KOMPAS.com - Revisi UU TNI dinilai melanggengkan militerisme dan dapat mengancam kehidupan perempuan.
Hal tersebut disurakan oleh Rifka Annisa Women's Crisis Center bersama beberapa lembaga lainnya melalui unggahan Instagram dengan tajuk "Kemarin mereka, besok bisa jadi kita: Ketika militerisme mengancam hidup perempuan", pada Senin (25/3/2025).
Dilansir dari Kompas.com (28/3/2025), pola pikir militerisme ialah praktik atau paham yang menggunakan nilai-nilai militer sebagai pusat kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
Pola pikir militerisme ini secara hierarkis menempatkan laki-laki sebagai penguasa tertinggi dan perempuan sebagai objek pendukung atau subordinat saja.
Lantas, apa saja praktik-praktik militerisme yang dinilai mengancam kehidupan perempuan?
Baca juga: Pola Pikir Militerisme Disebut Rugikan Kelompok Perempuan, Apa Maksudnya?
Pembubaran Gerwani, Kisah Marsinah, dan tragedi Mei 1998
Dilansir dari Kompas.com (30/9/2022), Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada awalnya dikenal sebagai Gerakan Wanita Istri Sedar (Gerwis) dibentuk pada 4 Juni 1950 di Semarang, Jawa Tengah.
Gerakan ini berfokus memperjuangkan hak anak-anak dan perempuan, salah satunya dengan mendorong perubahan undang-undang Perkawinan yang dianggap tidak adil bagi perempuan.
Namun, Gerwani dibubarkan pada 12 Maret 1966 atas tuduhan keterlibatan dengan PKI dan peristiwa G-30 S.
Tuduhan yang diberikan yakni dua anggota Gerwani, Jamilah dan Fainah, dianggap telah memutilasi para jenderal dalam peristiwa G-30 S.
Fainah menampik tuduhan tersebut dengan mengaskan bahwa dirinya dipaksa menari di hadapan para jenderal sebelum pembunuhan terjadi. Dan juga, hasil visum menunjukkan bahwa para jenderal dibunuh dengan cara ditembak.
Sementara itu, dikutip dari Kompas.com (21/9/2022), Marsinah ialah seorang buruh di pabrik jam, PT Catur Putra Surya (CPS) yang vokal menyuarakan hak-hak kelompok buruh. Marsinah diculik, disiksa, diperkosa, dam dibunuh pada 8 Mei 1993.
Serupa dengan kekerasan yang dialami Marsinah, dikutip dari Kompas.com (13/5/2021), Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998 juga menimbulkan sejumlah korban kekerasan seksual dan kekerasan terhadap etnis Tionghoa.
Kerusuhan tersebut bermula dari unjuk rasa mahasiswa yang memaksa Presiden Soeharto mundur dan menuntut reformasi.
Baca juga: Mengenang Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh yang Tewas Dibunuh
Kelompok perempuan kerap jadi korban militerisme
Direktur Rifka Annisa WCC, Indiah Wahyu Andari menjelaskan bahwa ketiga kejadian tersebut merupakan praktik militerisme yang memakan korban yakni kelompok perempuan.
"Pembubaran Gerwani sebagai sebuah organisasi perempuan yang progresif pada masa itu, distigma sebagai organisasi yang mengajarkan perempuan 'tidak benar', serta dipandang sebagai ancaman," jelas Indiah saat dihubungi Kompas.com (28/3/2025).
Indiah menerangkan bahwa stigma tersebut menciptakan kesan perempuan baik-baik ialah perempuan yang tidak banyak menentang dan melawan. Dengan kata lain, perempuan diharapkan untuk "tahu diri".
Hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menghentikan pemikiran-pemikiran kritis perempuan dan untuk mengembalikan perempuan ke ranah domestik saja.
Karena itu, organisasi-organisasi perempuan yang lahir setelahnya adalah organisasi perempuan yang melestarikan peran domestik perempuan.
"Sementara itu, kasus Marsinah dan tragedi Mei 1998 menunjukkan praktik militerisme yang sering menggunakan kekerasan seksual untuk menundukkan dan mengendalikan perempuan," kata Indiah.
"Marsinah seorang aktivis buruh perempuan yang diperkosa dan dibunuh di era orde baru, hingga saat ini belum benar-benar diusut tuntas," lanjutnya.
Kasus perkosaan yang dialami Marsinah dan etnis Tionghoa dalam tragedi Mei 1998 merupakan upaya untuk menebar ketakutan dan kontrol terhadap masyarakat, khususnya perempuan.
Baca juga: Ada Stiker Larangan Penumpang KRL Bawa Senjata Kecuali TNI/Polri, KCI: Mencegah Kriminalitas
Program militerisme yang mengontrol kebebasan perempuan
Indiah menjelaskan bahwa program Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Keluarga Berencana (KB), dan tes keperawanan merupakan bentukan dari paham militerisme.
"Melalui program-program tersebut, tubuh dan moralitas perempuan dikontrol sedemikian rupa. Dampaknya bagi perempuan diantaranya adalah perempuan menjadi tidak berdaya menentukan nasibnya sendiri," terang Indiah.
Bagi Indiah, tes keperawanan yang mempermasalahkan kondisi keperawanan menimbulkan stigma adanya perempuan baik (bermoral) dan tidak baik (tidak bermoral).
Padahal, kondisi keperawanan sendiri sebenarnya dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Dengan program-program yang mengontrol perempuan seperti itu, perempuan menjadi tidak bebas mengekspresikan diri.
Baca juga: Terobosan Baru, Alat Kontrasepsi Gel KB untuk Pria, Seberapa Efektif?
Selanjutnya, PKK mengontrol perempuan dengan memberikan tanggung jawab terhadap kebutuhan rumah tangga walaupun dirinya juga bekerja.
"Perempuan mendapatkan tekanan sosial untuk bertanggung jawab atas situasi domestik seperti kerapian rumah, tersedianya makanan, urusan anak-anak. Meskipun dia juga berperan atau mencari nafkah di wilayah publik," ujarnya.
Indiah menuturkan bahwa hal tersebut memupuk terjadinya beban ganda pada perempuan.
Terakhir, program KB juga mengatur tubuh perempuan sebagai objek reseptor KB.
Indiyah menjelaskan bahwa tak jarang pemasangan alat KB menjadi kewajiban dan bukan pilihan bagi perempuan.
Namun, banyak perempuan menggunakan KB tanpa memperoleh informasi yang cukup sebelumnya. Karena itu, mereka menerima efek samping dari alat KB yang digunakan.
"Dalam jangka panjang, perempuan menjadi objek pasif dan tidak terbiasa menentukan apa yang perlu dilakukan untuk tubuhnya, termasuk menentukan kehamilan." kata Indiah.
Bagaimana kaum perempuan melihat pengesahan UU TNI?
Dilansir dari Kompas.com (17/3/2025), revisi UU TNI mengatur perluasan jabatan kementrian dan lembaga yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI.
Hal ini membuat militer memiliki posisi politik yang kuat karena terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sipil.
Indiah menjelaskan bahwa kelompok perempuan seharusnya memiliki kesadaran untuk menilai pengesahan UU TNI secara kritis dan menolaknya dengan tegas.
Sebab, berkaca dari praktik-praktik militerisme yang sebelumnya terjadi, terbukti merugikan kelompok perempuan.
"Aturan ini menghidupkan kembali militerisme dan merugikan perempuan, sementara militerisme memperkuat budaya kekerasan dan dominasi yang merugikan perempuan serta kelompok marjinal lainnya." tutut Indiah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang