KOMPAS.com - Media sosial diramaikan dengan unggahan bernarasi leluhur orang Jawa pengguna kayu jati, tetapi tidak dengan cucu dan cicitnya.
Sebab, banyak orang saat ini lebih memilih menggunakan kayu mahoni dibandingkan kayu jati.
Fenomena tersebut seakan menggambarkan penurunan kualitas generasi yang memanfaatkan komoditas kayu sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
"Pelajaran sosiologi tidak menjelaskan kenapa leluhur orang Jawa pengguna jati sementara cucu cicitnya cuma kuat beli mahoni," tulis akun @syae****, Minggu (20/4/2025).
Unggahan itu pun menuai beragam respons dari warganet. Beberapa di antaranya menganggap kayu jati yang kini semakin.
Tak sedikit pula yang menilai bahwa harga kayu jati tak bisa dijangkau oleh mayoritas warga yang berpenghasilan menengah.
Lantas, mengapa orang masa kini mulai jarang menggunakan kayu jati?
Baca juga: Viral, Video Serangan Ulat Jati Menyerbu Gunungkidul, Apa Penyebabnya?
Sindiran tajam perubahan sosial dan lingkungan
Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Drajat Tri Kartono menyebutkan, unggahan tersebut merupakan sindiran tajam terhadap perubahan sosial dan lingkungan yang terjadi di masyarakat.
"Dahulu, leluhur kita selalu memanfaatkan pohon jati yang bagus, kuat, dan kokoh. Sementara generasi sekarang hanya mampu membeli kayu mahoni, ini adalah sindiran tajam," kata Drajat kepada Kompas.com, Senin (21/4/2025).
Dalam aspek lingkungan, pohon jati saat ini sudah banyak ditebang. Terutama di Jawa, jumlah pohon jati semakin langka karena populasinya terus berkurang.
Pasalnya, lahan yang dulunya ditanami pohon jati, sekarang dialihfungsikan menjadi lahan pertanian, permukiman, dan lain sebagainya.
"Hal ini tidak diimbangi dengan percepatan reboisasi pohon jati," imbuhnya.
Apalagi, tingginya nilai fungsi pohon jati membuat permintaan komoditas tersebut tinggi. Hal ini menjadi celah para kapitalis untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi pohon Jati.
Baca juga: Benarkah Teh Jati Cina Bisa Sebabkan Gagal Ginjal hingga Cuci Darah? Ini Kata Dokter
Nilai simbolik pohon jati yang sudah pudar
Salah satu kelangkaan pohon jati menurut Drajat adalah hilangnya nilai simbolik atau kesakralan di masyarakat.
Menurutnya, pohon jati kerap dikaitkan dengan simbol kesejatian (sejati) yang bermakna integritas seorang manusia.
"Mengapa? karena pohon jati itu tumbuh lurus ke atas tinggi. Bahkan bisa sampai 70 meter," jelasnya.
Tak hanya itu, daun pohon jati yang kuat dan kokoh jika digosok mengandung warna merah seperti darah.
Warna merah pada daun yang digosok ini juga menjadi simbol integritas atau jalan hidup yang lurus.
"Hanya saja, pemahaman terhadap nilai kesejatian yang disimbolkan oleh pohon jati itu yang tidak terlalu luas dipahami masyarakat," ujarnya.
"Inilah yang membuat pohon jati tidak punya nilai kesakralan dibanding pohon beringin," sambungnya.
Sebab, nilai kesakralan pohon beringin mampu mempertahankan dan menjaganya dari eksploitasi manusia.
Baca juga: Ingin Buat Kitchen Set, Pilih Bahan Multipleks atau Kayu Jati Belanda?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.