Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejar Target Bebas Malaria 2030, UGM dan APLMA Mulai Riset di Perbatasan

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock/nechaevkon
Ilustrasi nyamuk. Sistem diagnosis malaria berbasis kecerdasan buatan yang sedang dikembangkan di Indonesia diharapkan dapat mempercepat deteksi dan meningkatkan akurasi dalam pemberantasan penyakit tersebut.
|
Editor: Intan Maharani

KOMPAS.com - Pemerintah menargetkan Indonesia lepas dari Malaria pada 2030 mendatang. 

Namun pada kenyataannya, penyakit akibat gigitan nyamuk Anopheles sp. itu masih menjadi PR besar pemerintah. 

Baca juga: 10 Gejala Malaria yang Perlu Anda Waspadai, Salah Satunya Nyeri Otot

Menurut peneliti dan pengajar Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. dr. E. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.Kes, Ph.D menyebutkan bahwa penanganan Malaria harusnya fokus di Indonesia Timur. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hal ini disampaikan ketika Prof Elsa menjadi pembicara di siniar TropmedTalk dalam rangka Hari Malaria yang jatuh setiap 25 April. 

"Perlu prioritas untuk penanganan Malaria di Papua," ungkap Prof Elsa dalam rilis resmi Pusat Kedokteran Tropis (PKT) UGM pada Jumat (25/4/2025). 

Dari kasus Malaria nasional yang mencapai hampir satu juta, Indonesia Timur terutama Papua telah menjadi pusat penularan. Bahkan, wilayah tersebut menyumbang 91 persen dari total kasus nasional. 

Mengapa Indonesia Timur menjadi 'sarang' Malaria?

Menurut Elsa, kondisi lingkungan secara geografis mendukung perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp. di sana.

Meliputi hutan lebat, rawa, dan genangan air alami, nyamuk penyebab Malaria berhabitat di sana.

Selain dari kondisi lingkungan, akses layanan kesehatan yang masih terbatas menyebabkan angka malaria semakin sulit ditekan. Terlebih lagi distribusi tenaga medis juga masih belum merata. 

Dari segi sosial budaya, kebiasaan masyarakat berkativitas di luar ruangan tanpa perlindungan juga telah memperbesar risiko penularan. 

UGM fokus di perbatasan terkait persebaran Malaria

Untuk mengidentifikasi kasus Malaria di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, UGM bekerja sama dengan Asia Pacific Leaders Malaria Alliance (APLMA) melakukan riset gabungan. 

Rencananya, tim UGM dan APLMA akan mencoba mengidentifikasi hambatan-hambatan utama dalam menumpas Malaria.

Hasil penelitian mereka nantinya akan digunakan sebagai acuan merumuskan solusi praktis yang bisa diterapkan dua negara. 

Adapun urgensi penelitian ini yaitu mengupayakan eliminasi Malaria. Perlu dilakukan riset dari dua negara untuk menghindari "kasus impor". 

"Bayangkan jika satu negara sudah hampir eliminasi Malaria, tapi negara tetangganya masih tinggi kasusnya," ucap Elsa.

Baca juga: Hari Nyamuk Sedunia, Mewaspadai Malaria dari Gigitan Hewan Paling Mematikan di Dunia

Dalam praktiknya, kedua belah pihak bisa berbagi data kasus, mendirikan pos kesehatan di perbatasan, hingga menerapkan deteksi dini untuk mencegah penularan lebih cepat. 

Cara kerja satuan lintas negara ini berfokus pada:

Melihat target nasional untuk bebas Malaria semakin dekat, kolaborasi ini perlu diperkuat jembatan berbagai sektor seperti pemerintah, peneliti, dan masyarakat. 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi