KOMPAS.com - Sosok pengganti Paus Fransiksus masih menjadi misteri hingga saat ini.
Pasalnya, hari pertama konklaf atau pemilihan Paus yang digelar di Kapel Sistina, Vatikan, Rabu (7/5/2025) waktu setempat belum membuahkan hasil.
Asap hitam yang keluar dari kapal tersebut masih berwarna hitam yang menandakan bahwa pemungutan suara tahap pertama telah rampung, tapi belum ada Paus yang terpilih.
Dilansir dari Vatican News, Rabu (5/7/2025), sekitar 45.000 orang yang berkumpul di Lapangan Santo Petrus, Vatikan menyaksikan secara langsung asap hitam membumbung dari Kapel Sistina sekitar pukul 21.00 waktu setempat.
Berkebalikan dengan hal itu, jika asap yang keluar berwarna putih, artinya para kardinal sudah sepakat mengenai sosok pengganti Paus Fransiskus.
Lalu, apakah Paus baru terpilih 2025 bisa berasal dari negara non-Katolik?
Baca juga: Konklaf Dimulai Hari Ini, Berikut 5 Kardinal Terkuat Calon Paus Baru
Apakah Paus terpilih bisa berasal dari negara non-Katolik?
Dilansir dari Kompas.id, Rabu (28/8/2024), Paus yang memegang kekuasaan tertinggi di Takhta Suci Vatikan sekaligus Gereja Katolik selama ini didominasi dari Italia, Perancis, dan Jerman yang notabene adalah negara-negara Eropa.
Dari tiga negara tersebut, Italia dan Perancis sama-sama didominasi oleh penganut Katolik, sementara agama mayoritas di Jerman adalah Kristen, baik Katolik maupun Protestan.
Jumlah Paus yang terpilih dari Italia sebanyak 217 orang, sementara Perancis 16 orang, dan Jerman enam orang.
Bahkan, dalam tiga edisi konklaf terakhir pada 1978, 2005, dan 2013, dua Paus yang terpilih, yakni Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI berasal dari Polandia dan Jerman.
Baca juga: Dilakukan Tertutup, Apa Saja yang Dimakan oleh Para Calon Paus Saat Konklaf?
Sementara satu Paus yang tidak berasal dari Eropa sejak 1978 adalah Fransiskus karena ia lahir di Argentina, sebuah negara di Amerika Selatan.
Meski begitu, Profesor Madya Universitas Katolik Australia Joel Hodge mengatakan, sangat mungkin Paus berikutnya berasal dari negara non-Katolik atau umat Katoliknya bukan mayoritas.
Ia juga menyinggung keputusan Paus Fransiskus yang memiliki para kardinal dari negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan Katolik, seperti Mongolia.
"Itu semua bergantung pada tipe orangnya, teologinya, spiritualitasnya, dan gaya kepemimpinannya,” ujar Hodge dikutip dari ABC, Senin (5/5/2025).
Baca juga: Sejarah Kapel Sistina yang Menjadi Lokasi Konklaf Pemilihan Paus Baru
Ia menambahkan, konklaf 7 Mei juga memiliki keistimewaan karena jumlah kardinal elektor (yang dapat memilih Paus baru terpilih 2025) lebih banyak dari luar Eropa dibandingkan edisi sebelumnya.
"Masih ada kehadiran yang kuat dari Eropa, tetapi kini kita memiliki negara-negara yang sebelumnya tidak pernah memiliki kardinal, misalnya, Timor-Leste di kawasan Asia Tenggara kita, untuk pertama kalinya memiliki seorang kardinal," kata Hodge.
"Ia akan berpartisipasi dalam pemilihan Paus untuk pertama kalinya. Itu bersejarah,” tambahnya.
Baca juga: Pemilihan Paus Dimulai Hari Ini, Berikut Konklaf Tersingkat dan Terlama dalam Sejarah
Faktor geopolitik berpotensi muncul saat konklaf 7 Mei
Lebih lanjut, Hodge menjelaskan, faktor geopolitik pasti akan ada dalam pikiran para kardinal yang mengikuti konklaf 7 Mei.
Ia juga menilai, kardinal yang terpilih sebagai Paus baru terpilih 2025 harus mampu mengelola hubungan yang kompleks di seluruh dunia.
“Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi dalam sebuah konklaf, karena, seperti kata pepatah Italia, 'Anda masuk ke konklaf sebagai Paus, dan Anda keluar sebagai kardinal’,” kata Hodge.
Dalam pemberitaannya, ABC juga menyinggung sosok Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo yang berkesempatan mengikuti konklaf tahun ini.
ABC menuliskan bahwa Kardinal Suharyo tidak berasal dari Eropa seperti halnya mantan Uskup Agung Manila Kardinal Tagle.
Baca juga: Sebelum Wafat Paus Fransiskus Berikan Seluruh Isi Rekeningnya ke Penjara, Donasi Rp 3,7 Miliar
Nama Kardinal Suharyo sebenarnya tidak pernah disebutkan dalam bursa calon Paus menjelang konklaf 7 Mei digelar.
Namun, ia dikenal sebagai sosok yang terus terang dan progresif di Indonesia, negara dengan jumlah umat Katolik tidak sampai 10 persen dari total jumlah penduduk per Februari 2024.
ABC juga menyinggung peran Kardinal Suharyo ketika menolak tawaran mengelola tambang untuk ormas keagaman dari pemerintah.
Pada saat itu, Kardinal Suharyo menolak dengan tegas tawaran pemerintah sambil mengutip hukum gereja yang melarang agama dan bisnis dicampurkan.
Meski begitu, ia mengaku, cita-cita menjadi Paus bukan soal ambisi atau karier.
Sebagian artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul: Sejarah Panjang Kepausan, dari Santo Petrus hingga Paus Fransiskus.
Baca juga: Mobil Paus Fransiskus Akan Disulap Jadi Klinik Keliling di Gaza, Bagaimana Cerita di Baliknya?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.