KOMPAS.com - Banyak orang mengenal pembajakan pesawat melalui film aksi, seperti Die Hard 2, Snakes on a Plane, Air Force 1, United 93, dan The Delta Force, yang semuanya menampilkan adegan pembajakan pesawat.
Yang tak banyak orang tahu, kisah pembajakan pesawat di The Delta Force ternyata terinspirasi oleh pembajakan pesawat nyata pada penerbangan TWA 847.
Pembajakan TWA 847 kini tercatat dalam sejarah sebagai pembajakan pesawat terlama di dunia.
Pembajakan itu menimpa salah satu penerbangan Trans World Airlines (TWA), sebuah maskapai penerbangan besar di Amerika Serikat.
Baca juga: Kata-kata Terakhir Pilot MH370, Pesawat Malaysia Airlines yang Hilang Tanpa Jejak sejak 2014
Menurut laporan World Atlas (14/7/2024), ada masa di dunia ini yang terkenal sebagai "Zaman Keemasan Pembajakan" yang terjadi dalam rentang waktu 1968 hingga 1972.
Pada masa itu terjadi lonjakan besar insiden pembajakan pesawat, dengan total sekitar 305 kejadian di seluruh dunia.
Sebagian besar insiden pembajakan pesawat terjadi di Amerika Serikat, di mana para pembajak sering kali meminta tebusan.
Selama "Zaman Keemasan Pembajakan", sebanyak 46 orang tewas, dengan lebih dari separuh kematian terjadi pada tahun 1972.
Hal itu membuat Administrasi Penerbangan Federal mengeluarkan peraturan baru yang mewajibkan pemeriksaan penumpang dan barang bawaan sebelum naik pesawat.
Hal ini semata untuk mengakhiri "Zaman Keemasan Pembajakan".
Kronologi pembajakan pesawat TWA 847
Pada 14 Juni 1985, penerbangan TWA 847 yang menggunakan pesawat Boeing 727-200 dijadwalkan terbang dari Kairo menuju Athena dan Roma. Namun, rencana penerbangan tidak berjalan seperti yang diharapkan.
Pesawat berangkat dari Kairo ke Athena pada pagi hari dengan lancar. Setelah tiba di Athena dan berganti kru, pesawat kembali lepas landas.
Tak lama kemudian, dua pria asal Lebanon membajak pesawat tersebut. Mereka berhasil menyelundupkan pistol dan dua granat melewati pemeriksaan keamanan bandara.
Salah satu pelaku, Mohammed Ali Hamadei, kemudian diidentifikasi dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Jerman.
Baca juga: Berapa Ketinggian Maksimal Pesawat Terbang di Angkasa?
Apa yang terjadi selama pembajakan?
Pembajakan tersebut berlangsung selama 17 hari, dengan pesawat membawa 153 penumpang dan awak melintasi wilayah Mediterania.
Pesawat bolak-balik terbang dari Beirut ke Aljir dan sebaliknya. Dalam situasi penuh ancaman senjata, pilot tidak memiliki banyak pilihan selain mengikuti perintah para pembajak.
Pemberhentian pertama terjadi di Bandara Internasional Beirut, Lebanon, di mana 19 penumpang dibebaskan sebagai imbalan atas pasokan bahan bakar.
Saat itu, Lebanon tengah dilanda perang saudara, dengan wilayah yang terbagi antara kendali milisi Syiah Amal dan Hizbullah.
Setelah itu, pesawat menuju Aljir, tempat 20 penumpang lainnya dilepaskan, lalu kembali ke Beirut dan terus melakukan penerbangan pulang-pergi antara kedua kota tersebut.
Baca juga: Mesin Pesawat United Airlines Terbakar di Udara Usai Tabrak Kelinci Saat Lepas Landas
Motif di balik aksi pembajakan
Para pembajak memiliki tujuan politik di balik aksi mereka. Saat itu, hubungan antara Israel dan Lebanon sangat tegang akibat invasi Israel ke Lebanon pada tahun 1982.
Para pelaku menuntut agar Israel membebaskan tahanan asal Lebanon dan menarik pasukannya dari wilayah Lebanon selatan.
Mereka juga mendesak agar Amerika Serikat mengecam tindakan Israel di tingkat internasional.
Meskipun keterkaitan mereka dengan kelompok politik tertentu belum bisa dipastikan sepenuhnya, para pembajak diduga merupakan anggota Hizbullah, sebuah gerakan yang mendapat dukungan dari Iran.
Baca juga: Kisah Germanwings 9525, Kopilot Tabrakkan Pesawat ke Lereng Alpen akibat Depresi
Penumpang disiksa, disandera, dan dibunuh
Selama pembajakan, penumpang dan awak pesawat mengalami ancaman, dan beberapa di antaranya bahkan mengalami kekerasan fisik.
Di darat, para pembajak mencari penumpang yang memiliki paspor Israel atau berstatus diplomat, namun tidak menemukan satupun.
Akhirnya, mereka mengalihkan perhatian kepada penumpang dengan nama keluarga yang terkesan "Yahudi" serta anggota militer Amerika Serikat.
Semua personel militer disiksa di dalam pesawat. Salah satunya adalah penyelam Angkatan Laut AS, Robert Stethem, yang dianiaya, ditembak mati, dan jasadnya dibuang dari pesawat oleh para pembajak.
Sebagian besar penumpang dibebaskan dalam beberapa hari pertama. Namun, lima pria dipilih sebagai sandera, termasuk satu orang Yahudi bernama Richard Herzberg.
Kelima sandera tersebut kemudian dipindahkan ke sel tahanan yang penuh kecoak di Beirut, tempat sejumlah tahanan lain juga dikurung.
Meskipun kondisi tempat penahanan sangat buruk, para sandera diperlakukan relatif baik dan akhirnya dibebaskan pada 30 Juni 1985 tanpa mengalami luka.
Baca juga: Kisah China Airlines 611, Pesawat Pecah di Angkasa, Seluruh Penumpang dan Awak Jatuh di Perairan
Bagaimana pembajakan berakhir?
Pemerintah Amerika Serikat menghadapi krisis dalam situasi pembajakan itu.
Mereka berusaha memantau selama 24 jam melalui unit antiterorisme Departemen Luar Negeri untuk mengawasi situasi, membangun komunikasi, dan merancang strategi.
Pada akhirnya, pemerintah mengerahkan Pasukan Delta antiteror ke West Fermant dan Fort Bragg, Carolina Utara, lalu ke Armada Keenam di wilayah Mediterania.
Namun, Amerika Serikat memutuskan untuk tidak memenuhi tuntutan para teroris.
Aksi pembajakan itu berakhir pada 30 Juni 1985. Seluruh penumpang yang masih berada di dalam pesawat akhirnya dibebaskan dan diizinkan pergi dengan selamat pada hari tersebut.
Baca juga: Rusia Dinyatakan Bersalah Tembak Pesawat Malaysia Airlines MH17
Penangkapan pelaku pembajakan
Dilansir dari laman resmi Biro Investigasi Federal (FBI), pasca peristiwa pembajakan TWA 847 itu, Hamadei bersama dua rekannya, Hasan Izz Al Din dan Ali Atwa menjadi buronan internasional.
Mohammed Ali Hamadei, yang juga dikenal dengan nama Ali Hamadi atau Castro, adalah warga negara Lebanon dengan ciri-ciri fisik berambut hitam, bermata coklat tua, berat sekitar 150 pon, dan memiliki tahi lalat di pipi kanan bawah matanya.
Hamadei diyakini saat itu tinggal di Lebanon.
Pada 14 November 1985, Interpol menawarkan hadiah sebesar 250.000 dollar (Rp 4,1 miliar kurs saat ini) bagi siapa saja yang memberikan informasi keberadaan Hamadei.
Ia akhirnya ditangkap pada 13 Januari 1987 di bandara Frankfurt saat kedapatan membawa bahan peledak di dalam kopernya.
Amerika Serikat berusaha mengekstradisi Hamadei, namun Republik Federal Jerman memilih untuk mengadilinya di dalam negeri.
Pada 17 Mei 1989, Hamadei dinyatakan bersalah atas tuduhan pembunuhan, penyanderaan, penyerangan, dan pembajakan, dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Meski demikian, ia dibebaskan dari penjara pada 15 Desember 2005 dan dipulangkan ke Beirut, Lebanon sehari setelahnya, yakni pada 16 Desember 2005.
Baca juga: Lokasi Tabrakan Pesawat American Airlines dan Black Hawk, Hanya 4,8 Km dari Gedung Putih
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.