Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Dilema Ingin Memberi THR ke Keponakan...

Baca di App
Lihat Foto
Pexels/Ahsanjaya
Ilustrasi uang. Pencairan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk buruh rokok di Kabupaten Kudus dilakukan pekan depan sebelum Lebaran 2025.Tradisi Bagi-bagi THR ke Keponakan Dianggap Membebani, Bisakah jika Tidak Dilakukan?
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Semenjak bekerja, Bibil (24) selalu berusaha menyiapkan tunjangan hari raya (THR) untuk diberikan kepada keponakan-keponakannya.

Perempuan asal Bekasi, Jawa Barat yang kini bekerja di Sukoharjo, Jawa Tengah, itu rela mengalokasikan sekitar 15 persen dari penghasilannya setiap bulan demi menjaga tradisi berbagi di momen Lebaran.

Sebenarnya ada dilema di hati Bibil. Di balik kebahagiaan memberi, ia nyatanya harus pula menghadapi tantangan cukup berat.

Baca juga: Siapa Saja Anggota Keluarga yang Sebaiknya Diberi THR dan Berapa Nominalnya? Ini Saran Perencana Keuangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dengan jumlah keponakan yang bertambah dan biaya mudik yang terus meningkat, alokasi THR kerap menjadi beban tersendiri.

Ia pun awalnya ingin memberikan Rp 100.000 untuk masing-masing keponakan pada momen Lebaran 2025 kali ini. Namun, ia berpikir lagi. Jika dikalikan sepuluh orang, nilainya jadi Rp 1 juta.

Baginya, jumlah tersebut cukup besar, mengingat gaji yang diterima mengikuti standar upah di Jawa Tengah.

“Sebenarnya enggak berat kalau keponakannya cuma satu atau dua orang. Tapi karena saya punya sepuluh, ya terasa juga,” ujarnya sambil tertawa getir pada Sabtu (22/3/2025).

Untuk menyiasati anggaran, ia akhirnya membagi THR berdasarkan usia keponakan.

Delapan keponakan yang masih kecil akan diberinya uang senilai Rp 50.000. Sedangkan dua keponakan lainnya yang sudah beranjak SMA dan bekerja, masing-masing disiapkan Rp 100.000.

Selain THR untuk keponakan, ia harus pula memikirkan uang transportasi mudik, akomodasi di Bekasi yang lebih mahal dibandingkan tempat tinggalnya di Sukoharjo, serta kebutuhan rumah menjelang Lebaran.

“Ongkos pulang-pergi saja sudah lumayan. Lalu, akomodasi di sana juga tidak seperti di Sukoharjo yang murah. Di Bekasi, tarif ojek online dari stasiun ke rumah nyatanya bisa sampai Rp 60.000-Rp 70.000,” katanya saat berbincang dengan Kompas.com di Solo.

“Ya bayankan saja, sudah mudik jauh, capek, ongkosnya juga lumayan,” tambah Bibil sembari menghela napas panjang.

Di luar itu, Bibil juga masih menyisihkan uang untuk memberikan THR kepada orang tuanya serta memenuhi kebutuhan rumah menjelang Lebaran.

Sebagai tuan rumah saat kumpul keluarga, perempuan itu merasa harus pula menyiapkan kue-kue Lebaran di meja rumah dan uang untuk keperluan dapur.

Baca juga: Apakah Karyawan Probation Berhak Dapat THR Lebaran 2025? Ini Kata Kemnaker

Belum lagi, sebagai anak rantau, ada kalanya dia mengeluarkan uang untuk keperluan rumah yang tidak direncanakan.

“Kenapa jadi memberatkan? Karena ketika pulang, saya harus mengeluarkan ekstra budget untuk transport, untuk makan di sana, untuk kalau nanti ada keponakan minta jajan segala macam, ketambahan THR lagi,” ungkapnya.

Ia pun memperkirakan biaya mudiknya pada tahun ini naik Rp 1 juta dibanding tahun lalu, mengikuti lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif transportasi.

Meski mengalokasikan THR terasa cukup memberatkan, Bibil telah berniat akan mencoba terus menjalaninya. Ia menerima konsep pemberian THR diadopsi di lingkungan keluarganya. Bibil menganggap hal tersebut sebagai sarana berbagi dan wujud kasih sayang kepada sanak saudara.

Ia sendiri sudah berhenti menerima THR sejak tahun lalu. Tetapi, Bibil tetap ingin mempertahankan tradisi ini.

“Enggak ada yang mewajibkan saya kasih THR. Tetapi, namanya sayang ke keponakan, jadi saya kasih saja,” tuturnya.

Bibil mungkin bukan satu-satunya orang yang merasakan dampak tradisi THR dan kenaikan biaya mudik yang kian membebani.

Berdasarkan survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik Lebaran 2025 nyatanya diprediksi turun 24 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pada tahun ini, diperkirakan hanya 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari total penduduk Indonesia yang bakal mudik. Padahal pada 2024, proyeksi jumlah pemudik mencapai 193,6 juta pemudik.

Ada kemungkinan banyak pekerja yang akhirnya memilih tidak mudik demi menghemat pengeluaran.

Konsep THR meluas

Saat dimintai pandangan, Dosen Sosiologi di Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono, menjelaskan pemberian THR kepada keponakan sebenarnya adalah perluasan dari konsep THR yang semula digunakan dalam relasi produksi.

THR awalnya merupakan tunjangan yang diberikan oleh pemilik modal kepada karyawannya.

Baca juga: Kenapa THR dan Libur Lebaran Ditunggu Para Karyawan? Begini Kata Psikolog

“Memang konsepnya kemudian menjadi meluas dari konsep inti, yaitu penambahan atau pemberian insentif lebih dari seorang pemilik modal atau pemerintah kepada pekerjaannya. Kini, THR diadopsi dalam sistem tatanan yang lebih kecil, yaitu keluarga,” kata dia pada Jumat (14/3/2025).

Dalam tradisi yang sudah berjalan, THR biasanya diberikan oleh anggota keluarga yang sudah berpenghasilan kepada kerabat yang lebih muda atau masih bersekolah dan balita.

Berbeda dengan di lingkungan kerja, pemberian THR di  keluarga tentu tidak ada hukum tertulisnya.

Menurut Drajat, kewajiban THR sesungguhnya diberikan oleh pemilik modal kepada karyawannya dalam tatanan produksi.

Di zaman Kerajaan Mataram Islam dan kolonial Belanda, THR diberikan oleh bangsawan dengan penuh keikhlasan dan kesukarelaan. Pembertian THR di masa itu juga tidak wajib dilakukan.

Dalam hal, THR tidak diberikan kepada sanak saudara. Drajat pun berpandangan, bahwa kebiasaan itu bukan termasuk THR jika merujuk dari pemahaman kata “tunjangan” dalam singkatan THR.

“Kalau saya, pemberian kepada ponakan dan saudara itu bukan THR. Tapi itu hanya menyamakan konsep aja. Karena THR itu maknanya tunjangan. Artinya, kalau dia tidak memberi ya tidak apa-apa, kan sukarela memberi," imbuh Drajat.

Bagi sebagian kalangan, perluasan konsep THR yang diadopsi dalam tatanan keluarga ini tak jarang justru menjadi beban tersendiri. Mereka merasa harus menyisihkan uang untuk memberikan hadiah uang tunai kepada kerabat.

Padahal, jika merunut catatan sejarah, Drajat menyebut, THR adalah sebuah hadiah yang diberikan dengan penuh keikhlasan.

Baca juga: Siapa Saja Anggota Keluarga yang Sebaiknya Diberi THR dan Berapa Nominalnya? Ini Saran Perencana Keuangan

Asal-usul THR: diberikan sebagai hadiah

Pemberian THR disebut sudah ada sejak zaman Mataram Islam, yaitu sejak abad ke-13 sampai dengan ke-16 atau sekitar tahun 1500-an hingga 1700-an.

Tidak jelas dari mana asal mula tradisi THR menjelang Hari Raya ini. Namun, tradisi ini diperkirakan berasal dari Timur Tengah, meski data yang menguatkan pandangan itu tidak tersedia secara memadai.

Pemerhati Budaya Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UNS, Tundjung Wahadi Sutirto, berhipotesis pemberian THR merupakan hasil akulturasi budaya Islam dari Timur Tengah. Hadiah tersebut diberikan sebagai bentuk sukacita dalam merayakan hari kemenangan setelah sebulan berpuasa.

Di masa Kerajaan Mataram Islam, THR diberikan oleh raja kepada abdi dalem sebagai bentuk hadiah atas pengabdian dalam pola hubungan “patron-client relationship” di birokrasi feodal.

“Dalam sejarahnya, THR sebenarnya berawal dari tradisi karitas dari penguasa kepada rakyatnya. Sejak era kerajaan Praja Kejawen seperti Mataram Islam, para punggawa dan para kawula di praja selalu menanti paringan dalem atau disebut juga dengan istilah kekucah dari raja saat hari besar keagamaan terutama menyambut Idul Fitri,” terang Tundjung pada Jumat.

Namun, ada beda pendapat soal bentuk THR yang diberikan. Sebagian ahli berpendapat, THR pada zaman dulu diberikan dalam bentuk bahan pangan atau sembako. Di sisi lain, ada yang menyatakan THR diberikan dalam bentuk uang tunai.

Dilansir dari laman UNAIR, Pakar Antropologi Universitas Airlangga, Djoko Adi Prasetyo, mengungkapkan para raja dan bangsawan memberikan uang baru sebagai hadiah kepada anak-anak pengikutnya saat Idul Fitri.

Hadiah tersebut diberikan sebagai bentuk rasa syukur dalam menyambut Hari Raya, khususnya terkait keberhasilan mereka dalam menunaikan ibadah puasa sepanjang bulan Ramadhan.

Pada gilirannya, bagi-bagi THR bahkan kemudian berkembang menjadi budaya yang identik dengan uang baru.

Di masa modern, masyarakat berbondong-bondong menukarkan uang lama dengan uang baru untuk THR.

Tahun ini, Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang layak edar Rp 180,9 triliun untuk memenuhi kebutuhan uang baru di masyarakat. Bahkan jasa penukaran uang juga semakin menjamur menjelang Lebaran 2025.

Di masa kolonial, pemberian tradisi THR disebut dilakukan oleh tuan-tuan Belanda kepada pekerja mereka di Hindia Belanda. Tujuannya adalah untuk memberikan uang tambahan bagi pekerja untuk berbelanja di momen Hari Raya.

Para pemegang modal menyadari bahwa perayaan Lebaran memerlukan biaya yang tidak sedikit, mulai dari membeli makanan hingga pakaian baru.

Baca juga: Apakah Karyawan Probation Berhak Dapat THR Lebaran 2025? Ini Kata Kemnaker

THR jadi tradisi latah yang diregulasi

Tradisi pemberian THR ditetapkan dalam regulasi pada era awal kemerdekaan Republik Indonesia. Saat itu, konsep THR pertama kali muncul pada pemerintahan Soekarno.

Sekitar tahun 1951, Perdana Menteri Indonesia ke-6 Soekiman Wirjosandjojo melalui kabinetnya meluncurkan program kesejahteraan pamong praja dengan memberikan THR untuk pegawai negeri sipil (PNS). Tujuannya adalah untuk memberikan tunjangan kepada PNS di dalam kabinet tersebut.

Nah, kebijakan ini kemudian menimbulkan kecemburuan di kalangan buruh dan karyawan swasta. Mereka juga menginginkan tunjangan yang sama lantaran telah bekerja untuk bangsa dan negara.

Para buruh dan karyawan swasta lantas melakukan aksi mogok kerja pada 13 Februari 1952 dengan tujuan agar pemerintah turut memperhatikan nasib mereka.

Aksi mogok juga didasari oleh rasa tidak adil lantaran pada saat itu jabatan PNS mayoritas diisi oleh kaum priyayi, ningrat, dan kalangan atas lainnya. Sedangkan buruh yang bekerja di perusahaan swasta dan pemerintah merasa tidak diperhatikan nasibnya.

Gejolak tuntutan di tengah kondisi perekonomian Indonesia yang sedang stabil itu menjadi titik balik bagi pemerintah untuk mengatur pemberian THR kepada PNS dan buruh. Pemerintah kemudian secara rutin setiap tahun mengeluarkan regulasi terkait pemberian THR untuk para pekerja.

Tundjung mengatakan, regulasi THR merupakan contoh produk budaya dari tradisi THR dari masa ke masa.

“THR menjadi satu-satunya harapan masyarakat pekerja dan pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan menjelang Lebaran. Jadi, ini seperti budaya latah yang kemudian menjadi kebiasaan yang dipelihara sebagai produk budaya,” kata dia.

Tundjung mengatakan, THR awalnya disebut sebagai “hadiah Lebaran”. Namun pada masa Orde Baru, yakni 1994, Pemerintah Indonesia secara resmi menggunakan istilah THR.

Pemerintah juga mengatur pemberian THR melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor 04/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan. Isi peraturan tersebut menyatakan bahwa pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja dengan masa kerja tiga bulan atau lebih secara terus menerus. Jumlah THR yang diberikan sesuai dengan masa kerja pekerja.

Peraturan THR kemudian mengalami revisi pada 2016 melalui Kementerian Ketenagakerjaan yang kini termuat dalam Permenaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

Baca juga: Kenapa THR dan Libur Lebaran Ditunggu Para Karyawan? Begini Kata Psikolog

Perputaran uang THR 2025 menurun

Sementara itu, dari sisi ekonomi, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan pemberian THR tahun ini belum mampu mendongkrak stimulus perekonomian di Indonesia.

Menurut dia, fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) menjelang Lebaran kepada karyawan swasta dan kebijakan efisiensi anggaran di bawah Pemerintahan baru mengakibatkan tak banyak orang menerima THR.

Sepanjang 2024, tercatat ada 77.965 kasus PHK, belum lagi tambahan 4.050 pekerja yang kehilangan pekerjaan di awal tahun 2025.

Bhima mengatakan pemberian THR setiap tahun pada dasarnya terus beriringan dengan kenaikan harga kebutuhan sehari-hari.

Ia menyebut, daya beli masyarakat juga cenderung mengalami penurunan di momen Ramadan 2025. Hal ini tercermin dari laju inflasi yang rendah di bulan puasa.

Indonesia bahkan mengalami deflasi pada awal tahun hingga menjelang Ramadan, yaitu 0,76 persen pada Januari 2025 dan 0,02 persen pada Februari 2025. Data tersebut mencerminkan adanya penurunan permintaan domestik yang menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat sedang sakit.

“Artinya, pemberian THR saja belum cukup untuk mendorong daya beli masyarakat. Masyarakat juga cenderung berhemat menjelang Ramadan 2025,” tutur dia, saat diwawancarai Kompas.com, Selasa (25/3/2025).

Menurut Bhima, tahun ini banyak masyarakat Indonesia yang cenderung mengencangkan ikat pinggang meski sudah menerima THR. Mereka memilih menyimpan uang THR tersebut untuk kebutuhan pascaLebaran 2025.

Padahal, pemerintah telah berupaya untuk menggenjot daya beli masyarakat dengan memberikan berbagai stimulus menjelang Lebaran 2025, seperti penyaluran bantuan sosial (bansos), diskon listrik pada Januari-Februari 2025, diskon tiket pesawat, diskon tarif tol, dan diskon paket wisata.

Tetapi, upaya tersebut ditambah dengan pencairan THR kepada ASN dan pekerja swasta, termasuk bantuan hari raya (BHR) untuk ojek online belum dirasa cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

“THR itu bukan satu-satunya faktor untuk menstimulus perekonomian. Pemerintah masih perlu program-program sosial lainnya untuk melindungi daya beli masyarakat dan juga harus cepat melakukan pengendalian beberapa harga kebutuhan pokok,” kata Bhima.

Industri manufaktur yang belakangan mengalami gelombang PHK juga perlu mendapat perhatian khusus.

Sebab, menurut Bhima, industri manufaktur mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di bulan Lebaran 2025 secara nyata. Hal itu ditunjukkan melalui penyerapan sumber daya manusia (SDM) dan pemberian gaji serta THR yang diharapkan mampu meningkatkan perputaran uang di momen Lebaran.

Ancaman gelombang PHK, kenaikan harga kebutuhan pokok hingga biaya mudik, dan  jumlah pemudik berkurang pada tahun ini mengindikasikan adanya penurunan perputaran uang di masyarakat.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, berpendapat penurunan jumlah pemudik tahun ini berdampak pada perputaran uang saat Lebaran 2025 yang diprediksi akan turun 12,28 persen.

Dia mengasumsikan, jika perputaran uang saat Idul Fitri 2024 mencapai Rp 157,3 triliun, maka tahun ini perputaran uang diprediksi hanya mencapai Rp 137,97 triliun.

Penghitungan ini diperoleh dari perkiraan jumlah pemudik tahun ini yaitu 146,48 juta atau setara dengan 36,26 keluarga dengan asumsi per keluarga adalah 4 orang.

Penurunan perputaran uang kontradiktif dengan apa yang selama ini terjadi. Pasalnya, momen Lebaran kerap menjadi upaya untuk meningkatkan stimulus perekonomian Indonesia karena adanya transaksi dari penduduk kota ke desa.

Jika perputaran uang menurun, hal tersebut dapat membuat perekonomian di Indonesia, khususnya di desa-desa memburuk.

“Jika THR perputarannya lebih rendah dari tahun sebelumnya, maka ekonomi di daerah bisa kering,” tutur Bhima.

Dia berpendapat, pemerintah seharusnya tidak hanya mengandalkan pencairan THR, melainkan juga menerapkan kebijakan yang berdampak cepat pada pertumbuhan perekonomian Indonesia.

Misalnya, dengan melanjutkan diskon tarif listrik sampai akhir tahun, memperhatikan efisiensi belanja agar tidak menjadi austerity measures, mengangkat CPNS sesuai jadwal, dan mendorong seluruh insentif fiskal fokus ke industri padat karya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi