KOMPAS.com - Nama Waitatiri mungkin sebelumnya tidak pernah terdengar di telinga kita.
Namun, beberapa hari belakangan, namanya menjadi sorotan publik setelah bukunya berjudul "The Missing Colors" dijadikan bahan ajar di Harvard dan beberapa sekolah di Amerika Serikat.
Waitatiri merupakan alumni UI dan awardee LPDP yang melanjutkan studi S2 di Harvard University.
Buku karyanya ini mengangkat isu bullying pada anak-anak. Buku ini menceritakan bagaimana seorang anak melalui perasaan kelabunya saat menjadi penyintas bullying.
Sementara itu, anak-anak lain digambarkan memiliki warna yang cerah atau memiliki perasaan yang gembira.
Buku bergambar ini dapat menjadi bahan diskusi anak-anak mengenai hal-hal yang membuat hatinya senang atau sedih, melalui perumpamaan warna-warna yang digunakan dalam buku.
Lantas, bagimana proses pembuatan buku The Missing Colors sampai dijadikan bahan ajar di Harvard?
Baca juga: Celline Wijaya: Sidang Tesis di Harvard Sambil Menggendong Anak, Momen Menginspirasi
Berawal dari proyek akhir di sebuah kelas
Perempuan yang akrab disapa Wai ini memulai pembuatan buku ini sebagai proyek akhir di kelas Education in Uncertainty (Pendidikan di Situasi Ketidakpastian).
Kelas ini mempelajari pendidikan anak-anak yang berada di situasi ketidakpastian. Situasi tersebut mencakup lingkungan perang, negara yang sedang krisis, pengungsi, dan lain sebagainya.
Bagi Wai, anak-anak penyintas bullying juga berada dalam situasi ketidakpastian. Mereka berada pada situasi belum tahu besok masih bisa sekolah atau tidak.
"Aku merasa bullying (terutama di Indonesia) juga merupakan situasi ketidakpastian. Sebab, banyak anak-anak di Indonesia para korban bully yang berujung parah, seperti cedera berat, cacat permanen, hingga meninggal dunia," ungkap Wai pada Kompas.com (14/3/2025).
Baca juga: Penyebab Anak Jadi Pelaku Bullying, Pakar: Dua-duanya Itu Korban!
Perempuan lulusan UI itu mengerjakan buku The Missing Colors sebagai penugasan proyek akhir di kelas tersebut.
Sebenarnya, proyek akhir bisa dibuat dalam bentuk apapun. Namun, Wai memilih dalam bentuk buku.
"Karena aku punya latar belakang di bidang penulisan kreatif dan pernah menulis buku di tahun 2014 lalu, aku mengajukan untuk membuat proyek akhir dalam bentuk buku anak. Kemudian mendapat sambutan baik oleh dosen," lanjut Wai.
Dari sinilah buku The Missing Colors terlahir. Buku bergambar ini menggunakan dua bahasa, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.
Mendapat respons yang baik dari dosen
Wai mengungkapkan bahwa karyanya mendapat nilai sempurna. Selain itu, ia juga diminta untuk menjadi salah satu perwakilan kelas di pameran proyek akhir.
Di sana, dirinya mempresentasikan proses pembuatan buku The Missing Colors.
Tidak hanya itu, dosennya juga menawarkan untuk memfitur buku tersebut di website Harvard REACH.
Situs tersebut berisikan resources untuk pendidik, peneliti, dan pembuat kebijakan di bidang pendidikan.
"Beberapa bulan terakhir, aku banyak berkoordinasi dengan dosenku dan tim Harvard REACH untuk membuat kurikulum K-3 (TK–SD Kelas 3) berdasarkan buku tersebut," terang Wai.
Sejak April lalu, buku dan kurikulumnya telah resmi menjadi resource untuk pendidik di Harvard REACH.
Kurikulum dan bukunya bisa diakses gratis oleh siapa saja dan disebarkan ke sekolah-sekolah di Amerika.
Baca juga: Pernah Jadi Korban Bullying, Tika Bravani Waswas dengan Anaknya
Mengangkat isu bullying dari angle yang berbeda
Wai menyuarakan isu bullying karena terinspirasi dari banyaknya berita bullying yang ia dengar.
"Bahkan ketika masih di US saja aku banyak sekali terpapar dengan berita bullying di Indonesia yang tak jarang memakan korban jiwa. Aku mau membuat komunikasi mengenai bullying, tapi dengan angle yang berbeda," ujarnya.
Bagi Wai, komunikasi mengenai bahaya bullying sudah banyak dilakukan di sekolah, misalnya melalui P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila) dalam Kurikulum Merdeka.
Ia ingin membahas bagaimana kelanjutan bullying bagi para korban, tidak hanya mengenai dampaknya saja.
Baca juga: Mengapa Pelaku Bullying Merasa Bangga Usai Menyakiti Korban? Ini Kata Psikolog
Berdasar keterangan Wai, cerita dalam buku The Missing Colors diangkat dari kisah nyata penyintas bullying.
Narasumber buku tersebut merupakan penyintas bullying di sekolah yang sudah kembali bangkit dan menemukan lingkungan lebih positif.
"Aku rasa buku ini bisa relate dengan anak-anak di Indonesia karena mengangkat praktik bullying di sekolah. Membantu anak untuk lebih berempati kepada korban dan mengerti bahwa tetap ada harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi para korban," terangnya.
Menurutnya, buku dengan perumpamaan warna-warna ini dapat membantu anak-anak memahami dan membedakan emosi positif juga negatif.
Selanjutnya, anak-anak pun dapat berdiskusi dengan orang tua, guru, atau pengasuh.
Buku ini mengajarkan anak untuk menyadari perbuatan orang lain yang membuat emosinya tidak nyaman sehingga dapat membicarakan keadaannya atau berani speak up.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.