KOMPAS.com - Program siswa nakal dikirim ke barak militer yang diinisiasi oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berpotensi menjadi program nasional.
Hal tersebut disampaikan oleh Menteri Hak Asasi Manusia (HAM), Natalius Pigai pada Selasa (6/5/2025).
"Kalau itu berlangsung uji coba pertama ini bagus, ya kami meminta Menteri Dikdasmen untuk mengeluarkan sebuah peraturan supaya ini bisa dijalankan secara masif di seluruh indonesia, kalau bagus," katanya dikutip dari Kompas.com, Selasa (6/5/2025).
Menurutnya, pendidikan di barak militer bisa membuat visi pelajar lebih cerah ke depan.
"Kemudian di dalam meningkatkan kualitas, kompetensi, karakter, mental, disiplin, dan tanggung jawab, karena ini bagus, idenya bagus, supaya apa, untuk ke depan, kita kan 10 tahun ke depan itu 2025-2035 itu kita harus go internasional," imbuhnya.
Lantas, bagaimana penilaian pengamat pendidikan mengenai program tersebut?
Baca juga: Kebijakan Siswa Nakal Dimasukkan ke Barak Militer, Apa Saja yang Perlu Diketahui?
Kasus khusus butuh perlakuan khusus
Pengamat pendidikan sekaligus pendiri Ikatan Guru Indonesia (IGI), Satria Dharma, menyambut baik gagasan tersebut.
Dia menilai, siswa nakal yang dikirim ke barak militer adalah anak-anak yang tidak bisa ditangani lagi oleh sekolah maupun orangtuanya.
“Jadi ini adalah special case (kasus khusus) yang membutuhkan special treatment (perlakuan khusus),” ucap Satria kepada Kompas.com, Rabu (7/5/2025).
Dia mendapatkan informasi, anak-anak yang dikirim ke barak adalah mereka yang kecanduan minuman keras, gim online, dan merokok.
Anak-anak tersebut juga terlibat tawuran, geng motor, serta hal lain yang sudah tidak bisa ditangani oleh guru dan orangtua karena keterbatasan mereka.
“Mereka yang dimasukkan itu juga katanya secara umum punya kesadaran bahwa ingin berubah dan di rumah mereka tidak bisa lagi berubah,” tuturnya.
Baca juga: Viral Kasus Bimbel Terlibat Kecurangan UTBK, Apa Kata Pengamat Pendidikan?
“Saya juga mendapat info bahwa para siswa yang didatangkan ke barak militer mendapat pendidikan seputar bela negara, wawasan kebangsaan, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), kedisiplinan, anti-narkoba, pendidikan keagamaan, dan lain-lain,” sambungnya.
Satria menilai bahwa beberapa hal tersebut mungkin tidak diajarkan di sekolah mereka masing-masing, apalagi di rumah dan lingkungannya.
Dia berharap agar pihak yang mengkritik atau tidak setuju dengan hal tersebut, bisa datang ke barak militer secara langsung untuk menilai apa yang dilakukan di sana.
“Dengan demikian, mereka bisa menilai sendiri seperti apa pola pendidikan yang mereka kritik dan mereka mungkin bisa memberi masukan yang berharga untuk membuat program ini menjadi lebih efektif dan bisa dijadikan contoh secara nasional,” ungkapnya.
“Intinya, marilah kita berhenti dari sikap skeptis, sinis, dan curiga serta mulai bersikap kolaboratif demi anak-anak bangsa yang sudah tidak bisa lagi ditangani oleh sekolah dan orangtua mereka selama ini,” imbuhnya.
Baca juga: TK di Bekasi Adakan Wisuda Biaya Tinggi, Apa Kata Pengamat Pendidikan?
Lihat Foto
Sejumlah siswa berjalan memasuki barak militer saat program pendidikan karakter dan kedisiplinan di Dodik Bela Negara Rindam III Siliwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (5/5/2025). Ratusan siswa SMA/SMK dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat yang memiliki perilaku khusus seperti terlibat tawuran, terafiliasi geng motor, kecanduan permainan daring (game online), mabuk dan perilaku tidak terpuji lainnya menjalani program pendidikan karakter dan kedisiplinan selama 14 hari. ANTARA FOTO/Abdan Syakura/bar
Bukan hukuman, tapi bentuk pengakuan
Senada, pengamat pendidikan Ina Liem juga mendukung program pengiriman siswa nakal ke barak militer.
Dia memandang bahwa kebijakan tersebut sebagai intervensi tepat sasaran, khususnya bagi anak-anak yang selama ini tersisih dari sistem pendidikan konvensional.
“Banyak dari mereka yang dicap ‘nakal’ sebenarnya bukan bermasalah secara moral, melainkan kehilangan ruang untuk merasa berhasil, baik di sekolah maupun di rumah. Ini bukan soal disiplin semata, tapi soal memberi mereka ‘sense of achievement’,” ujar Ina kepada Kompas.com, Rabu.
Menurut dia, pendidikan reguler sering gagal dalam membangun hal tersebut, terlebih adanya kebijakan “teaching to the test” yang akan dikembalikan oleh Kemendikdasmen saat ini.
Baca juga: Pengamat Sebut Efisiensi Anggaran Bisa Turunkan Kualitas Pendidikan Indonesia, Kenapa?
Kebijakan tersebut yakni di mana keberhasilan siswa diukur semata-mata dari skor, bukan dari kompetensi nyata atau integritas personal.
“Hanya anak-anak yang berprestasi dalam tes yang mendapat 'bintang',” tutur Ina.
Meski begitu, ucapnya, narasi kebijakan barak militer ini juga perlu diperbaiki. Penekanannya bahwa pengiriman siswa itu bukan sebagai hukuman, melainkan bentuk pengakuan dan harapan.
Selain itu, perlu dipastikan bahwa pendekatan ini tetap menjunjung hak-hak anak dan tidak menjadi ruang kekerasan.
“Namun sebagai strategi kebijakan pendidikan untuk mengembalikan nilai-nilai kebangsaan yang mulai luntur, inisiatif ini layak dipertimbangkan secara serius,” kata Ina.
“Mengingat laporan dari UIN Syarif Hidayatullah yang mengungkap data lebih dari 50 persen guru memiliki opini intoleran. Alangkah baiknya para guru juga perlu diintervensi dengan pendekatan serupa,” sambungnya.
Baca juga: Efisiensi Anggaran Pendidikan Disebut Bisa Picu UKT Naik, Begini Kata Pengamat
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.