KOMPAS.com - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China mereda usai kedua negara menyelesaikan negosiasi dan sepakat menurunkan tarif impor selama 90 hari.
Kesepakatan ini diumumkan pada Senin (12/5/2025), setelah perwakilan kedua negara terlibat pertemuan tingkat tinggi di Jenewa, Swiss.
Hasilnya, tarif AS atas impor barang-barang China turun dari 145 persen menjadi 30 persen. Sementara tarif China untuk barang-barang AS turun dari 125 persen menjadi 10 persen.
Kabar ini langsung berdampak positif pada pasar keuangan global, di mana dollar AS menguat, sementara bursa saham di Eropa dan Asia mengalami lonjakan.
Para investor menyambut baik tanda-tanda meredanya ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia ini.
Kesepakatan itu juga disebut sebagai “langkah maju” yang dapat membawa dampak positif bagi negara-negara di seluruh dunia, termasuk ekonomi-ekonomi kecil yang rentan.
Lantas, adakah dampak untuk Indonesia dari penurunan tarif dagang AS-China tersebut?
Baca juga: Alasan Indonesia Setop Impor BBM dari Singapura, Beralih ke AS dan Timur Tengah
Dampak kesepakatan dagang AS-China bagi Indonesia
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Centre Of Economic And Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai meredanya perang dagang AS-China akan memberikan sentimen positif sekaligus tantangan bagi ekonomi Indonesia.
Pertama, harga komoditas unggulan ekspor Indonesia diperkirakan berlangsung pulih.
"Ini sejalan dengan meningkatnya permintaan industri di China, menopang kinerja ekspor Indonesia secara umum," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa (13/5/2025).
Kedua, pelemahan kurs rupiah cenderung tertahan. Hal ini membuat efek imported inflation (inflasi impor) atau meningkatnya harga barang impor bisa lebih kecil.
Dengan demikian, cadangan devisa juga tidak terlalu banyak terkuras untuk intervensi rupiah.
Baca juga: Kenapa AS dan China Akhirnya Mau Berunding soal Tarif?
Akan tetapi, kata Bhima, dampak rendahnya tarif China dibandingkan Indonesia ke pasar AS akan menurunkan daya saing ekspor Indonesia.
Produk asal Indonesia seperti tekstil, alas kaki, dan pakaian jadi berpotensi direbut oleh China.
"Sementara Indonesia hanya diuntungkan dari sisi permintaan bahan baku mentah dan barang setengah jadi," kata Bhima.
Selain itu, dampak pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor padat karya akan bergantung seberapa kecil tarif yang akan dibebankan ke Indonesia.
Bhima mengungkapkan, jika tarif ekspor China ke AS lebih rendah, yang terjadi adalah relokasi industri dari Indonesia kembali ke China.
Adapun investasi dari AS dan negara eropa justru masif ke China dibanding negara alternatif lainnya termasuk ke Indonesia.
"Realisasi investasi Indonesia makin tertekan setelah Q1 (kuarter pertama) 2025 PMTB tercatat kontraksi -7,4 persen (q to q) dibanding kuartal sebelumnya," ungkap Bhima.
Baca juga: Trump Beri Isyarat Perang Tarif AS-China Kemungkinan Segera Berakhir
Menurut Bhima, Indonesia harus lebih agresif melobi AS dengan menggunakan pembaruan IUPK Freeport dan relaksasi ekspor bijih konsentrat tembaga yang sedang dinikmati Freeport.
"Isu Laut China Selatan sebaiknya masuk ke meja negosiasi juga untuk tekan posisi AS agar berikan tarif lebih rendah dari China," ucap dia.
"Sejauh ini ada kekhawatiran tarif Indonesia tetap lebih tinggi dari China yang sebesar 30 persen," tambahnya.
Kemudian yang terakhir, kata Bhima, tetap perlu diwaspadai masuknya barang impor asal China, Vietnam, dan Kamboja ke Indonesia dalam masa jeda negosiasi.
Pasalnya, pemicu PHK padat karya Indonesia bisa lebih disebabkan persaingan barang impor dibandingkan sulitnya ekspor ke pasar AS.
Tensi ekonomi dunia menurun
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai kesepakatan tarif dagang AS-China memberikan dampak positif untuk ekonomi dunia, termasuk Indonesia.
"Ini progres bagus, tensi ekonomi dunia akan menurun. Appetite investor untuk berinvestasi akan membaik, volatilitas mata uang di dunia, termasuk rupiah, akan membaik," ujarnya kepada Kompas.com, Selasa.
"Ini bagus bagi Indonesia yang sedang membutuhkan investasi asing dan harus melakukan refinancing utang dan menerbitkan utang baru di 2025 senilai Rp 800 triliun dan Rp 650-800 triliun," tambah Wijayanto.
Menurut dia, stabilitas rupiah dapat meningkatkan kepercayaan atau confidence investor surat utang dan menurunkan suku bunga.
Selain itu, hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa Donald Trump melunak.
Ia menilai, hal itu mungkin karena tekanan politisi Republikan yang akan menghadapi pemilu sela tahun 2026 dan para pengusaha.
"Tentunya kita berharap reciprocal tariff (tarif timbal balik) yang akan dikenakan kepada Indonesia juga berkurang," ujar Wijayanto.
"Saya berharap tarif China ke AS 30 persen dan dari AS ke China 10 persen dipermanenkan. Kemudian tarif untuk seluruh negara lain, termasuk Indonesia juga sebesar 10 persen," tambahnya.
Jika ini yang terjadi, kata Wijayanto, dunia akan kembali melakukan business as usual, yaitu beroperasi seperti biasa atau menjalankan aktivitas bisnis yang rutin dan standar, tanpa perubahan atau intervensi yang signifikan.
"Kemudian yang berbeda hanya dua, reputasi Trump yang jatuh, dan AS yang semakin tidak dianggap reliable oleh negara-negara lain di dunia," bebernya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.