Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa AS Khawatir pada GPN, QRIS, dan Aturan Halal Indonesia?

Baca di App
Lihat Foto
DOK. Humas BRI
PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menghadirkan fitur pembayaran berbasis NFC, QRIS Tap.
|
Editor: Intan Maharani

KOMPAS.com - Beberapa kebijakan di Indonesia ternyata memicu kekhawatiran Amerika Serikat (AS).

Belakangan, kekhawatiran AS terhadap kebijakan Indonesia turut menjadi pembahasan di media sosial seiring dengan penerapan tarif impor yang dapat naik sebesar 47 persen.

Baca juga: Ini 10 Poin Hasil Negosiasi Indonesia dengan Tarif Trump dari AS, Apa Saja?

Terlebih lagi, bukan hanya Indonesia melainkan negara ASEAN lain punya sistem pembayaran mandiri yang tidak perlu bekerja sama dengan AS.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Karena mereka (AS) rugi banyak sejak Indonesia punya GPN dan QRIS. Hampir semua negara ASEAN sekarang punya QRIS versi mereka masing masing dan kalo jadi, nanti bakal disatuin jadi ASEAN Pay. Kalo udah gitu makin kebakaran jenggot ini Pak Tua," tulis akun @txtfro****mshsj di media sosial X pada Selasa (22/4/2025). 

Pembahasan ini ramai di media sosial yaitu setelah kabar Indonesia dikenakan tarif 47 persen setelah sebelumnya ada di angka 32 persen. 

Seperti diketahui, Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru impor negara lain pada 2 April 2025.

Sebelum itu, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (United States Trade Representative/USTR) telah mengungkap hambatan perdagangan internasional mereka. 

Hambatan-hambatan itu tertuang dalam National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025 yang terbit pada 31 Maret 2025. 

Dokumen itu memaparkan bagaimana kebijakan-kebijakan Indonesia seperti Gerbang Pembayaran Nasional (GPN), QRIS, dan sertifikasi halal telah menghambat perdagangan AS.

Apa alasan AS khawatir pada sertifikasi halal?

Dilansir dari NTE 2025, AS keberatan dengan kebijakan halal yang membuat barang impor dari negaranya harus melalui pintu Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menguji kehalalannya.

Di Indonesia sendiri, kebijakan halal diperlukan untuk membantu konsumen yang mayoritas adalah umat Islam. 

"Karena Indonesia terus mengembangkan peraturan untuk menerapkan undang-undang ini, para pemangku kepentingan AS khawatir bahwa Indonesia telah menyelesaikan banyak peraturan tersebut sebelum memberitahukan rancangan peraturan tersebut kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan mempertimbangkan masukan dari para pemangku kepentingan," bunyi keterangan tersebut. 

"Sebagaimana yang dipersyaratkan dalam Perjanjian WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan dan sebagaimana yang direkomendasikan oleh Komite WTO tentang Hambatan Teknis Perdagangan (Komite TBT WTO)," lanjutnya. 

Baca juga: Trump Beri Isyarat Perang Tarif AS-China Kemungkinan Segera Berakhir

Pihak AS menganggap bahwa kebijakan halal di Indonesia tidak transparan dan memberatkan eksportir, termasuk negara adidaya tersebut.

Selain itu, untuk memperoleh sertifikat halal dan memenuhi syarat tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di Indonesia juga dianggap sulit oleh mereka. 

Sehubungan dengan kekhawatiran AS ini, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya memberikan tanggapan. Menurutnya, kebijakan halal adalah hal yang wajar di Indonesia. 

"Protes boleh saja, tapi kan kita punya kedaulatan untuk membuat pengaturan tentang semua hal di dalam masyarakat, untuk melindungi masyarakat kita," kata Gus Yahya pada Selasa (22/4/2025), dikutip dari Kompas.com

"Mereka (Muslim) punya aspirasi mendapatkan perlindungan dalam mendapatkan produk halal, walau ada aturan halal, saya kira itu normal dan patutlah," imbuhnya. 

Gus Yahya berpendapat bahwa sah-sah saja AS melayangkan protes. Namun, Indonesia juga kepentingan melindungi masyarakat dan tidak melarang terjadinya perdagangan antara dua negara.

"Saya kira gimana lagi, kita punya kepentingan untuk melindungi masyarakat kita. Tapi mereka tidak dilarang untuk jual barang di sini juga toh," ungkap Gus Yahya. 

Baca juga: Trump Jual Produk Made In China di Tengah Perang Dagang

Kenapa kebijakan sistem keuangan di Indonesia dinilai hambat AS?

Berdasarkan laporan USTR, beberapa kebijakan sistem keuangan di Indonesia dinilai telah menghambat perusahaan jasa pembayaran dan bank asal AS. 

Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/10/PADG/2017, pemerintah menetapkan perusahaan asing yang ingin mengelola pembayaran dalam negeri di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri.

Mereka harus membentuk perjanjian kemitraan dengan perusahaan dalam negeri yang mendapat lisensi BI untuk proses transaksi melalui GPN.

"Pada bulan Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan serta penerbitan kartu kredit pemerintah daerah. Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru tersebut akan membatasi akses penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," bunyi keterangan dalam dokumen tersebut. 

Baca juga: Kebijakan Tarif Trump ke China Naik Jadi 245 Persen

Selain itu, QRIS juga memicu kekhawatiran karena proses penyusunan kebijakannya tidak melibatkan kepentingan asing dan tidak menerima masukan dari mereka. 

Sistem pembayaran QRIS ini telah ditetapkan sebagai standar nasional untuk pembayaran menggunakan kode QR. 

"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberi tahu tentang sifat perubahan potensial atau diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka tentang sistem tersebut," bunyi keterangan tersebut. 

"Termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada," tambah mereka. 

Bukan cuma itu, USTR juga menjatuhkan perhatikan pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 56/03/2016. 

Peraturan itu membatasi kepemilikan bank. Seorang pemegang saham baik asing maupun domestik, tidak boleh mempunyai kemepilikan suatu bank lebih dari 40 persen. 

OJK juga mengatur tentang kepemilikan asing pada perusahaan pelaporan kredit swasta tak lebih dari 49 persen dan perusahaan pembayaran hingga 20 persen. 

Apa langkah Indonesia mengatasi keberatan AS terhadap kebijakan nasional?

Pemerintah saat ini masih mengupayakan negosiasi dengan AS untuk mencapai kesepakatan bersama. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto menjelaskan diskusi ini akan memakan waktu selama 60 hari. 

"Pihak AS telah menyepakati bahwa isu kebijakan tarif dan kerja sama bilateral RI-AS akan dibahas dan diselesaikan dalam kurun waktu 60 hari ke depan," ujar Airlangga Hartanto seperti yang dikutip dari Kompas.com, Minggu (20/4/2025). 

Dalam negosiasi dengan AS, Menko Airlangga juga menjelaskan bahwa mereka akan membahas kebijakan keuangan dan membawa serta OJK untuk menjawab semua isu. 

Sedangkan respons terbaru dari pemerintah, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menyerah dan meminta belas kasihan. 

Ketika menghadiri acara Gerakan Indonesia Menanam di Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan pada Rabu (23/4/2025), ia mengisyaratkan bahwa perwakilan Indonesia akan terus mengupayakan negosiasi.

"Kita tidak akan pernah menyerah. Kita tidak akan pernah berlutut, kita tidak akan pernah mengemis. Kita tidak akan pernah minta-minta (belas) kasian orang lain. Tidak perlu dikasihani. Bangsa Indonesia tidak perlu dikasihani," ujar Prabowo dalam tayangan YouTube Sekretariat Presiden pada Kamis (24/4/2025).

Baca juga: Imbas Tarif Trump, China Pilih Batalkan Pesanan Boeing, Indonesia Justru Percepat Pembelian Jet Tempur F-15 EX

Berapa pun ketentuan tarif Trump, Prabowo percaya bahwa Indonesia punya kemampuan untuk menggerakkan ekonomi dengan kekuatan sendiri. 

Meskipun menghormati kebijakan tarif dan melakukan negosiasi dalam upaya membuka ruang perdagangan, ia yakin Indonesia bisa bertahan tanpa mengemis. 

"Tapi kita percaya kepada kekuatan kita sendiri. Kalaupun mereka tidak membuka pasar mereka kepada kita, kita akan survive, kita akan tambah kuat, kita akan berdiri di atas kaki sendiri," tegasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi