Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Richard Laver, Korban Selamat dari Tragedi Delta Air Lines 191 yang Tewaskan 137 Orang

Baca di App
Lihat Foto
Wikimedia Commons
Ilustrasi pesawat Delta Air lines 191. Kisah Richard Laver.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Richard Laver membagikan ceritanya saat menjadi korban termuda yang selamat dari kecelakaan Delta Air lines 191 yang menewaskan 137 orang tewas.

Saat itu, dia baru berusia 12 tahun.

Kecelakaan itu terjadi di dekat Bandara Internasional Dallas Fort Worth, Texas, Amerika Serikat pada 2 Agustus 1985.

Dikutip dari SimpleFlying, Delta 191 adalah penerbangan terjadwal reguler antara Fort Lauderdale, Florida dan Los Angeles, California.

Penerbangan yang menggunakan pesawat Lockheed L-1011 mempunyai pemberhentian di Dallas Fort Worth.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Ban Pesawat Garuda Indonesia Lepas Saat Mendarat di Bandara Tanjung Pinang

Delta Air Lines 191 tersebut tengah membawa 163 penumpang dan kru pesawat ketika insiden itu terjadi.

Pesawat Delta Air lines 191 jatuh ketika mendekati atau akan mendarat di landasan pacu Bandara Dallas Fort Worth akibat cuaca buruk badai petir.

Pesawat mengalami pergeseran angin yang berkaitan dengan microburst, hingga menyebabkan pesawat jatuh sebelum mencapai landasan pacu dan meledak.

Dari sejumlah korban tewas, salah satunya merupakan seorang pria yang mengemudikan mobil saat melintasi jalan raya dekat bandara dan tertabrak Delta Air lines 191.

Lantas, bagaimana kisah Richard Laver bisa selamat dari tragedi Delta Air Lines 191?

Baca juga: Kronologi Penumpang Batik Air Mengaku Bawa Bom Dalam Pesawat

Awal mula kejadian

Richard Laver mengaku telah mengalami mimpi aneh selama dua hari sebelum kecelakaan pesawat tersebut dan bercerita kepada ibunya.

“Ini bukan hanya perasaan buruk. Aku tahu itu (Delta Air Line 191) akan crash,” katanya dilansir dari People.

Keluarga Laver tinggal di Delray, Florida dan saat itu ayahnya akan membawa dia ke turnamen tenis junior di San Diego, California.

Laver dan ayahnya adalah orang terakhir yang naik ke pesawat Delta Air Lines 191 pada hari itu. Saat tiba di wilayah Dallas, dia melihat ada badai.

“Saat kami terbang di atas Dallas, sekitar setengah perjalanan, saya menengok ke kanan dan melihat sel badai di luar jendela, gelap dan penuh firasat,” ucapnya.

“Ayah saya tampaknya tidak peduli. Dia sedang minum rum dan coke serta merokok, tertawa sambil menonton film koboi,” lanjutnya.

Sesaat kemudian, Laver merasa dunia sekitarnya mulai melambat dan ada sesuatu yang salah. Dia pun memutuskan untuk pergi ke toilet pesawat untuk membasuh wajahnya. 

Baca juga: Kisah Pesawat Iran Air 655, Ditembak Rudal AS dan Hancur di Angkasa, 290 Orang Tewas

Laver memasang sabuk pengaman

Firasat Laver mengatakan bahwa pesawat akan jatuh. Sehingga ketika kembali ke tempat duduknya, Laver memasang sabuk pengaman dan tidak melepaskannya.

Dia meletakkan selimut di pangkuannya sehingga pramugari tidak akan melihat bahwa dirinya memakai sabuk pengaman.

“Apa yang terjadi selanjutnya menjadi berita utama di seluruh negeri, pesawat menghantam sebuah geseran angin sebagai bagian dari ledakan mikro dalam badai,” ujarnya.

“Rasanya seperti lift yang jatuh dari lantai seratus ke lantai pertama. Kekacauan terjadi di dalam pesawat, dan semua orang berteriak,” tambahnya.

Baca juga: Kisah China Airlines 611, Pesawat Pecah di Angkasa, Seluruh Penumpang dan Awak Jatuh di Perairan

Laver terlempar dari pesawat dan diselamatkan sopir truk

Ketika itu, Laver mengaku bahwa pesawat tidak pernah berhasil mencapai landasan pacu.

Pesawat justru menabrak beberapa menara air sebelum akhirnya dilahap oleh ledakan berbentuk awan jamur.

Ledakan itu membuat dia terlontar dan terbang keluar dari pesawat lalu terhempas oleh angin berkecepatan 70 mph hingga akhirnya mendarat di ladang di dekatnya.

“Hujan es sebesar bola golf menghantam saya. Wajah saya terbakar. Saya tidak bisa bergerak atau berbicara. Saya tidak bisa berteriak minta tolong,” kata Laver.

Tubuh Laver tidak bisa digerakkan sehingga dia hanya bisa tetap berbaring dalam beberapa waktu.

Ketika itu, hujan badai masih terus terjadi dan air mulai menggenangi dan membanjiri ladang tempat dia berada.

“Saya mulai memuntahkan air. Saya pikir saya akan tenggelam karena saya tidak bisa bergerak atau berbicara,” tutur Laver.

Ketika itu, seorang sopir truk yang berada di jalan tol dekat ladang, melihat Laver yang tengah terbujur kaku. Sang sopir segera menepikan truknya di sisi jalan tol.

Dia memotong pagar kawat ladang tersebut dan segera menarik Laver keluar dari air. Dia berkata, "Kamu akan baik-baik saja, Nak.”

Laver pun dievakuasi dan dibawa dengan helikopter ke unit luka bakar Parkland Memorial.

Baca juga: Kisah Penerbangan Aloha Airlines 243, Atap Pesawat Robek di Udara, 1 Pramugari Terlempar ke Angkasa

Sempat dilanda gangguan emosional

Akibat peristiwa tersebut, Laver sempat mengalami kesulitan untuk pulih secara emosional dari semua trauma yang ada.

Awal usia 20-an adalah masa-masa di mana Laver tidak bisa mempertahankan pekerjaan dan segalanya terasa “naik turun” baginya, termasuk mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan stres pascatrauma (PTSD).

“Saya tidak bisa tinggal di masa sekarang. Saya selalu melihat hidup seperti bisa berubah dengan cepat,” kata Laver.

Ketika berusia 27 tahun, Laver merasa sudah menyerah dan benar-benar tidak memiliki banyak harapan.

Dia mengaku sempat merasa tidak ada yang benar-benar berhasil dalam hidupnya. Laver juga tidak punya uang untuk membayar sewa rumah ketika itu.

“Jadi saya tidur di pantai selama 40 hari. Saya memiliki rekening bank, sekitar 200 dollar, tetapi habis dalam 10 hari pertama,” imbuhnya.

Karena orang-orang sekitar mengenal dia dan keluarganya, bar di seberang jalan mengizinkan Laver makan di happy hour.

Baca juga: Kisah Germanwings 9525, Kopilot Tabrakkan Pesawat ke Lereng Alpen akibat Depresi

Berhasil menyelamatkan sang putri

Singkat cerita, dia berusaha untuk bangkit dari keterpurukannya. Laver menelepon saudara perempuannya dan dibelikan tiket pesawat ke California.

Laver memutuskan untuk pindah ke California dan menjadi pemain tenis profesional di sebuah klub di Palm Springs.

Di sana dia bertemu dengan kekasihnya, Michelle, seorang ibu tiga anak yang sedang dalam proses perceraian.

“Saya memberinya kartu nama saya untuk mengajar anak-anaknya,” kata Laver.

Dari pernikahannya dengan Michelle, Laver dikaruniai seorang putri bernama Katie atau kerap disapa Kate. Namun, dokter mendiagnosis Kate menderita cerebral palsy.

Meski demikian, Laver tetap bahagia menjadi seorang ayah. Dia mengusahakan yang terbaik untuk Kate.

“Saya tahu bahwa dengan menyelamatkan Kate, saya juga akan menyelamatkan diri saya sendiri,” yakin Laver.

Kate mengalami hypoallergenic terhadap susu dan kedelai hingga pada gilirannya tidak bisa menyerap nutrisi dengan baik. Laver pun menciptakan susu formula nabati agar bisa menjadi pengganti nutrisi putrinya, yang  awalnya dia sebut sebagai “krim Kate.”

Berat badan Kate jadi bertambah setelah mengonsumsi formula nabati ciptaan ayahnya. Dalam waktu 30 hari, Kate sudah tidak mengonsumsi 90 persen obatnya.

“Kisah saya adalah tentang seorang pria yang selamat dari kecelakaan pesawat, menyelamatkan nyawa putrinya, dan itu adalah kehidupan yang luar biasa,” ungkap dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi