KOMPAS.com - Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel dengan syarat utama pengakuan atas kemerdekaan Palestina.
Hal itu ia sampaikan dalam konferensi pers bersama Presiden Perancis Emmanuel Macron di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (28/5/2025).
"Indonesia sudah menyampaikan, begitu negara Palestina diakui oleh Israel, Indonesia siap untuk mengakui Israel dan kita siap untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel," ujar Prabowo.
Ia menegaskan bahwa Indonesia konsisten mendukung solusi dua negara sebagai jalan menuju perdamaian sejati di Timur Tengah.
Menurut Prabowo, kemerdekaan bagi rakyat Palestina adalah satu-satunya jalan menuju perdamaian sejati di kawasan tersebut.
Lantas, bagaimana tanggapan pengamat politik terkait pengumuman Presiden Prabowo tersebut?
Baca juga: MUI Tolak Hubungan Diplomatik Indonesia dengan Israel Selama Masih Menjajah Palestina
Dinilai terlalu dini
Menurut pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Nur Hidayat Sardini, jika melihat rekam jejak Israel selama ini, Pemerintah Indonesia rasanya terlalu dini apabila memberi ruang atau peluang kepada negara itu untuk menunjukkan niat baiknya.
Pandangannya didasarkan pada sejarah panjang perilaku Israel yang dianggap tidak konsisten dan seringkali melanggar komitmen.
Ia juga menyinggung bahwa sejak dideklarasikan pada 1948, Israel dianggap oleh banyak pihak telah merampas tanah Palestina, dan hingga kini tetap mempertahankan kebijakan serta tindakan yang dinilai melanggar hak-hak rakyat Palestina.
"Israel itu enggak pernah bisa dipegang kata-katanya, selalu ingkar janji. Bahkan, berbagai resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah dikeluarkan selama puluhan tahun tidak pernah benar-benar mereka indahkan," jelas Nur saat dimintai pandangan Kompas.com, Kamis (29/5/2025).
Ia menambahkan, Israel selama ini bisa bertahan dan kuat karena dua faktor utama:
- Lemahnya solidaritas negara-negara Arab dan Islam, yang tidak pernah benar-benar bersatu memperjuangkan Palestina.
- Dukungan kuat dari Amerika Serikat, baik secara politik, militer, maupun diplomatik.
Di sisi lain, Israel juga memiliki kesatuan internal dan ketahanan nasional yang tinggi. Kombinasi antara dukungan eksternal dan kekuatan internal itulah yang membuat posisi Israel sulit digoyahkan atau ditekan secara efektif.
Baca juga: Profil Mohammed Sinwar, Pemimpin Hamas yang Diklaim Israel Tewas dalam Serangan di Gaza
Sebaiknya Indonesia wait and see
Nur menyarankan agar pemerintah Indonesia tidak terburu-buru menyampaikan sikap yang bisa disalahartikan atau dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu.
"Hanya karena ada sikap keras dari beberapa negara Eropa atau sebagian kecil negara di Amerika, bukan berarti Indonesia harus segera bereaksi. Kondisi global masih sangat dinamis dan belum pasti," tegasnya.
Menurutnya, langkah paling bijak saat ini adalah menahan diri, mengamati perkembangan, dan tidak memberikan sinyal dukungan yang bisa dimaknai sebagai dorongan terhadap arah kebijakan yang belum tentu sejalan dengan prinsip politik luar negeri Indonesia.
"Jangan sampai Indonesia memberikan celah atau dukungan, sekecil apa pun, yang bisa dimaknai sebagai 'angin' atau dorongan terhadap arah yang belum tentu sesuai dengan kepentingan nasional maupun prinsip politik luar negeri Indonesia," ucapnya.
Baca juga: Israel Konfirmasi Kematian Pemimpin Hamas Mohammed Sinwar
Pernyataan Presiden bisa ditafsirkan dalam 2 cara
Nur menilai bahwa pernyataan Prabowo bisa ditafsirkan dalam dua cara.
Di satu sisi, ini bisa memberi harapan bagi pihak-pihak yang mendukung pendekatan diplomatik, yakni bahwa peluang untuk perdamaian melalui pengakuan dua negara masih terbuka.
Namun, di sisi lain, ia juga mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut menjadi bahan cibiran di media-media lokal Israel yang ia pantau.
“Banyak yang menanggapinya dengan sinis. Media di Israel bahkan mencemooh pernyataan itu. Media Barat pun sebagian menggiring opini publik ke arah spekulatif atau sinis,” tambahnya.
Kemerdekaan Palestina masih jalan terjal
Menurut Nur, harapan akan kemerdekaan Palestina masih sulit tercapai selama Israel tetap berada pada posisi dominan, apalagi dengan dukungan kuat dari negara-negara besar.
"Selama bantuan militer dan persenjataan dari negara-negara seperti Amerika, Perancis, dan Jerman masih terus mengalir, sangat sulit membayangkan Israel akan berubah," jelasnya.
Ia menyoroti kontradiksi negara-negara tersebut yang di satu sisi mulai mengecam tindakan Israel secara terbuka, tetapi di sisi lain tetap mengekspor senjata ke Israel.
“Ini bentuk kemunafikan politik internasional. Sulit bagi saya melihat adanya iktikad baik yang sungguh-sungguh untuk menekan Israel,” ujarnya.
Bagi Nur, perubahan nyata hanya bisa terjadi jika Israel menghadapi tekanan serius yang menyentuh eksistensinya sebagai negara, baik dari luar maupun dalam.
Baca juga: Peringkat Kekuatan Militer Dunia 2025, Indonesia di Atas Israel
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.