KOMPAS.com - Sehari sebelum hari raya Nyepi, umat Hindu Bali melakukan Tawur Kesanga yang jatuh pada Jumat (28/3/2025).
Upacara Tawur Kesanga ini identik dengan pawai ogoh-ogoh dan merupakan bagian dari rangkaian hari Nyepi Tahun Baru Saka 1947 yang jatuh pada Sabtu (29/8/2025).
Baca juga: Ini yang Dilakukan Umat Hindu Saat Nyepi dan 4 Pantangannya
Dalam prosesnya, upacara ini bertujuan untuk menyeimbangkan hubungan dengan alam semesta dan menetralisir dari sifat-sifat negatif.
Pada penghujung Tawur Kesanga saat upacara Pangrupukan, muncul ogoh-ogoh yang merupakan perlambangan dari sifat negatif tersebut.
Makna pembakaran ogoh-ogoh sebelum Nyepi
Pembakaran ogoh-ogoh pada akhir prosesi Tawur Kesanga juga bisa dimaknai sebagai menetralisir unsur-unsur kekuatan jahat yang menyusupi kehidupan.
Umumnya, ogoh-ogoh mengambil bentuk makhluk penghuni alam bawah berdasarkan kepercayaan Hindu mewakili sifat negatif dalam diri manusia.
Sehingga, bentuk ogoh-ogoh sering kali menyerupai raksasa menyeramkan. Meskipun demikian, seiring perkembangan zaman bentuk ogoh-ogoh selalu berkembang.
Menurut buku Brief History Of Bali: Piracy, Slavery, Opium and Guns: The Story of a Pacific Paradise (2016) yang ditulis Willard A. Hanna, ogoh-ogoh bukanlah tradisi yang berasal dari zaman Bali Kuno. Tradisi ini tergolong baru meskipun berakar dari tradisi kuno.
Makna pawai ogoh-ogoh
Berdasarkan jurnal Ogoh-Ogoh dan Hari Raya Nyepi (2019) karya I Dewa Gede Ngurah Diatmika yang dipublikasikan STKIP Agama Hindu Singaraja, proses pembentukan hingga pembakaran ogoh-ogoh ini punya makna tersendiri.
Sejak dibuat hingga dibakar, ogoh-ogoh menggambarkan suatu siklus eksistensi.
"Dari ogoh-ogoh ini juga bisa ditarik suatu makna bahwa pada hakikatnya segala sesuatu yang ada di bumi ini pasti melalui proses penciptaan (utpati), lalu dijaga dan dipelihara (sthiti), dan pada akhirnya harus mengalami pemusnahan (pranila)," bunyi penjelasan dari jurnal tersebut.
Sebelum diarak, ogoh-ogoh dibuat dengan penuh kreativitas oleh para pembuatnya yang kebanyakan dari kalangan muda. Itulah mengapa bentuk ogoh-ogoh sangat beragam sesuai dengan selera pembuatnya.
Baca juga: Daftar Layanan Publik yang Tutup Selama Hari Nyepi 2025 di Bali
Kemudian, ogoh-ogoh yang sudah selesai dibuat pun dijaga hingga tiba saatnya diarak keliling desa dalam bentuknya yang masih utuh. Hal ini menggambarkan tentang memelihara suatu kehidupan.
Terakhir, ogoh-ogoh mengalami pemusnahan dengan dibakar di perkuburan desa. Prosesi ini menggambarkan bahwa akhir kehidupan sama sekali tidak terhindarkan.
Meskipun keberadaan ogoh-ogoh merupakan sebagai pemeriah acara, proses pembuatan hingga pemusnahannya berdasarkan apa yang tertuang pada kitab Veda.
Selama proses pembentukannya, pembuatnya menggunakan segenap kreativitas seperti bagaimana Veda mendorong proses tumbuh dan kembang rasa keindahan dalam diri umat manusia.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.