ALKISAH pada Maret 2025, hakim Pengadilan Banding Negara Bagian New York dikejutkan oleh kehadiran seorang “pengacara” muda yang fasih berbicara melalui layar virtual.
Peristiwa itu sontak berubah, saat dalam hitungan detik, Hakim Sallie Manzanet-Daniels menghentikan presentasi dan mengungkap kenyataan yang mencengangkan. Ternyata sosok itu bukan manusia sungguhan, melainkan avatar hasil rekayasa Akal Imitasi (AI).
Hakim negara bagian New York itu mengatakan “itu bukan orang sungguhan” saat Avatar AI dihadapkan di pengadilan.
Fakta ini dilaporkan The Economic Times dalam artikel “That’s not a real person”: NY judges shut down AI avatar in courtroom twist” (05/04/2025).
Di pengadilan banding New York, Jerome Dewald menggunakan avatar yang dibuat oleh AI untuk menyampaikan argumennya dalam sengketa ketenagakerjaan. Sontak hal ini memicu kebingungan dan frustrasi di kalangan hakim.
Insiden tersebut menyoroti meningkatnya penggunaan AI dalam sistem hukum, yang menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan risiko mengandalkan konten yang dibuat oleh AI.
Meskipun ada kontroversi, para ahli mengakui potensi dan manfaat AI, tetapi memperingatkan tentang keterbatasannya.
Baca juga: Sistem Saraf Digital dan Kekhawatiran AI Bakal Kendalikan Manusia
Kontroversi AI
Jerome Dewald, seorang pria berusia 74 tahun yang menjadi pusat perhatian dalam insiden ini, bukanlah pengacara atau inovator teknologi, melainkan penggugat dalam kasus ketenagakerjaan yang memutuskan untuk menyampaikan argumennya melalui avatar AI karena keterbatasan fisik akibat riwayat kanker tenggorokan.
Keinginannya untuk tetap bisa bicara di pengadilan membuatnya mencari solusi teknologi yang menurutnya lebih efektif.
Namun, niat baik ini tidak disambut oleh pengadilan. Dewald tidak memberitahukan terlebih dahulu bahwa dirinya akan diwakili oleh avatar digital.
Hakim menghentikan presentasi tersebut, dan dengan tegas, menyatakan bahwa ruang sidang bukan tempat untuk “eksperimen yang tidak dikomunikasikan.”
Hal ini menjadi titik awal perdebatan panjang antara inovasi dan etika hukum. Kasus ini menunjukan pentingnya transparansi dalam penggunaan teknologi di pengadilan.
Inovasi tidak dapat menggantikan prosedur. Justru, harus masuk ke dalam sistem melalui jalan regulasi dan persetujuan yang jelas.
Keabsahan
Dari sisi kemanusiaan, alasan Dewald dapat dimengerti. Keterbatasan fisik adalah tantangan nyata, dan teknologi memang seharusnya hadir untuk membantu mereka yang membutuhkan.
Dalam konteks ini, AI bisa menjadi jembatan antara hambatan biologis dan partisipasi dalam sistem keadilan. Namun, apakah semua bentuk bantuan teknologi dapat serta-merta digunakan di ruang sidang, tentu perlu ada prosedur hukum acaranya.
Penggunaan avatar AI memunculkan persoalan autentikasi dan tanggung jawab hukum. Siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban jika avatar tersebut menyampaikan pernyataan yang menyesatkan, misalnya.
Pertanyaan lainnya, apakah pengadilan masih bisa menjamin integritas proses hukum jika perwakilan digital tidak diatur dengan tegas.
Baca juga: AI Ghibli dan Pelindungan Hak Cipta Seniman
Dalam hal inilah etika dan hukum bertemu. Teknologi dapat membantu akses keadilan, tetapi tanpa mekanisme verifikasi, ia justru dapat mencederai asas kejujuran dan akuntabilitas dalam peradilan.
Kasus Dewald bukan insiden pertama dalam hubungan antara AI dan sistem hukum di pengadilan. Sebelumnya, beberapa pengacara di New York didenda karena menyertakan referensi hukum palsu yang dibuat oleh ChatGPT dalam dokumen resmi.
Hal ini menunjukkan bahwa AI, jika tidak dipahami dengan benar, bisa menjadi pisau bermata dua: mempercepat proses di satu sisi, tapi menyesatkan dan membahayakan kredibilitas hukum di sisi lain.
Sementara itu, di Arizona, Mahkamah negara bagian justru menggunakan avatar AI secara resmi untuk menjelaskan putusan kepada publik. Ini adalah contoh bagaimana AI bisa dimanfaatkan dalam kerangka yang lebih terstruktur dan terkontrol.
Penggunaan AI di ruang hukum bukanlah soal boleh atau tidak, melainkan soal bagaimana, kapan, dan untuk tujuan apa.
Di tangan yang tepat dan dalam sistem yang teratur, AI bisa menjadi katalisator reformasi hukum. Sebaliknya, di tangan yang tidak hati-hati, AI bisa memperkeruh transparansi dan akuntabilitas.
Insiden ini menandai titik penting bahwa sistem peradilan perlu segera merespons perkembangan teknologi, bukan dengan penolakan total, melainkan dengan membentuk pedoman baru yang menjamin pemanfaatan AI secara etis dan bertanggung jawab.
Seperti halnya saat pengadilan menerima bukti digital, kini waktunya menetapkan standar untuk perwakilan digital.
Baca juga: Perlukah AI Jadi Materi Kurikulum di Sekolah?
Saran saya ke depan, siapa pun yang ingin menggunakan alat bantu AI dalam ruang sidang harus mengajukan permohonan resmi yang disertai dengan deskripsi teknologi, batas penggunaannya, serta siapa yang bertanggung jawab atas konten yang disampaikan.
Hukum bukan hanya tentang menjaga hak dan kewajiban serta fakta masa lalu, tapi juga mempersiapkan masa depan.
Respons terhadap AI harus bersifat progresif, tapi tetap menjunjung prinsip dasar keadilan, transparansi, tanggung jawab, dan perlindungan hak setiap pihak untuk terciptanya ketertiban.
Kasus ini menunjukan disrupsi teknologi dalam sistem hukum, teknologi berkembang lebih cepat daripada regulasi. Kita juga bisa belajar bahwa adaptasi bukan berarti menerima apa adanya tanpa membuat regulasi yang tepat, dan inovasi bukan berarti kebebasan mutlak.
Keadilan harus tetap hadir bagi semua, baik melalui keputusan dan kebijakan manusia atau dengan pemanfaatan teknologi yang dilakukan secara adil dan sah.
Di tengah gelombang transformasi digital, kita butuh hukum transformatif bukan sekadar hukum konservatif.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.