Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Guru Besar Cyber Law & Regulasi Digital UNPAD
Bergabung sejak: 25 Sep 2022

Guru Besar Cyber Law, Digital Policy-Regulation & Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Strategi Melindungi Anak di Lingkungan Digital

Baca di App
Lihat Foto
Getty Images via BBC
Ilustrasi anak di bawah umur 16 tahun menggunakan media sosial.
Editor: Sandro Gatra

UNICEF tak henti-hentinya memperingatkan semua negara untuk melindungi anak-anak di lingkungan digital.

Hal ini tentu semakin penting, tatkala Artificial Intelligent (AI) atau yang dikenal sebagai Akal Imitasi, juga berpotensi digunakan sebagai instrumen pengelolaan data anak secara digital.

Organisasi PBB yang bertujuan melindungi, membantu, dan memperjuangkan hak-hak anak-anak di seluruh dunia itu menyatakan, anak-anak menghabiskan lebih banyak waktu daring daripada sebelumnya. Mereka melakukannya lebih cepat.

Dalam laporan resminya “Protecting children online” UNICEF menyebut di seluruh dunia, seorang anak memulai daring untuk pertama kalinya setiap setengah detik, luar biasa!

Lebih dari sepertiga anak muda di 30 negara dilaporkan pernah mengalami perundungan siber, dan 1 dari 5 anak di antaranya membolos sekolah karenanya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laporan UNICEF tentu tak menampik manfaat media digital. Tumbuh besar secara daring menawarkan peluang yang tak terbatas. Melalui komputer, telepon pintar, konsol gim, dan televisi, anak-anak bisa belajar, berimajinasi, dan mengembangkan jaringan sosial mereka.

Bila digunakan dengan cara yang tepat dan dapat diakses oleh semua orang, internet berpotensi memperluas wawasan dan memicu kreativitas di seluruh dunia.

Namun, risiko serius menyertainya. Perundungan siber dan bentuk-bentuk kekerasan antar-teman sebaya lainnya dapat memengaruhi remaja setiap kali mereka masuk ke media sosial atau platform pesan instan. Di sinilah pentingnya strategi Pemerintah.

Baca juga: DNA, Kejahatan Siber, dan Penegakan Hukum

UNICEF berupaya menciptakan lingkungan internet yang aman bagi anak-anak agar mereka dapat belajar, berinteraksi, dan mengekspresikan diri dengan nyaman.

Untuk mewujudkan hal ini, Organisasi itu bekerja sama dengan pemerintah dalam mendorong regulasi yang tepat. Juga menggandeng perusahaan teknologi untuk memastikan penerapan langkah-langkah keamanan yang sesuai pada platform mereka.

Selain itu, UNICEF turut mendukung kementerian pendidikan dalam memberikan literasi digital dan pelatihan keterampilan keamanan daring bagi anak-anak.

Melalui proyek global yang fokus pada hak digital anak, UNICEF mengumpulkan data untuk memahami bagaimana teknologi digital memengaruhi kehidupan anak-anak, termasuk peluang yang ditawarkan serta potensi risiko yang timbul.

Saat menjelajahi internet, anak-anak dapat terpapar ujaran kebencian dan konten kekerasan, termasuk pesan yang memicu tindakan menyakiti diri sendiri, bahkan lebih fatal lagi, bunuh diri.

Hal ini semakin menjadi-jadi tatkala potensi ancaman terdukung kebijakan perusahaan platform dan teknologi yang melanggar privasi anak dalam mengumpulkan data pelanggan demi tujuan pemasaran.

Pemasaran yang menargetkan anak-anak melalui aplikasi dan tampilan layar berlebihan dapat membahayakan perkembangan kesehatan anak.

Hal yang paling mengkhawatirkan adalah ancaman eksploitasi dan pelecehan seksual daring. UNICEF menyebut tidak pernah semudah ini bagi pelaku pelecehan seksual anak menghubungi calon korbannya, membagikan gambar, dan mendorong orang lain untuk melakukan pelanggaran.

Anak-anak dapat menjadi korban produksi, distribusi, dan konsumsi materi pelecehan seksual. Anak juga bisa menjadi objek eksploitasi seksual.

Pelaku kejahatan berusaha menemui mereka secara langsung atau mendesak mereka untuk memberikan konten vulgar secara daring.

Di dunia digital, siapa pun dari lokasi mana pun memungkinkan membuat dan menyimpan konten eksploitatif secara seksual.

Pelaku kejahatan bahkan dapat menyiarkan langsung pelecehan dari dalam rumah mereka, mengarahkan pelecehan terhadap anak-anak sesuai permintaan ke tempat yang jauh.

Laporan itu juga menyebut, sekitar 80 persen anak-anak di 25 negara melaporkan merasa terancam oleh pelecehan atau eksploitasi seksual daring.

Bagi anak yang menjadi korban, hal ini dapat mengakibatkan isolasi sosial, masalah kesehatan mental, penyalahgunaan zat dan obat terlarang, menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.

Hal yang juga disebut sebagai dampak oleh UNICEF adalah peningkatan kemungkinan menunjukkan perilaku kasar di masa mereka dewasa.

Baca juga: Waspada Sextortion, Lindungi Anak-anak di Medsos

UNICEF mendukung respons nasional terkoordinasi untuk melindungi anak-anak dari pelecehan dan eksploitasi seksual daring, dan untuk memastikan bahwa kasus-kasus diselidiki dan dituntut atau diproses secara hukum.

Apa yang terjadi secara daring mencerminkan realitas yang dihadapi anak-anak setiap hari di rumah, di sekolah, dan di komunitas mereka yang lebih luas yang tak dibatasi ruang, waktu, bahkan batas-batas teritorial negara.

Strategi untuk mempromosikan keselamatan daring anak-anak diperlukan, di samping tentu untuk tetap mendorong pemanfaatan teknologi digital untuk pendidikan dan tumbuh kembang anak.

Kebijakan Eropa

Komisi Eropa dalam siaran resminya “A European strategy for a better internet for kids (BIK+)” melaporkan strategi Eropa untuk internet yang lebih baik bagi anak-anak (BIK+) yang diadopsi pada 11 Mei 2022 dan diperbaru secara berkala.

Strategi bertujuan melindungi, menghormati, dan memberdayakan anak-anak secara online dalam era dekade digital yang baru, sesuai dengan Prinsip Digital Eropa.

Strategi ini adalah pengembangan dari Strategi Eropa pertama untuk Internet yang lebih baik bagi anak-anak (BIK), dengan penyesuaian terhadap perubahan teknologi dan legislatif Uni Eropa sejak 2012.

Selain itu, strategi ini juga menyertakan versi ramah anak untuk memastikan pemahaman yang lebih baik di kalangan anak-anak.

BIK+ menekankan pentingnya partisipasi anak-anak dalam implementasi dan pemantauan strategi ini.

Tujuannya untuk menciptakan layanan digital yang sesuai usia di mana setiap anak di Eropa dilindungi, dihormati, dan diberdayakan secara online, untuk memastikan bahwa tidak ada anak yang tertinggal.

Strategi ini dilandasi oleh tiga pilar utama: Pengalaman digital yang aman, pemberdayaan digital, dan partisipasi aktif anak-anak dalam lingkungan digital.

Pilar pertama, menekankan pada pelindungan anak-anak dari konten berbahaya dan ilegal serta risiko online lainnya. Tujuannya menciptakan lingkungan digital yang aman dan sesuai usia untuk anak-anak, yang menghormati kepentingan terbaik mereka.

Pilar kedua, bertujuan memberi anak-anak keterampilan dan kompetensi yang diperlukan, untuk membuat pilihan yang bijak, dan mengekspresikan diri mereka dengan aman dan bertanggung jawab secara online, termasuk bagi anak-anak yang berada dalam situasi rentan.

Baca juga: Waspada Jejak Digital, Lindungi Data Pribadi

Pilar ketiga, menekankan pentingnya memberi suara kepada anak-anak dalam lingkungan digital. Dengan melibatkan mereka dalam aktivitas yang dipimpin oleh anak-anak untuk menciptakan pengalaman digital yang aman dan kreatif.

Melalui portal Better Internet for Kids (BIK), strategi ini akan terus menyediakan sumber daya dan praktik terbaik, bekerja sama dengan jaringan pusat internet yang lebih aman di negara-negara anggota Uni Eropa.

Selain itu, partisipasi anak-anak tetap menjadi prioritas dengan evaluasi yang dipimpin anak-anak terhadap strategi BIK+ setiap dua tahun sekali. Juga meningkatkan aktivitas peer-to-peer di tingkat nasional dan lokal.

Strategi BIK+ menggambarkan komitmen Uni Eropa, untuk melindungi dan memberdayakan anak-anak dalam dunia digital yang terus berkembang.

Pengembangan dari strategi sebelumnya, mencerminkan respons terhadap perubahan teknologi dan regulasi. Hal ini pun menunjukkan bahwa perlindungan anak-anak tidak bisa stagnan, tetapi harus beradaptasi dengan dinamika digital.

Salah satu poin pentingnya adalah, partisipasi anak-anak dalam pengembangan dan pengawasan strategi ini. Hal ini tidak hanya memperkuat suara anak-anak, tetapi juga menciptakan ruang, di mana mereka dapat berperan aktif dalam memengaruhi kebijakan yang berkaitan dengan dunia digital mereka.

Pilar-pilar yang dijelaskan dalam strategi BIK+ menunjukkan pendekatan holistik terhadap perlindungan anak-anak di internet.

Fokus pada pengalaman digital yang aman dan pemberdayaan keterampilan digital anak-anak, memastikan mereka memiliki kontrol atas pengalaman digital mereka. Sementara partisipasi aktif anak memberi mereka peran dalam menciptakan ekosistem digital yang lebih baik.

Keterlibatan industri dan negara di Uni Eropa dalam mewujudkan strategi ini sangat penting untuk keberhasilan jangka panjangnya.

Kolaborasi antara berbagai pihak menjadi kunci agar solusi yang dikembangkan dalam BIK+ dapat diterapkan dengan efektif, terutama dalam hal verifikasi usia dan penanganan konten berbahaya, yang menjadi tantangan besar di dunia digital saat ini.

Baca juga: Keracunan Data, Modus Baru Menyasar Pelatihan AI

Kebijakan AS

Bagaimana dengan regulasi dan kebijakan Amerika Serikat sebagai negara yang pertama kali menggadang-gadang kebebasan berinternet?

Kita bisa lihat dari publikasi uscode.house.gov terkait “Chapter 91 Children's Online Privacy Protection” dari regulasi Children's Online Privacy Protection Act (COPPA).

AS sudah mengantisipasi sejak akhir dekade 1990-an terkait pelindungan anak secara daring, yang bertujuan melindungi privasi anak di bawah 13 tahun di internet.

COPPA mengatur operator situs web atau layanan online yang mengumpulkan informasi pribadi dari anak-anak, termasuk nama, alamat, email, nomor telepon, atau data identifikasi lainnya diwajibkan memberikan pemberitahuan jelas tentang praktik pengumpulan data dan memperoleh persetujuan orangtua yang dapat diverifikasi.

Operator diwajibkan memasang notifikasi tentang jenis data yang dikumpulkan dan tujuannya. Juga kewajiban mendapatkan verifikasi parental consent sebelum mengumpulkan atau menggunakan data anak.

Hal ini memungkinkan orangtua mengakses, menghapus, atau menolak penggunaan data anak. Mengatur pula larangan syarat partisipasi anak yang memaksa pengungkapan data berlebihan, dan menjaga kerahasiaan dan keamanan data yang dikumpulkan.

COPPA telah berlaku sejak 21 April 2000 (18 bulan setelah disahkan). Regulasi ini telah diperbarui beberapa kali, termasuk aturan FTC tahun 2013 yang memperluas definisi "informasi pribadi" mencakup cookie, ID perangkat, dan data geolokasi. Edisi terbaru 2025 mencakup penyempurnaan teknis.

Baca juga: Hak Cipta Vs AI Generatif

Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE yang juga menyisipkan norma tentang pelindungan anak.

Efektivitas UU ini sangat bergantung pada hadirnya peraturan pelaksanaan (implementing legislation) dan petunjuk teknis yang jelas agar dapat diterapkan secara optimal di lapangan.

Tanpa regulasi turunan yang komprehensif, penerapan aturan ini berisiko tidak maksimal, dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

Oleh karena itu, kita tentu menantikan peraturan pelaksanaan tersebut untuk segera diundangkan agar memastikan pelindungan yang lebih baik bagi generasi masa depan negeri ini di ranah digital.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi