“Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”
PERNYATAAN tersebut berasal dari H.O.S Tjokroaminoto, sosok visioner yang dijuluki sebagai Bapak pergerakan Nasional Indonesia. Melalui kepemimpinannya di Sarekat Islam, berhasil menginspirasi lahirnya para pemimpin besar bangsa.
Kalimat tersebut begitu menggugah semangat kebangsaan, bukan? Singkatnya, kalimat itu juga diucapkan oleh H.O.S Tjokroaminoto kepada Ir. Soekarno (Presiden pertama Republik Indonesia) dan murid-murid lainnya.
Kita bersyukur bangsa Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa Indonesia yang memiliki kompetensi luar biasa.
Bahkan, bisa dibilang pendiri bangsa Indonesia adalah mereka yang benar-benar memiliki kompetensi berorasi, menyampaikan gagasan kemerdekaan, berdiplomasi mewujudkan cita-cita bangsa.
Mulai dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, H.O.S Tjokroaminoto, Bung Tomo, H.R. Rasuna Said, dan masih banyak lagi yang sangat inspiratif atas jasanya dalam Republik Indonesia.
Itu mengapa hingga saat ini, pemikiran, pandangan, pidato, dan karya lainnya menjadi kenangan abadi bahwa Bangsa Indonesia didirikan oleh para cendekiawan.
Lantas, setelah 79 tahun Indonesia merdeka, apakah orang-orang seperti para pendiri bangsa kita masih ada atau nyaris punah?
Baca juga: Antisipasi Dampak Buruk Penundaan Pengangkatan CASN 2024
Pada Rabu, 5 Maret 2025, saat Rapat Komisi X DPR RI bersama Kemenpora hingga Ketua Umum PSSI membahas naturalisasi pemain Timnas Indonesia, anggota DPR RI Ahmad Dhani menyampaikan usulan yang kontroversial.
“Kala bisa dicari yang mungkin dari yang rasnya mirip-mirip dengan kita, entah itu dari Korea atau dari Afrika yang mirip-mirip kita gitu. Enggak masalah banyak, engga ada masalah, yang penting warnanya, warna kulitnya masih seperti kita, karena bule itu dilihatnya kayaknya sepertinya gimana gitu lho pak, itu tujuan usulan saya,” katanya.
Pernyataan kontroversi lainnya: “Naturalisasi tidak harus itu pemain, bisa juga yang sudah diatur usia 40 tahun, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat. Kita jodohkan dengan perempuan Indonesia. Nah, anaknya itu yang kita harapkan menjadi pemain bola yang bagus. Ini jadi pemikirannya agak out of the box, tapi bisa dianggarkan untuk 2026 programnya.”
Bayangkan, pernyataan tersebut datang dari seorang Anggota DPR yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga yang orang-orangnya dipilih melalui Pemilihan Legislatif. Menyedihkan, bukan?
Tidak ada sisi pengetahuan hingga teknokratik dari yang diucapkan. Padahal, sejak berangkat dari rumah hingga sampai di DPR, negara memberikan fasilitas yang begitu fantastis terhadap seluruh anggota DPR.
Kalau dibedah lebih dalam, pernyataan “Naturalisasi tidak harus itu pemain, bisa juga yang sudah diatur usia 40 tahun, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat. Kita jodohkan dengan perempuan Indonesia,” seharusnya tidak keluar dari seorang pejabat publik, apalagi di dalam rapat formal di dalam gedung negara.
Bukan hanya kesalahan dari etika pejabat publik, tapi mendiskreditkan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Bahkan kalau dikaji lebih dalam, berpotensi merendahkan martabat perempuan Indonesia.
Baca juga: Komnas Perempuan Kecam Usulan Ahmad Dhani soal Pemain Naturalisasi
Komnas Perempuan menilai usulan Dhani tersebut melecehkan perempuan dan merendahkan martabat Indonesia.
"Pernyataan AD dinilai melecehkan karena menempatkan perempuan sekedar mesin reproduksi anak, pelayan seksual suami," ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani.
Kegagalan komunikasi pejabat publik tersebut bukan pertama kali terjadi. Ada sejumlah pejabat yang melakukan hal yang sama.
Baru-baru ini, juga ramai dibahas di media sosial, seorang bupati yang membalas komentar seorang warga dengan ucapan yang tidak pantas.
Lantas, menjadi pertanyaan kontemplatif bagi masyarakat, apakah masih ingin mencari pemimpin sekadar popularitas atau punya kompetensi dan kualitas? Apakah memilih pemimpin yang bisa "ngomong strategis dan penting" atau "yang penting ngomong"?
Salah satu hal penting yang mengakibatkan gagalnya komunikasi pejabat adalah tidak bisa membedakan saatnya menjadi seorang individu dan saatnya menjadi seorang pejabat publik.
Ketika dua-duanya dilakukan oleh satu orang secara bersamaan, maka ada kemungkinan melanggar etika komunikasi sebagai pejabat publik, hingga kemungkinan konflik kepentingan.
Dalam buku “Public Relations: Strategies and Tactics" yang ditulis Dennis L. Wilcox dan Glen T. Cameron, gaya komunikasi yang buruk dari pejabat publik dapat mengindikasikan kebijakan yang tidak dipikirkan dengan baik atau tidak memiliki dukungan publik yang memadai.
Baca juga: Antara Danantara dan Merebut Pasar Kerja Dunia
Mereka juga menekankan bahwa komunikasi yang efektif adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan dukungan terhadap kebijakan.
Artinya, gaya komunikasi pejabat publik yang tidak efektif ada kaitannya dengan pengambilan keputusan dan kebijakan di Indonesia yang "ugal-ugalan".
Jangan sampai komunikasi pejabat publik justru menyayat hati rakyat. Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidup dengan kebijakan pemerintah.
Etika komunikasi pejabat publik haruslah memperhatikan kejujuran, penghormatan, tanggung jawab, dan konsistensi dalam menyampaikan pesan.
Gaya komunikasi pejabat publik tidak hanya penting untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun kepercayaan, memengaruhi opini publik, dan memperkuat citra negara.
Semoga pejabat publik yang ada saat ini segera merenung, mengingatkan kembali, dan meneladani para pendiri bangsa kita, bahwa bangsa Indonesia didirikan oleh orang-orang yang berjiwa besar, nasionalis, dan berkualitas, bukan sekadar popularitas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.