ia mengajarkan kita tentang Moksha—pembebasan dari siklus kelahiran dan kematian. Akarnya yang dalam adalah ikatan kita dengan dunia, dahannya yang menjulang adalah jalan menuju pembebasan, dan daunnya yang jatuh adalah pelepasan dari segala keterikatan," katanya.
Para muridnya duduk dalam keheningan, merasakan kedamaian yang memancar dari pohon itu, seperti Brahman yang hadir dalam segala ciptaan.
Di kuil kuno Kedarnath, sebatang Ginkgo tumbuh di antara reruntuhan batu. Seorang swami duduk di bawahnya, sorot matanya teduh, napasnya lembut mengalun seiring daun yang jatuh.
"Ginkgo ini adalah simbol keabadian dan kesatuan. Ia telah menyaksikan perubahan dunia selama jutaan tahun, tapi esensinya tetap sama. Begitu pula dengan kita—meski tubuh kita fana, jiwa kita langgeng dan satu dengan Brahman," katanya.
Para peziarah duduk dalam keheningan, merenungkan kebijaksanaan yang terpancar dari pohon purba ini, sambil mendengarkan gemerisik daun yang seperti bisikan leluhur manusia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.