KOMPAS.com - Prolonged fasting atau puasa jangka panjang semakin banyak dilirik sebagai metode untuk menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.
Berbeda dengan puasa intermiten 16:8 yang lebih populer, prolonged fasting biasanya dilakukan selama lebih dari 24 jam, bahkan sampai 48 jam.
Metode ini disebut-sebut dapat meningkatkan pembakaran lemak, memperbaiki sensitivitas insulin, dan menurunkan peradangan.
Namun, seberapa efektif sebenarnya prolonged fasting untuk menurunkan berat badan?
Baca juga: Puasa Intermiten untuk Penderita Diabetes, Bantu Turunkan atau Justru Naikkan Gula Darah?
Manfaat prolonged fasting
Dokter Spesialis Gizi Klinik, dr. Nurul Ratna Mutu Manikam, M.Gizi, Sp.GK mengatakan bahwa prolonged fasting memang memiliki manfaat untuk menurunkan berat badan.
Manfaat tersebut bisa didapat karena puasa jangka panjang bekerja membatasi waktu makan, sehingga tubuh akan meningkatkan produksi keton.
“Tujuan prolonged fasting adalah membatasi waktu makan untuk meningkatkan produksi benda keton. Dengan meningkatnya keton, respons peradangan dalam tubuh dapat berkurang,” kata Nurul kepada Kompas.com, Senin (21/4/2025).
Dalam kondisi puasa lebih dari 14 jam, tubuh mulai membakar cadangan glukosa dan beralih menggunakan lemak sebagai sumber energi.
Inilah yang membuat metode ini dinilai efektif untuk menurunkan berat badan dan mendukung proses anti-aging.
Sejalan dengan penjelasan tersebut, prolonged fasting selama 48 jam disebut dapat membantu menurunkan berat badan dengan cara mengurangi kadar insulin dan meningkatkan pembakaran lemak tubuh, seperti yang dikutip dari Healthline.
Selain itu, puasa jangka panjang ini juga berpotensi meningkatkan perbaikan sel (cellular repair) dan memperlambat penuaan jaringan.
Baca juga: Jadwal Puasa Ayyamul Bidh Bulan Syawal atau April 2025, Tanggal Berapa?
Efektivitas untuk menurunkan berat badan
Meskipun terdengar menjanjikan, studi tentang efektivitas prolonged fasting dalam jangka panjang masih terbatas.
Sebuah penelitian yang dikutip Healthline menunjukkan bahwa setelah 58 jam puasa, kadar metabolit yang berhubungan dengan perbaikan sel dan aktivitas antioksidan meningkat.
Namun, prolonged fasting hanya dianjurkan dilakukan 1-2 kali per bulan.
Artinya, penurunan berat badan yang signifikan tetap memerlukan pola makan seimbang dan aktivitas fisik rutin di luar periode puasa.
Nurul mengatakan bahwa orang-orang perlu cek kesehatan dahulu sebelum menjalankan prolonged fasting.
Menurutnya, ada beberapa orang yang tidak disarankan untuk menerapkan metode puasa jangka panjang untuk mendapatkan manfaatnya.
Baca juga: Apakah Kebiasaan Puasa Intermiten Efektif Menurunkan Berat Badan?
“Perlu cek kesesuaian dulu dengan kebutuhan tubuh. Pada orang diabetes tidak terkontrol, gangguan ginjal, gangguan hati, penyakit lambung dan komorbid berat tidak disarankan (puasa jangka panjang),” ujar Nurul.
Hal serupa juga ditegaskan oleh Healthline, yang menyebut bahwa prolonged fasting bisa berbahaya bagi penderita tekanan darah rendah, wanita hamil atau menyusui, orang dengan riwayat gangguan makan, serta mereka yang mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti insulin atau pengencer darah.
Selama menjalani prolonged fasting, bisa muncul beberapa efek samping, seperti lapar ekstrem, pusing, kelelahan, dan sulit tidur.
Dalam satu studi John S Finnell, dkk., (2018), para peneliti mengamati 768 orang yang melakukan puasa lebih dari 48 jam, sekitar 72 persen mengalami gejala tersebut.
Oleh karena itu, dr. Nurul menyarankan agar siapa pun yang ingin mencoba metode ini untuk memeriksakan kondisi kesehatannya terlebih dahulu.
“Basis ilmiahnya belum sepenuhnya konklusif. Jadi, sebaiknya cek kesehatan dulu sebelum mengadaptasi metode prolonged fasting,” pungkasnya.
Baca juga: Puasa Syawal 2025 Sampai Tanggal Berapa?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.