KOMPAS.com - Istilah seven deadly sins (tujuh dosa berat) merujuk pada tujuh sifat buruk manusia yang memicu perilaku dosa.
Seven deadly sins menjadi populer karena sering kali diadaptasi ke dalam karya seni, buku dan novel, hingga film.
Baca juga: Mengenal Suster Genevieve, Sahabat Paus Fransiskus yang Hadir di Vatikan dengan Jaket dan Ransel
Pada abad pertengahan Eropa, seven deadly sins merupakan tema populer yang diangkat dalam drama moral, sastra, dan seni.
Hal itu membuat seven deadly sins bertahan sebagai sebuah konsep selama berabad-abad, dan akhirnya memasuki dunia film dan televisi di era modern.
Lantas, apa saja sifat yang termasuk tujuh dosa besar atau seven deadly sins?
Baca juga: Mengenal Kashmir, Wilayah Sengketa yang Jadi Rebutan India dan Pakistan
Sifat-sifat yang termasuk seven deadly sins
The seven deadly sins adalah istilah dalam teologi Katolik Roma yang mengacu pada tujuh sifat buruk yang memicu dosa-dosa lain dan perilaku tidak bermoral lebih lanjut.
Dilansir dari laman Britannica, seven deadly sins pertama kali disebutkan oleh Paus Gregorius I (yang Agung) pada abad ke-6 dan diuraikan pada abad ke-13 oleh St. Thomas Aquinas.
Baca juga: Alasan Paus Baru Pilih Nama Leo XIV, Ini Maknanya
Adapun sifat-sifat dari tujuh dosa besar tersebut adalah:
- Vainglory/pride (kesombongan atau angkuh)
- Greed (keserakahan atau ketamakan)
- Lust (hawa nafsu, atau hasrat seksual yang tidak wajar atau terlarang)
- Envy (iri hati)
- Gluttony (kerakusan, yang biasanya dipahami sebagai pemabukan)
- Wrath (amarah)
- Sloth (kemalasan).
Baca juga: Konklaf Digelar, Mengapa Tak Pernah Ada Paus Perempuan?
Tujuh sifat tersebut dapat dianggap sebagai kecenderungan terhadap dosa dan pemisahan dari Tuhan.
Masing-masing dari tujuh dosa besar tersebut dapat diatasi dengan tujuh kebajikan surgawi, yang mencakup: kerendahan hati, kasih, kesucian, rasa syukur, kesederhanaan, kesabaran, dan ketekunan.
Baca juga: Mengenal Tanatopraksi, Teknik Pengawetan Jenazah untuk Paus Fransiskus Sebelum Dimakamkan
Sejarah singkat seven deadly sins
Pada abad keempat, seorang biarawan Gereja Kristen Timur, Evagrius Ponticus, menuliskan apa yang dikenal sebagai "eight evil thoughts (delapan pikiran jahat)".
Itu adalah kerakusan, hawa nafsu, ketamakan, kemarahan, kemalasan, kesedihan, kesombongan, dan keangkuhan.
Mengutip laman History.com, Evagrius tidak menulis untuk khalayak umum, melainkan untuk biarawan lain tentang bagaimana delapan pikiran ini dapat mengganggu praktik spiritual mereka.
Baca juga: Pemikiran dan Isu Utama yang Dibawa Robert Prevost, Paus Terpilih Pertama dari Amerika Serikat
Murid Evagrius, John Cassian, membawa ide-ide ini ke Gereja Barat, yang kemudian diterjemahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Latin.
Pada abad keenam, St. Gregorius Agung (Paus Gregorius I) menata ulang sifat-sifat tersebut dalam komentarnya tentang Kitab Ayub.
Ia menghapus "kemalasan" dan menambahkan "iri hati." Kemudian "kesombongan" tidak berdiri sendiri melainkan digambarkan sebagai penguasa tujuh sifat buruk lainnya.
Tujuh sifat buruk tersebut yang kemudian dikenal sebagai the seven deadly sins atau tujuh dosa mematikan.
Baca juga: Mengapa Konklaf Gunakan Asap Putih untuk Umumkan Paus Baru?
Seiring berjalannya waktu, pada abad ke-13, teolog Thomas Aquinas kembali meninjau daftar tujuh dosa besar tersebut dalam Summa Theologica (“Ringkasan Teologi”).
Dalam daftarnya, ia mengembalikan sifat “kemalasan” dan menghilangkan sifat “kesedihan.” Sama seperti Gregorius Agung, Aquinas menggambarkan “kesombongan” sebagai penguasa utama dari tujuh dosa.
Dosa-dosa pokok yang tercantum dalam Katekismus Gereja Katolik saat ini pada dasarnya sama dengan konsep sifat-sifat dosa dari Aquinas, kecuali bahwa “kesombongan” menggantikan “keangkuhan.”
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.