Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Jul 2024

Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED

Antara Aksesibilitas dan Autentisitas: Paradoks Demokratisasi Seni di Era AI

Baca di App
Lihat Foto
X/ @GrantSlatton dan @Trendulkar
Hasil foto ala Studio Ghibli yang diedit di ChatGPT.
Editor: Sandro Gatra

SAAT kecerdasan buatan (AI) mulai menginvasi ruang-ruang kreatif yang selama ini menjadi domain eksklusif manusia, dunia seni tengah mengalami revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Fenomena gambar bergaya Studio Ghibli yang dihasilkan AI menjadi manifestasi nyata bagaimana teknologi kini mampu meniru keindahan visual yang sebelumnya hanya bisa diciptakan melalui keahlian dan pelatihan intensif selama bertahun-tahun.

Visualisasi pemandangan memukau dengan atmosfer magis khas Ghibli kini dapat dihasilkan hanya dalam hitungan detik melalui algoritma, menimbulkan pertanyaan fundamental tentang makna kreativitas, otentisitas, dan masa depan seni di era digital.

Fenomena ini memperlihatkan bagaimana teknologi tidak hanya mengubah cara kita berkreasi, tetapi juga menantang pemahaman konvensional tentang nilai artistik dan hubungan antara seniman, alat, dan karya seni itu sendiri.

Transformasi lanskap kreativitas

Kehadiran teknologi AI dalam lingkungan seni telah membawa transformasi mendalam pada proses dan hasil kreasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Model-model generatif yang semakin canggih kini mampu menghasilkan karya visual dengan kualitas yang setara dengan produksi studio profesional, mendemokratisasi kemampuan yang dulunya hanya tersedia bagi segelintir individu berbakat dan terlatih.

Transformasi ini membuka pintu bagi jutaan orang yang selama ini hanya bisa bermimpi untuk mengekspresikan visi artistik mereka karena terhambat keterbatasan teknis.

Baca juga: Pro-Kontra Penggunaan AI dalam Industri Musik

Seseorang yang belum pernah memegang kuas atau mempelajari teknik animasi tradisional kini dapat menghasilkan karya yang secara visual menakjubkan dengan bantuan algoritma yang telah dilatih menggunakan dataset besar dari karya-karya terbaik di dunia.

Namun, di tengah kemampuan menakjubkan yang ditawarkan teknologi ini, muncul kekhawatiran mendalam tentang apa yang sebenarnya hilang dalam proses tersebut.

Karya-karya Studio Ghibli yang asli tidak hanya mengandalkan keindahan visual semata, tetapi juga merupakan manifestasi dari kedalaman filosofis, konteks sosial-budaya, dan sentuhan emosional yang lahir dari pengalaman hidup dan pandangan unik manusia.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah teknologi, meskipun mampu meniru gaya visual dengan akurasi mengagumkan, dapat benar-benar menangkap dan menyampaikan esensi mendalam dari kreativitas manusia yang begitu kompleks dan berdimensi banyak.

Kekhawatiran ini bukan sekadar penolakan terhadap kemajuan teknologi, melainkan refleksi kritis tentang nilai intrinsik yang mungkin terancam hilang di tengah kemudahan dan kecepatan produksi artistik yang ditawarkan AI.

Paradoks demokratisasi dalam kreasi berbasis AI

Demokratisasi seni melalui teknologi AI menghadirkan paradoks yang menarik dan problematik secara bersamaan.

Di satu sisi, teknologi ini telah memberdayakan lebih banyak orang untuk berpartisipasi dalam penciptaan seni visual dengan cara yang sebelumnya tidak mungkin, mendobrak hambatan teknis yang selama ini menjadi penghalang utama bagi ekspresi kreatif.

Di sisi lain, keberlangsungan dan fondasi dari demokratisasi dibangun di atas penggunaan ekstensif karya-karya seniman yang tidak selalu diminta persetujuan atau diberikan kompensasi yang layak.

Hal ini menciptakan dilema etis yang kompleks tentang keseimbangan antara inovasi teknologi dan penghargaan terhadap kreasi original.

Perkembangan model AI generatif tidak terjadi dalam ruang hampa atau murni dari pemrograman matematis belaka.

Baca juga: Memahami Kekayaan Intelektual

Model-model ini dilatih menggunakan dataset besar yang mencakup jutaan karya seni dari berbagai era dan gaya, termasuk karya-karya berhak cipta seperti animasi dari Studio Ghibli.

Proses pelatihan ini pada dasarnya memanfaatkan kreativitas dan keahlian seniman asli sebagai bahan baku untuk menciptakan algoritma yang kemudian dapat meniru gaya mereka.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar tentang etika penggunaan karya orang lain sebagai data pelatihan, terutama ketika hasil dari proses tersebut kemudian dikomersialkan oleh perusahaan teknologi.

Apakah benar-benar demokratis jika fondasi dari teknologi yang "membebaskan" ini dibangun di atas praktik yang potensial mengabaikan hak dan kontribusi para seniman yang karyanya digunakan?

Menyeimbangkan inovasi teknologi dengan integritas kreasi

Diskusi tentang peran AI dalam seni sering terjebak dalam dikotomi yang terlalu menyederhanakan: antusiasme berlebihan terhadap kemajuan teknologi atau penolakan total atas nama otentisitas dan tradisi.

Namun, realitas dari transformasi digital dalam ruang kreatif jauh lebih kompleks dan bernuansa.

Teknologi AI tidak harus selalu dipandang sebagai ancaman yang akan menggantikan kreativitas manusia, tetapi juga tidak seharusnya diterima secara acuh tak acuh tanpa pertimbangan kritis tentang implikasinya terhadap ekosistem seni secara keseluruhan.

Tantangan utama yang dihadapi dunia seni kontemporer adalah bagaimana menemukan model pengembangan dan penggunaan AI yang tidak hanya mendorong inovasi, tetapi juga menghormati dan mengakui kontribusi fundamental dari seniman asli yang karyanya digunakan sebagai data pelatihan.

Hal ini mencakup pengembangan kerangka kerja etis yang mengatur transparansi dalam pengumpulan dan penggunaan data pelatihan, mekanisme kompensasi yang adil bagi seniman yang karyanya dimanfaatkan, serta pengakuan eksplisit terhadap sumber inspirasi dan pengaruh dalam karya yang dihasilkan AI.

Tanpa prinsip-prinsip etis yang jelas dan komprehensif, ada risiko bahwa demokratisasi seni melalui AI akan lebih menyerupai eksploitasi sistematis daripada pemberdayaan yang sejati.

Seiring dengan perkembangan dan integrasi teknologi AI yang semakin dalam di dunia seni, kriteria dan parameter yang digunakan untuk menilai dan mengapresiasi karya seni juga perlu berevolusi.

Jika keindahan visual dan kesempurnaan teknis semakin mudah dicapai dengan bantuan algoritma canggih, maka nilai intrinsik dari karya seni mungkin akan lebih banyak ditentukan oleh dimensi-dimensi yang lebih menantang untuk direplikasi oleh mesin: kedalaman pemikiran konseptual, orisinalitas visi kreatif, konteks sosial-budaya, dan resonansi emosional yang mampu dibangkitkan pada penikmatnya.

Baca juga: Kelas Menengah, Daya Beli, dan Ekonomi Lebaran

Seniman yang memanfaatkan teknologi AI di masa depan kemungkinan akan dinilai bukan sekadar dari kemampuan mereka untuk menghasilkan gambar yang secara teknis sempurna, melainkan dari kecerdasan dan kejelian mereka dalam menggunakan teknologi tersebut sebagai medium untuk mengekspresikan ide-ide yang bermakna, menantang, dan transformatif.

Dengan kata lain, kreativitas manusia tidak akan disingkirkan oleh AI, melainkan akan menemukan bentuk-bentuk ekspresi baru yang melampaui batasan teknis yang selama ini membatasi potensi artistik.

Dalam paradigma baru ini, kolaborasi antara manusia dan mesin mungkin akan melahirkan kategori karya seni hibrida yang memadukan sensibilitas manusiawi dengan kemampuan komputasional yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Menuju dialog yang lebih bernuansa dan konstruktif

Fenomena render AI bergaya Studio Ghibli dan manifestasi lain dari teknologi generatif dalam seni bukanlah sekadar tren temporer yang akan berlalu, melainkan representasi dari perubahan fundamental dalam ekosistem kreativitas global.

Menghadapi transformasi ini, masyarakat—baik komunitas seni, industri teknologi, maupun publik secara umum—perlu mengembangkan dialog yang lebih bernuansa dan reflektif tentang bagaimana teknologi ini dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan, bukan melemahkan, spektrum ekspresi kreatif manusia.

Demokratisasi seni melalui AI memang tampak tak terelakkan sebagai bagian dari perkembangan teknologi yang lebih luas, tetapi arah dan karakter dari demokratisasi tersebut masih dapat dibentuk dan diarahkan melalui kebijakan publik yang progresif, praktik industri bertanggung jawab, dan peningkatan literasi digital di kalangan publik.

Demokratisasi sejati harus dibangun di atas fondasi etika yang kokoh dan visi inklusif tentang masa depan seni yang tidak hanya berfokus pada efisiensi dan kemudahan produksi, tetapi juga pada keberlanjutan ekosistem kreatif dan penghargaan terhadap keragaman ekspresi artistik manusia.

Dalam menghadapi transisi besar ini, penting untuk tidak terjebak dalam pandangan yang terlalu sederhana dan biner antara merayakan atau mengutuk teknologi AI dalam seni.

Yang dibutuhkan adalah pemahaman yang lebih mendalam tentang potensi dan batasan teknologi ini, serta komitmen kolektif untuk mengarahkan perkembangannya dengan cara memperkaya, bukan memiskinkan, lanskap budaya visual kita.

Hanya dengan pendekatan yang seimbang dan berwawasan jauh ke depan, masyarakat dapat memastikan bahwa revolusi AI dalam seni benar-benar menjadi katalisator untuk kemajuan budaya yang inklusif dan berkelanjutan.

Masa depan seni di era AI bukanlah pertarungan tanpa kompromi antara tradisi dan inovasi, manusia dan mesin, atau otentisitas dan aksesibilitas.

Sebaliknya, era baru ini menawarkan kesempatan berharga untuk memikirkan kembali secara fundamental makna dan nilai kreativitas dalam masyarakat digital, serta untuk menemukan keseimbangan baru antara kemajuan teknologi dan penghargaan terhadap warisan kreativitas manusia.

Dengan pendekatan yang bijaksana, etis, dan berpandangan jauh ke depan, AI dapat menjadi katalisator yang membuka dimensi-dimensi baru dalam ekspresi artistik, memperluas—bukan menggantikan—cakrawala kreativitas manusia yang terus berkembang.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi