Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompolnas Buka Suara soal Kasus Salah Tangkap Pencari Bekicot di Grobogan, Jawa Tengah

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
20240708 FT01: Ilustrasi Polisi. Kata Kompolnas soal Kasus Salah Tangkap Pencari Bekicot di Grobogan, Jawa Tengah
|
Editor: Resa Eka Ayu Sartika

KOMPAS.com - Komisi Kepolisian Nasional atau Kompolnas buka suara terkait kasus salah tangkap yang terjadi di Grobogan, Jawa Tengah pada Minggu (2/3/2025) malam sekitar pukul 22.00 WIB.

Tindak salah tangkap itu dilakukan oleh anggota Polsek Geyer berinisial Aipda IR terhadap pencari bekicot Kusyanto (38).

Kusyanto yang merupakan warga Desa Dimoro, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah menjadi korban salah tangkap usai dituduh mencuri pompa air.

Insiden itu terjadi ketika dirinya sedang rehat saat di sela-sela aktivitasnya mencari bekicot. Kusyanto sempat kebingungan saat beberapa aparat menghampiri dan menangkapnya dengan paksa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faktanya, pria itu tidak terbukti mencuri tetapi telanjur ketiban apes dan mengalami kerugian lantaran dirinya menerima kekerasan fisik serta psikis.

Akibat peristiwa ini, Kusyanto mengaku mengalami trauma berat karena mendapat tindak persekusi oleh aparat.

"Walau orang kecil, saya tidak pernah mencuri. Saya dipaksa mengaku maling, padahal saya bukan maling. Saya meminta oknum itu meminta maaf dan pulihkan nama baik saya. Saya takut dan malu," tutur pria lulusan SD itu, dikutip dari Kompas.com, Minggu (9/3/2025). 

Video tindak persekusi aparat terhadap Kusyanto viral di media sosial. Dilihat dari video tersebut, Kusyanto tampak pasrah ketika diintimidasi oleh IR.

Dia hanya terduduk di kursi dengan kedua tangannya terikat dibelakang saat anggota polisi menginterogasinya.

Kini, Kusyanto meminta anggota Polsek Geyer untuk meminta maaf secara langsung kepada dirinya, keluarga, dan desa. Dia berharap, agar nama baiknya bisa kembali dipulihkan atas insiden salah tangkap tersebut.

Baca juga: Korban Salah Tangkap G30S, Mengapa Pierre Tendean Tetap Dibunuh?

Kompolnas: Polisi tidak boleh asal tangkap warga

Ketua Harian Kompolnas, Arief Wicaksono Sudiutomo tidak membenarkan tindak salah tangkap yang dilakukan anggota Polsek Geyer, Aipda IR terhadap pencari bekicot di Grobogan, Jawa Tengah.

"Mestinya polisi tersebut harus bertindak lebih hati-hati dalam proses lidik setelah menerima informasi tentang adanya suatu tindak pidana," kata dia, saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin (10/3/2025).

Arief menegaskan, petugas yang belum punya bukti yang cukup, tidak boleh asal menangkap warga. Apalagi hingga melakukan tindak kekerasan.

Hal itu melanggar Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Pencabutan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.

Bahkan, Arief berkata, dalam hal petugas kepolisian telah memiliki bukti yang cukup, penangkapan harus dilakukan dengan menghormati hak asasi manusia (HAM) yang melekat pada terduga pelaku.

Dalam hal aparat kepolisian telanjur melakukan tindak salah tangkap, maka wajib meminta maaf kepada korban.

Selain itu, aparat yang bersangkutan juga akan dikenai sanksi dan direhabilitasi.

"Kalau itu sudah terlanjur dilakukan, yang bersangkutan (petugas kepolisian) harus diberi sanksi dengan tindakan melanggar tidak profesionalisme dalam melaksanakan tindakan kepolisian, bisa kena proses Komisi Kode Etik Polri (KKEP) oleh Propam," tandas dia.

Baca juga: Salah Tangkap oleh Aparat, Apakah Bisa Dituntut Balik?

Pengakuan bukan bukti pengungkapan peristiwa hukum

Dihubungi terpisah, Komisioner Kompolnas, Choirul Anam mengatakan, tindak penangkapan yang dilakukan anggota Polsek Geyer itu sangat salah.

Dia menyampaikan bahwa dalam pengungkapan peristiwa hukum, telah terjadi satu perubahan paradigma.

"Ada satu paradigma yang sudah berubah bahwa yang namanya pengungkapan sebuah peristiwa hukum itu, pengakuan bukan menjadi bukti," tegas Choirul, saat dihubungi Kompas.com, Senin.

Dia menjelaskan, dalam kasus salah tangkap di Grobogan, Jawa Tengah, aparat kepolisian masih menggunakan paradigma lama di mana pelaku memaksa orang untuk mengaku.

Menurut Choirul, paradigma lama itu adalah tindakan yang sangat salah untuk dilakukan.

Di sisi lain, Kompolnas juga mengapresiasi langkah yang sudah diambil Propam dalam mempatsuskan dan mengamankan pelaku.

"Kami juga mendorong Propam tidak berhenti di patsus, tetapi juga melakukan pemeriksaan yang mendalam dan membawa ini ke sidang etik," tegasnya.

Baca juga: Polisi Ungkap Modus Pengoplosan Pertalite di SPBU Medan, Warga Tertipu Selama 8 Bulan

Mengapa kasus salah tangkap terjadi berkali-kali?

Kasus salah tangkap oleh aparat kepolisian bukan kali pertama terjadi di Indonesia.

Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), kasus salah tangkap yang dilakukan pihak kepolisian mencapai 15 kasus dalam periode Juli 2023-Juni 2024.

Diberitakan Kompas.com (2024), Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya menyebut bahwa peristiwa salah tangkap itu menyebabkan para korban mengalami luka-luka. 

Melihat data tersebut, kasus salah tangkap sudah terjadi berulang kali.

Menurut Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, banyak faktor yang menjadi penyebab kasus salah tangkap terus berulang.

"Karena mindset anggota polisi tersebut jauh nilai-nilai moral yang harusnya dimiliki anggota Polri. Bahwa sesuai janjinya dan kewenangan yg diberikan pada negara adalah melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Melindungi dan mengayomi masyarakat ini berarti melindungi keselamatan semua anggota masyarakat," kata dia, saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin.

Dia menambahkan, faktor berikutnya adalah ketidakprofesional aparat sebagai penegak hukum dan asas perlindungan dari pelanggaran hukum yang seharusnya tidak terjadi.

Menurut dia, anggota polisi juga harus bertindak sesuai dengan SOP yang berlaku.

"Bila tidak taat SOP, artinya mereka jauh dari kata profesional, dan bisa jadi menyalahgunakan kewenangan," kata dia.

Baca juga: Judi Online Makan Korban Aparat TNI dan Polri, Bukti Bom Waktu Berantas Setengah Hati?

Bambang menambahkan, memukuli seseorang yang diduga pelaku bahkan belum ditetapkan sebagai tersangka merupakan tindak kejahatan yang melanggar SOP.

"Harus ada sanksi yang harus diberikan, mulai demosi bahkan PTDH bila sampai terduga bahkan tersangka menjadi cacat atau meninggal dunia," tandas dia.

Menurut pendapat Bambang, berikut sederet faktor yang menyebabkan kasus salah tangkap terus berulang-ulang terjadi:

  • Anggota tersebut tidak paham peraturan kepolisian
  • Arogansi personal
  • Sakit mental yang perlu diperiksa ke ahlinya
  • Sanksi dari institusi tidak membuat efek jera
  • Kontrol dan pengawasan melekat di internal tidak berjalan dengan baik.

Bambang menjelaskan, bila ada indikasi pada poin 1-3, artinya personel tersebut tidak profesional dan harus dievaluasi kewenangannya sebagai anggota profesi Polri.

"Sanksi yang diberikan bisa saja mencopot dari profesi Polri, dan cukup dijadikan PNS Polri yg tidak memiliki kewenangan dan kepangkatan Polri," tandas Bambang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi