KOMPAS.com - Hampir tiga perempat Bumi ditutup oleh lautan, sehingga jika dilihat dari luar angkasa, Bumi akan terlihat seperti bola kecil yang berwarna kebiruan.
Namun, peneliti dari Jepang mengemukakan pernyataan bahwa lautan yang menutup Bumi ini dulunya tidak berwarna biru melainkan hijau jika dilihat dari kejauhan.
Diterbitkan di Jurnal Nature (18/2/2025), peneliti Jepang mengatakan bahwa perbedaan warna ini berkaitan dengan kandungan kimiawi di dalam air laut dan juga proses evolusi fotosintesis.
Bagaimana penjelasan lengkapnya?
Baca juga: Ilmuwan Temukan Lautan Raksasa 700 Km di Bawah Permukaan Bumi, Tidak dalam Bentuk Cair
Peneliti kembali ke zaman Arkean
Pakar geologi dari waktu ke waktu terus mencermati endapan batuan yang dikenal sebagai banded iron formation atau formasi besi berpita yang merekam sejarah planet Bumi.
Dilansir dari Conversation, Kamis (10/5/2025), formasi besi berpita diendapkan dari zaman Arkean dan Paleoproterozoikum, antara 3,8 dan 1,8 miliar tahun yang lalu.
Kehidupan saat itu terbatas pada satu sel organisme di lautan. Benua-benua Bumi pada saat itu berupa lanskap tandus dari bebatuan dan sedimen berwarna abu-abu, coklat, dan hitam.
Hujan yang turun di bebatuan melarutkan besi yang kemudian terbawa ke lautan oleh sungai-sungai. Sumber besi lainnya adalah gunung berapi di dasar laut. Besi ini lah yang menjadi komponen penting di dalam lautan di kemudian hari.
Zaman Arkean sendiri adalah masa ketika atmosfer dan lautan Bumi tidak memiliki gas oksigen, tetapi juga ketika organisme pertama yang menghasilkan energi dari sinar Matahari mulai berevolusi.
Organisme-organisme ini menggunakan fotosintesis anaerobik, yaitu melakukan fotosintesis tanpa adanya oksigen.
Produk sampingan dari fotosintesis anaerobik adalah oksigen. Oksigen yang dihasilkan akan terikat pada besi yang larut dalam air laut. Oksigen akan menjadi gas di atmosfer setelah besi di air laut tidak dapat menetralkan oksigen lagi.
Pada akhirnya, fotosintesis awal di Bumi berujung pada “peristiwa oksidasi besar”, sebuah titik balik ekologis utama yang memungkinkan kehidupan kompleks berkembang di Bumi.
Peristiwa ini menandai transisi Bumi dari yang sebagian besar bebas oksigen menjadi planet yang memiliki banyak oksigen di lautan dan atmosfer.
“Pita-pita” dengan warna yang berbeda dalam formasi besi berpita merekam pergeseran ini dengan pergantian antara endapan besi yang diendapkan tanpa adanya oksigen, dan besi yang teroksidasi yang memiliki warna merah.
Baca juga: Air Kencing Paus Memberikan Manfaat Besar bagi Bumi, Kok Bisa?
Penyebab lautan berwarna hijau
Ditemukan, alga biru-hijau tumbuh subur di perairan hijau yang mengelilingi pulau tersebut.
Terlepas dari namanya, ganggang biru-hijau adalah bakteri primitif dan bukan ganggang sejati.
Pada zaman Arkean, nenek moyang ganggang biru-hijau modern berevolusi bersama bakteri lain dengan menggunakan besi-besi dan bukan air sebagai sumber elektron untuk fotosintesis. Hal ini menunjukkan tingginya kadar zat besi yang larut di air lautan pada masa itu.
Organisme fotosintetik menggunakan pigmen (kebanyakan klorofil) di dalam selnya untuk mengubah CO2 menjadi gula dengan menggunakan energi Matahari. Klorofil sendiri memberikan warna hijau pada tanaman.
Ganggang biru-hijau memiliki keunikan tersendiri karena mereka membawa pigmen klorofil yang umum, tapi juga pigmen kedua yang disebut phycoerythrobilin (PEB).
Dalam makalahnya, peneliti Jepang menemukan bahwa ganggang biru-hijau modern yang direkayasa secara genetik dengan PEB tumbuh lebih baik di perairan hijau. Meskipun klorofil sangat bagus untuk fotosintesis dalam spektrum cahaya yang dapat dilihat oleh kita, PEB tampaknya lebih unggul dalam kondisi cahaya hijau.
Baca juga: China Buka Lowongan Pekerjaan untuk Cegah Tabrakan Asteroid dengan Bumi, Berminat?
Sebelum munculnya fotosintesis dan oksigen, lautan di Bumi mengandung besi tereduksi terlarut, atau besi yang mengendap tanpa adanya oksigen.
Oksigen yang dilepaskan karena fotosintesis pada zaman Arkean kemudian menyebabkan besi teroksidasi (bergabung atau berinteraksi dengan oksigen) dalam air laut.
Simulasi komputer yang dilakukan oleh peneliti Jepang menemukan bahwa oksigen yang dilepaskan oleh fotosintesis awal menyebabkan konsentrasi partikel besi teroksidasi yang cukup tinggi.
Besi teroksidasi ini membentuk partikel padat atau koloid di air. Partikel ini tidak larut, dan ketika tersebar di air, mereka dapat menyebarkan cahaya dengan cara yang berbeda dibanding air murni. Kombinasi antara penyebaran cahaya dan warna alami partikel ini memberi efek kehijauan pada air laut.
Fenomena ini mirip dengan bagaimana fitoplankton di laut modern menyebabkan warna laut jadi hijau di beberapa daerah, karena mereka mengandung klorofil yang menyerap cahaya biru dan merah, lalu memantulkan hijau.
Nah, dalam proses yang panjang, besi yang teroksidasi kemudian akan turun ke dasar lautan sebagai endapan besi, persis yang bisa dilihat pada formasi batu berpita. Hal ini akan menyebabkan penurunan drastis kadar besi di dalam air.
Tanpa besi dan partikel teroksidasi dalam jumlah tinggi, air menjadi lebih bening dan transparan. Dalam kondisi seperti ini, sifat alami air menjadi dominan.
Air laut secara alami menyerap panjang gelombang cahaya merah, oranye, dan kuning lebih kuat dari pada biru. Sebaliknya, cahaya biru dipantulkan dan tersebar, sehingga kita melihat laut berwarna biru.
Baca juga: Benua Australia Bergerak Makin Dekat ke Asia, Apa Dampaknya bagi Bumi?
Bisakah warna lautan berubah lagi?
Dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan bahwa warna laut terkait dengan kondisi kimiawi air dan beberapa faktor lain yang memengaruhi kehidupan di dalamnya.
Peneliti sebut, lautan bisa saja berwarna ungu jika tingkat sulfur di Bumi menjadi sangat tinggi. Hal ini dapat dikaitkan dengan aktivitas vulkanik yang intens dan kandungan oksigen yang rendah di atmosfer, yang akan menyebabkan dominasi bakteri belerang ungu.
Lautan merah juga secara teoritis bisa terbentuk jika terjadi iklim tropis yang intens saat besi teroksidasi merah terbentuk dari pembusukan bebatuan di daratan dan terbawa ke lautan oleh sungai atau angin.
Atau, jika sejenis alga merah mendominasi permukaan lautan.
Alga merah ini biasa ditemukan di daerah dengan konsentrasi pupuk yang tinggi seperti nitrogen. Di lautan modern, hal ini cenderung terjadi di garis pantai yang dekat dengan selokan.
Seiring bertambahnya usia Matahari, sumber panas Bumi ini akan menjadi lebih terang sehingga meningkatkan penguapan permukaan dan sinar UV yang intens. Hal ini dapat menguntungkan bakteri belerang ungu yang hidup di perairan dalam tanpa oksigen.
Hal ini akan menyebabkan lebih banyak warna ungu, cokelat, atau hijau di daerah pesisir, dengan berkurangnya warna biru tua di air karena berkurangnya fitoplankton.
Peneliti sebut, dalam rentang waktu geologis, tidak ada sesuatu yang permanen, dan perubahan warna lautan tidak dapat dihindari.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.