SEJAK lama, praktik penahanan ijazah oleh perusahaan sudah dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak dasar pekerja.
Namun, meskipun telah ada aturan yang melarang, praktik ini terus berlangsung secara laten dan tersembunyi.
Di balik alasan-alasan perusahaan yang menyebut ini sebagai bentuk “jaminan moral” atau “pengikat kontrak pelatihan”, sejatinya praktik ini mencerminkan ketimpangan relasi kuasa antara pekerja dan pemberi kerja. Seperti kasus yang melibatkan perusahaan yang ada di Surabaya.
Pertanyaannya, jika sudah ada larangan, mengapa praktik ini tetap eksis? Siapa yang sebetulnya bersalah?
Perlu ditegaskan sejak awal, ijazah adalah dokumen resmi yang menyatakan capaian akademik seseorang dan merupakan hak milik pribadi. Ijazah bukan jaminan utang, bukan alat tawar-menawar, dan bukan pula properti perusahaan.
Baca juga: Pemkot Surabaya Dampingi Korban Penahanan Ijazah Saat Lapor ke Polisi
Penahanan ijazah jelas bertentangan dengan hukum. Dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2022 ditegaskan bahwa penahanan ijazah oleh perusahaan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak pekerja dan tidak memiliki dasar hukum.
Bahkan, menurut Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang dibuat di luar batas kewajaran dan melanggar ketertiban umum tidak sah secara hukum. Praktik ini, dengan kata lain, tidak hanya tidak etis, tetapi juga ilegal.
Namun, sebagian perusahaan tetap melakukannya. Tidak sedikit perusahaan yang mensyaratkan penyerahan ijazah asli sebagai bagian dari proses rekrutmen atau kontrak pelatihan.
Bahkan dalam beberapa kasus, ijazah ditahan bertahun-tahun dengan dalih bahwa pekerja belum menyelesaikan “ikatan dinas”. Padahal secara normatif tidak ada ketentuan hukum yang membenarkan penahanan dokumen pribadi.
Karyawan dalam posisi lemah
Salah satu penyebab utama mengapa praktik ini tetap berlangsung adalah ketimpangan posisi antara pekerja dan pemberi kerja.
Pekerja, terutama mereka yang baru lulus dan sangat membutuhkan pekerjaan, sering kali terpaksa menandatangani kontrak yang mencantumkan syarat penyerahan ijazah.
Dalam kondisi ekonomi yang tidak pasti, tawaran pekerjaan dianggap sebagai keberuntungan yang tak bisa ditolak, meskipun syaratnya jelas-jelas melanggar hak.
Baca juga: Vonis di Etalase
Banyak pekerja yang kemudian mengalami dilema ketika ingin resign, tetapi tak bisa mengambil ijazahnya kembali tanpa membayar “denda”, meskipun tidak ada dasar hukumnya.
Pengalaman pahit para pekerja ini jarang terekspos ke publik karena mereka khawatir akan dituduh tidak loyal, dicap buruk oleh perusahaan, atau mengalami kesulitan mencari pekerjaan baru. Sementara itu, mekanisme pengaduan hukum masih dirasa sulit diakses.
Masalah lainnya adalah lemahnya penegakan hukum di sektor ketenagakerjaan. Banyak pengawas ketenagakerjaan di daerah yang tidak aktif melakukan inspeksi atau tindak lanjut aduan.
Bahkan, dalam sejumlah kasus, pelaporan justru berhenti di meja mediasi tanpa solusi yang berpihak kepada pekerja.
Padahal, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh pelaku usaha mematuhi prinsip kerja layak (decent work) sebagaimana didorong oleh ILO (International Labour Organization).
Penahanan ijazah jelas melanggar prinsip dasar tersebut, yakni martabat dan kebebasan pekerja.
Hingga hari ini belum terdengar satu pun kasus penahanan ijazah oleh perusahaan yang diproses secara hukum pidana atau administratif secara tegas. Ketika pelanggaran tidak mendapatkan sanksi, maka pelanggaran tersebut akan terus diulang.
Selain pemerintah dan perusahaan, lembaga pendidikan tinggi juga perlu melihat persoalan ini sebagai tanggung jawab moral.
Banyak lulusan yang mengalami penahanan ijazah karena rekrutmen dilakukan lewat kerja sama antara kampus dan perusahaan.
Dalam program seperti “link and match”, kampus kadang menyerahkan mahasiswa atau alumni ke perusahaan tertentu tanpa kontrol atau evaluasi terhadap kontrak kerja yang ditawarkan.
Jika kampus tidak memberi edukasi hukum ketenagakerjaan yang memadai, maka lulusan akan terjun ke dunia kerja tanpa perlindungan yang cukup.
Bahkan, ada kampus yang seolah memaklumi praktik penahanan ijazah, selama mahasiswa “bekerja sesuai kontrak”. Ini menunjukkan lemahnya keberpihakan dunia pendidikan pada hak-hak pekerja muda.
Baca juga: Jangan Ada Matahari Kembar
Kampus semestinya membangun sistem advokasi untuk alumni dan memastikan bahwa mitra perusahaan tempat lulusan bekerja tidak melanggar hak dasar manusia.
Siapa yang bersalah?
Jika ditarik benang merahnya, maka semua pihak yang membiarkan praktik ini berlangsung—baik secara aktif maupun pasif—ikut bersalah.
Perusahaan bersalah karena menyalahgunakan posisi dominan dan menahan dokumen pribadi tanpa dasar hukum.
Pemerintah bersalah karena membiarkan pelanggaran ini terus terjadi tanpa tindakan nyata. Kampus bersalah karena abai terhadap nasib lulusan mereka.
Dan masyarakat pun bersalah ketika membiarkan praktik ini menjadi bagian dari “kebiasaan kerja” yang tidak manusiawi.
Bahkan, dalam banyak kasus, orangtua pun ikut menyarankan anaknya menyerahkan ijazah demi “jaminan pekerjaan”, tanpa memahami implikasi hukumnya.
Ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga budaya permisif terhadap pelanggaran hak.
Apa yang harus dilakukan?
Pertama, pemerintah perlu membangun mekanisme pengawasan dan pelaporan yang efektif. Posko aduan online harus dibuka dengan perlindungan pelapor yang kuat, dan setiap laporan harus ditindaklanjuti secara serius.
Kedua, perusahaan yang terbukti menahan ijazah harus dikenai sanksi administratif, mulai dari denda hingga pencabutan izin operasional. Jika pelanggaran berulang, maka pidana korporasi bisa dipertimbangkan.
Ketiga, kampus harus aktif memberikan edukasi hukum kerja kepada mahasiswa dan alumni. Selain itu, kerja sama kampus-perusahaan harus diawasi dan dievaluasi secara berkala agar tidak melanggengkan praktik kerja eksploitatif.
Keempat, media dan masyarakat sipil perlu mengangkat isu ini sebagai bagian dari agenda publik. Jika praktik ini terus didiamkan, maka kita sedang membiarkan eksploitasi struktural terhadap pekerja muda berlangsung dalam diam.
Tidak ada satu pun dasar hukum yang sah untuk menahan ijazah seseorang. Menormalisasi praktik penahanan ijazah berarti kita sedang melegalkan bentuk baru perbudakan modern.
Ijazah bukan milik perusahaan. Itu adalah hasil jerih payah seseorang yang tidak bisa dijadikan alat sandera.
Saatnya negara berpihak. Jika tidak, maka kita hanya menyaksikan pengkhianatan terhadap prinsip keadilan sosial yang dijamin oleh konstitusi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.