KOMPAS.com - Wajib militer berpeluang diterapkan di Indonesia. Hal itu disampaikan oleh Kepala Biro Info Pertahanan (Infohan) Setjen Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI Brigjen TNI Frega Wenas Inkiriwang.
Ia mengatakan, bukan tidak mungkin Indonesia menerapkan kebijakan wajib militer bila mempunyai anggaran negara yang besar.
Pernyataan itu Frega sampaikan sebagai jawaban sebuah pertanyaan dalam diskusi daring yang digelar oleh Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) pada Kamis (17/4/2025).
Adapun pertanyaan yang dilontarkan kepada Frega, mengenai bagaimana mekanisme melibatkan sipil atau masyarakat ketika ada situasi darurat pertahanan keamanan ke depannya.
Baca juga: Ikut Kritisi RUU TNI, Fedi Nuril Ternyata Berasal dari Keluarga Militer
"Nah, kita memang saat ini sifatnya adalah sukarela, melalui Komcad (Komponen Cadangan) kemudian juga ada (program) bela negara," kata dia dikutip dari Kompas.com, Kamis (17/4/2025).
"Mungkin kalau misalnya nanti kita sudah punya anggaran yang jauh lebih banyak, bukan tidak mungkin kita bisa menerapkan kebijakan yang lebih maju, ya seperti wajib militer," sambungnya.
Frega menyebut bahwa wajib militer atau wamil membutuhkan biaya yang sangat besar untuk diterapkan.
Sementara di sisi lain, dia juga tak ingin kebijakan tersebut dipandang sebagai bagian dari militerisasi.
"Tapi tentunya, ini butuh biaya yang banyak dan tentunya bukan berarti jangan dilihat ini sebagai bentuk militerisasi, ya,” tutur Frega.
“Tapi ini adalah bentuk juga tanggung jawab bagaimana, kan amanah konstitusi adalah pertahanan adalah hak dan kewajiban setiap warga negara," imbuhnya.
Baca juga: Ramai di Media Sosial, Apa Itu Junta Militer?
Tanggapan pengamat militer
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi buka suara terkait wacana wamil berpeluang diterapkan di Indonesia.
Dia menyebut bahwa wacana wamil yang mengemuka baru-baru ini memang sah untuk dibahas dan bukan hal baru.
Hal itu karena ada dasarnya secara konstitusional dan yuridis. Lalu ada berbagai pertimbangan lain dalam wacana wajib militer di Indonesia.
“Tapi penting dipahami, wacana ini jangan digoreng seolah-olah negara hendak melakukan militerisasi warga sipil. Pemahaman seperti itu keliru dan dapat menyesatkan diskursus publik,” kata dia kepada Kompas.com, Jumat (18/4/2025).
Pertama, Pasal 30 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) menyebut bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
Formulasi dalam pasal tersebut dianggap penting, karena menempatkan hak sebagai yang didahulukan, baru kemudian kewajiban.
Artinya, sebelum menuntut warga negara ikut serta, negara terlebih dahulu wajib menyediakan fasilitas, regulasi, dan mekanisme agar hak bela negara itu bisa diwujudkan secara nyata dan adil.
Baca juga: Militer Swiss Pernah Tak Sengaja Menginvasi Negara Tetangga, Begini Ceritanya
Kemudian kedua, juga tertuang dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
Pasal tersebut menyebutkan ada empat bentuk partisipasi warga negara dalam upaya bela negara, antara lain:
- Pendidikan kewarganegaraan
- Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib
- Pengabdian sebagai prajurit TNI, baik secara sukarela maupun wajib
- Pengabdian sesuai dengan profesi.
“Jadi, pelatihan dasar kemiliteran dan pengabdian sebagai prajurit secara wajib bukan gagasan baru” terangnya Khairul.
“Itu sudah menjadi bagian dari sistem hukum kita, dan sah untuk dijadikan opsi partisipasi warga dalam sistem pertahanan nasional,” sambungnya.
Baca juga: Kisah Pria Korea yang Jadi Tentara di 3 Negara Saat Perang Dunia 2
Ketiga, secara historis Indonesia pernah menerapkan berbagai bentuk pelatihan dasar kemiliteran bagi warga sipil dan pengabdian sebagai prajurit TNI secara wajib, sebelum era reformasi.
Misalnya, melalui:
- Sepamilwa (Sekolah Perwira Militer Wajib), direkrut dari lulusan perguruan tinggi. Sementara untuk yang sukarela namanya Sepamilsuk. Begitu juga untuk level bintara dan tamtama.
- Pelatihan militer wajib bagi profesi strategis seperti intelijen, jaksa, petugas imigrasi, bea cukai, serta karyawan lembaga pemerintah dan BUMN vital/strategis.
“Jadi ini bukan wacana baru, melainkan pernah menjadi bagian dari sistem pertahanan Indonesia,” ucap Khairul.
Baca juga: Mengenal Apa Itu Komcad dan Bedanya dengan Wajib Militer
Keempat, sistem pertahanan Indonesia tidak menganut wamil total seperti Korea Selatan atau Israel.
Sesuai konstitusi, sistem yang diterapkan adalah Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) yang bersifat partisipatif.
Sistem tersebut melibatkan:
- Komponen utama: TNI
- Komponen cadangan: warga negara dan sumber daya nasional yang disiapkan
- Komponen pendukung: masyarakat dan institusi yang dapat mendukung TNI.
“Pendekatan yang dirumuskan oleh para pendiri dan pendahulu negara kita ini sangat visioner karena sejak awal bersifat non-agresif, demokratis, dan berbasis kesadaran kolektif, bukan paksaan struktural,” ujar Khairul.
Baca juga: 8 Hal yang Perlu Diketahui soal Komcad
Pasal 9 ayat (3) UU Nomor 3 Tahun 2002 mengamanatkan bahwa pendidikan kewarganegaraan, pelatihan militer wajib, dan pengabdian profesi harus diatur dalam undang-undang turunan yang hingga kini belum terbit.
Oleh karena itu, secara operasional, wamil (dalam bentuk pelatihan dasar kemiliteran dan atau pengabdian sebagai prajurit) belum bisa diterapkan secara efektif dan nasional.
“Dalam konteks ini, pernyataan Brigjen Frega Wenas bahwa wajib militer dapat dilakukan bila anggaran pertahanan sudah lebih besar saya nilai sangat proporsional dan realistis,” kata Khairul.
“Ia tidak sedang mendorong pelaksanaan wamil secara tergesa-gesa, tapi mengingatkan bahwa sistem semacam itu memerlukan kesiapan hukum, sosial, politik, dan anggaran yang tidak kecil,” sambungnya.
Baca juga: 8 Negara yang Tidak Punya Tentara, Bagaimana Cara Menjaga Kedaulatannya?
Bagaimana jika wamil benar-benar diterapkan?
Khairul menyampaikan ada sejumlah dampak positif dan tantangan yang besar bila wamil diterapkan di Indonesia nantinya.
Dampak positifnya antara lain:
- Peningkatan kapasitas pertahanan nasional, dengan tersedianya cadangan personel terlatih
- Penanaman disiplin dan semangat kebangsaan di kalangan generasi muda
- Pemerataan semangat bela negara sebagai sarana integrasi sosial
- Meningkatkan ketahanan nasional dalam konteks ancaman multidimensi.
Sedangkan tantangan besar yang dimaksud yakni:
- Beban anggaran sangat besar, terutama untuk pelatihan, infrastruktur, logistik, dan rawatan kesejahteraan peserta
- Resistensi sosial jika pelaksanaannya tidak komunikatif, adil, dan transparan
- Potensi gangguan terhadap pendidikan dan dunia kerja karena menyasar usia produktif
- Risiko militerisasi budaya sipil, bila nilai-nilai yang dibentuk terlalu kaku dan tidak inklusif
- Tumpang tindih regulasi, jika belum ada aturan teknis yang mengatur secara rinci soal siapa yang diwajibkan dan bagaimana pelaksanaannya.
Baca juga: Melongok Pulau Terlarang Diego Garcia, Pangkalan Militer Rahasia AS di Samudra Hindia
Negara perlu prioritaskan hak warga negara
Dengan adanya berbagai tantangan yang besar itu, daripada mendorong wamil dalam bentuk militerisasi rakyat, negara sudah seharusnya memprioritaskan fasilitasi hak warga negara melalui langkah-langkah.
Langkah pertama, yaitu penguatan komponen Komcad sebagai bentuk partisipasi bela negara yang sukarela, legal, dan berstruktur, serta dapat dimobilisasi saat diperlukan.
Menurut Khairul, Komcad memungkinkan warga sipil terlibat dalam pertahanan tanpa harus menjadi militer aktif.
“Ini memperluas basis pertahanan tanpa memaksa,” ucapnya
Langkah kedua yang dilakukan, Khairul menilai bahwa perlu adanya program bela negara yang inklusif.
Di mana konsep bela negara harus diperluas ke sektor-sektor nonmiliter seperti siber, logistik, kesehatan, pendidikan, hingga komunikasi strategis.
“Dengan begitu, bela negara bukan monopoli militer, melainkan bagian dari ketahanan nasional multidimensi,” ujarnya.
Baca juga: Peran Akademisi dalam Bela Negara
Kemudian langkah ketiga atau terakhir adalah penyusunan regulasi pelaksanaan
Hal itu penting mengingat tanpa adanya UU turunan yang mengatur bentuk-bentuk kewajiban bela negara, maka wacana wamil ini hanya akan menjadi retorika politik.
Khairul menekankan bahwa negara harus menyusun aturan pelaksanaan yang menjamin keadilan akses, obyektivitas rekrutmen, perlindungan HAM, dan efektivitas pelaksanaan.
Ia juga menegaskan, hal yang lebih penting dari wacana wamil tersebut adalah memperkuat mekanisme partisipasi bela negara berbasis hak, kesukarelaan, profesionalitas, dan kesiapan sistem.
“Itulah cara terbaik menjaga keseimbangan antara kesadaran kolektif menyangkut hak dan kewajiban warga serta tanggung jawab negara dalam sistem pertahanan semesta yang demokratis,” pungkas Khairul.
Baca juga: Setiap Hari Mengejawantahkan Kesaktian Pancasila
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.