KOMPAS.com - Selain para pencari kerja, ternyata perusahaan juga menemui kesulitan dalam menemukan kandidat yang tepat.
Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,466 juta orang per Agustus 2024.
Bahkan Kementerian Tenaga Kerja mencatat pada Januari 2025 saja, sudah ada 3.325 pekerja kehilangan pekerjaannya.
Baca juga: Tidak Lolos Interview Kerja, Kenapa Biasanya HRD Tidak Memberi Tahu?
Meskipun angka pengangguran besar, perekrut juga mengalami kendala selama mencari pekerja.
Salah satunya ketika wawancara kerja, perekrut mendapati jawaban-jawaban yang kurang memuaskan.
Psikolog klinis sekaligus CEO APDC Indonesia Analisa Widyaningrum menjelaskan mengapa Generasi Z (orang-orang kelahiran 1997-2012) punya jawaban "template" yang mirip-mirip selama wawancara kerja.
Sebagai seorang CEO, Analisa pun mengalami sendiri bagaimana sulitnya menemukan kandidat yang tepat di kalangan generasi yang populer disebut Gen-Z.
"Saya nyari satu orang kandidat ini dari berapa orang belum dapet-dapet yang saya penginin. Begitu saya interview, kenapa saya kayak wawancara ChatGPT ya?" ujar Analisa seperti yang dikutip dalam siniar Instinct RK di saluran YouTube resmi Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Profesor Rhenald Kasali.
"Terus ketika saya coba kasih skill test, kenapa saya kayak ngobrol sama internet? Nggak ada (jawaban) diplomatis," lanjut dia.
Alasan jawaban Gen-Z punya jawaban serupa selama interview kerja
Ketika dipelajari lagi, psikolog tersebut menemukan bahwa cara menjawab yang "template" hingga cara Gen-Z bertahan dalam suatu pekerjaan itu berhubungan dengan cara kerja otak mereka.
Analisa menyimpulkan bahwa anak-anak muda ini terbentuk demikian karena pola asuh yang mereka dapatkan dan terpapar faktor eksternal seperti internet.
"Jadi cerminan untuk anak-anak yang untuk sekarang ini tidak mampu untuk bisa tahan banting itu juga tanpa disadari ternyata pola-pola yang diajarin oleh orang tuanya, guru juga gitu ya Prof. Ini PR kita semua, saya tidak ingin menyudutkan atau menyalahkan satu dua pihak," terangnya.
Kemudian, Analisa menjelaskan bahwa otak seseorang akan lebih berkembang jika terbiasa diberikan tantangan.
"Sebenarnya otak itu plastis. Semakin sering dikasih challenge dia akan semakin agile dan beradaptasi," ungkap Analisa.
Namun, Gen-Z dibesarkan dengan internet dan mengalami banyak distraksi hingga membuat mereka kurang mendapatkan tantangan untuk berkembang selama proses pertumbuhan mereka.
"Yang sekarang ini kalau saya lihat, dengan pengaruh distraksi internet dan lain sebagainya. amigdala (bagian otak yang mengatur emosi terutama takut dan bahaya) ini bunyi terus, Prof. Tapi ketika mau melakukan, atau membuat hyperfrontal atau otak yang logic ini mencari, hidup gitu, terlalu banyak distraksi," terangnya.
Baca juga: BPS Sebut 20,31 Persen Gen Z Berstatus NEET, Apa Itu?
Adapun distraksi yang menghambat cara kerja logis otak yaitu rasa tidak aman dan membanding-bandingkan diri dengan orang lain.
Dengan terbukanya jendela dunia melalui internet, Gen-Z mendapat akses mudah untuk melihat kehidupan orang lain di media sosial. Karenanya, muncul kecenderungan untuk membandingkan diri mereka dengan orang lain.
Keadaan tidak aman saat membandingkan diri sendiri dengan orang lain ini yang disebut dengan insecure.
"Namun, terlalu banyak distraksi dapat melumpuhkan itu dan menyebabkan denial," kata Analisa.
Lebih lanjut, Analisa menjelaskan bahwa denial yang dimaksud adalah sikap saat seseorang menyangkal sesuatu, menyalahkan orang lain, hingga playing victim atau menempatkan diri sebagai korban.
Psikolog itu mengungkapkan bahwa untuk bisa menjalani hidup dan siap bekerja, seseorang harus punya harapan dan dorongan dari dalam diri sendiri.
"Ketika amigdala kita nyala, orang akan kehilangan harapan itu, Prof. Itu yang kemarin saya jadikan disertasi, psychological capital," ujarnya.
Pentingnya punya psychological capital
Sebagai informasi, psychological capital merupakan modal psikologis seseorang untuk bekerja dan menghasilkan karya. Dengan modal psikologis ini, seseorang bisa tumbuh dan berkembang.
Konsep psychological capital ini dikenalkan oleh Profesor Universitas Nebraska Licoln Fred Luthans dan Carolyn M. Youssef-Morgan dari Amerika. Studi mereka telah diterbitkan dalam bentuk buku Psychological Capital and Beyond (2015).
Dengan membangun pikiran bahwa diri sendiri adalah tokoh utama atau hero, Analisa berpendapat itu penting dimiliki seseorang agar tidak mudah terpengaruh oleh faktor eksternal termasuk apa yang dilihat di internet.
"Pyschological capital ini penting loh untuk seseorang, dia membuat konsep hero. Orang itu butuh punya hope, efficacy keyakinan diri dia, resilience (ketangguhan), and optimisme," paparnya.
Baca juga: Urutan Generasi dan Karakternya, dari Lost Generation, Gen Z, hingga Gen Beta
Karena menggeluti bidang psikolog klinis dalam pekerjaan, Analisa menemukan bahwa Gen-Z banyak yang mengeluh "burn out" atau kelelahan secara mental karena atasan dan lingkungan kerja mereka.
Sehingga, ia pun meneliti bagaimana hubungan para atasan atau leader ini dengan pekerja lainnya dan menemukan bahwa kesejahteraan emosional selama bekerja tidak melulu ditentukan oleh sikap atasan.
"Sebagus apapun leader-nya, ketika follower itu tidak memiliki psychological capital, dia tidak akan merasa wellbeing-nya terkelola dengan baik di perusahaan itu," jelas psikolog tersebut.
Dengan demikian, Analisa berpendapat bahwa penting untuk mengasah psychological capital itu penting.
Untuk mempunyai psychological capital, Analisa menemukan dalam risetnya bahwa hal itu dipengaruhi oleh pengalaman seseorang sepanjang hidup termasuk cara mereka dibesarkan.
"Psychological capital ini dipengaruhi oleh bagaimana individu dibesarkan dari keluarga, lingkungan sosial, dan individu itu sendiri," terangnya.
Apabila seorang anak tidak mendapatkan yang dibutuhkan secara emosional, maka akan berpengaruh pada caranya hidup di fase perkembangan selanjutnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.