Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus
Bergabung sejak: 5 Sep 2024

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Vasektomi: Stigma Gender dan Politik Otonomi Tubuh

Baca di App
Lihat Foto
DOK. SHUTTERSTOCK
Ilustrasi vasektomi. Vasektomi ialah kontrasepsi pada pria yang bersifat permanen. Di Indonesia, metode KB ini sepi peminat. Namun, pria satu ini berani ambil pilihan itu.
Editor: Sandro Gatra

DALAM ruang diskusi kesehatan publik, vasektomi kerap muncul sebagai topik yang mengejutkan.

Bukan karena masih asing secara medis, melainkan karena tindakan ini mengguncang fondasi sosial yang masih sangat maskulin sentris, “siapa yang dianggap pantas memikul tanggung jawab kontrasepsi?”

Padahal, prosedurnya relatif sederhana, risiko komplikasinya rendah, dan efektivitasnya tinggi.

Di Indonesia, pembicaraan tentang vasektomi lebih sering disertai bisik-bisik dan anggapan negatif daripada pemahaman ilmiah.

Di balik wajah modern negara ini, masih tersembunyi prasangka kuno yang menyamakan sterilitas pria dengan kehilangan jati diri sebagai laki-laki.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Usul Vasektomi Jadi Syarat Bansos: Antara Progresivitas Semu dan Pelanggaran HAM

 

Ini bukan sekadar masalah kesehatan reproduksi. Ini tentang stigma gender, ketimpangan peran, dan kekerasan simbolik terhadap tubuh pria dalam narasi patriarkal yang menolak memberi mereka ruang untuk menjadi bagian aktif dalam tanggung jawab KB.

Tubuh pria dan "keperkasaan" yang dikonstruksi

Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, tubuh pria sering kali dilekatkan pada mitos keperkasaan yang tidak boleh disentuh.

Maka, ketika wacana vasektomi muncul, respons yang muncul adalah defensif, “Apa saya masih bisa jadi laki-laki seutuhnya?”

Di sini letak masalahnya. Kita telah membentuk identitas gender melalui lensa yang keliru, bahwa virilitas ditentukan oleh fungsi reproduksi, bukan oleh kapasitas untuk mencintai, bertanggung jawab, dan berkontribusi dalam relasi setara.

Vasektomi justru bentuk tanggung jawab moral tertinggi seorang pria dalam relasi berkeluarga. Ia menawarkan tubuhnya, bukan untuk dominasi, melainkan untuk keadilan.

Namun, ironi sosialnya, perempuan yang melakukan kontrasepsi dipandang "wajar", bahkan jika prosedurnya invasif dan penuh risiko. Sementara pria yang melakukan vasektomi dianggap aneh, bahkan "tidak normal".

Isu vasektomi tidak bisa dilepaskan dari politik otonomi tubuh. Di negeri ini, pembicaraan tentang tubuh kerap dibungkam oleh moralitas selektif dan tafsir yang tidak utuh.

Padahal, dalam konteks kesehatan dan etika publik, tubuh adalah wilayah privat yang harus dilindungi haknya, baik pria maupun perempuan.

Otonomi tubuh bukan semata soal memilih untuk tidak hamil, tapi juga tentang hak untuk tidak membuat orang lain hamil.

Dalam konteks ini, laki-laki yang memilih vasektomi sedang menjalankan haknya untuk tidak mereproduksi, dan itu sah.

Baca juga: Usulan Usia Pensiun 70 Tahun: Kemacetan Karier dan Demotivasi ASN Muda

 

Namun seringkali, alih-alih mendapat penghargaan, mereka malah distigmatisasi. Bahkan ada yang kehilangan pekerjaan, dianggap “terpapar ide liberal”, atau dicurigai “tidak lagi maskulin”.

Di sinilah letak kegagalan kita memahami kesehatan sebagai ruang keadilan. Ketika negara hanya mendorong KB kepada perempuan dan menormalkan pembebanan tubuh perempuan sebagai lokus utama pengendalian populasi, maka sesungguhnya kita sedang membiarkan politik tubuh bekerja secara timpang.

Dalam banyak kampanye KB, peran laki-laki sering kali hanya simbolik. Padahal data menunjukkan bahwa partisipasi pria dalam program vasektomi di Indonesia masih sangat rendah.

Menurut BKKBN, dari total peserta KB aktif, pengguna vasektomi tidak sampai 1 persen. Angka ini tidak mencerminkan ketidaktahuan, melainkan perlawanan diam-diam terhadap gagasan kesetaraan reproduktif.

Negara gagal membangun narasi yang adil dalam kampanye KB. Tidak ada insentif khusus bagi pria, tidak ada perlindungan dari stigma sosial, bahkan tenaga kesehatan pun kerap enggan menyarankan vasektomi karena khawatir dianggap “tidak sesuai budaya”.

Maka wajar bila yang muncul bukan semangat, tetapi ketakutan.

Kita butuh kebijakan yang lebih dari sekadar target kuantitatif. Kita memerlukan kebijakan yang memahami psikologi laki-laki, struktur budaya, dan keberanian untuk menyentuh area tabu dengan argumentasi yang berbasis ilmu dan keadilan.

Aspek medis dan dasar hukum

Vasektomi adalah prosedur pembedahan minor yang dilakukan untuk memotong atau mengikat vas deferens, saluran yang membawa sperma dari testis.

Secara global, prosedur ini dikenal sangat aman, dilakukan dengan anestesi lokal, dan pasien bisa kembali beraktivitas dalam waktu singkat.

Berbagai penelitian, termasuk dalam Cochrane Database of Systematic Reviews, menunjukkan bahwa vasektomi memiliki efektivitas lebih dari 99 persen dalam mencegah kehamilan, dengan risiko komplikasi yang sangat rendah (kurang dari 1 persen).

Bahkan saat ini tersedia metode no-scalpel vasectomy yang lebih minim invasif.

Mitos bahwa vasektomi menyebabkan impotensi atau penurunan gairah seksual telah dibantah oleh ratusan studi medis.

Fungsi ereksi, ejakulasi, dan kadar hormon testosteron pria tidak terpengaruh. Artinya, secara biologis, maskulinitas tetap utuh.

Dalam kerangka hukum nasional, beberapa peraturan justru mendukung vasektomi sebagai bentuk pelayanan kesehatan yang sah dan dijamin negara.

Baca juga: Antara Data dan Diksi: Saat Komunikasi Kesehatan Kehilangan Akurasi

Pertama, UU No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Dalam Pasal 20 menyebutkan bahwa pengaturan kelahiran menjadi tanggung jawab bersama antara suami dan istri. Hal ini menjadi dasar etis bahwa laki-laki juga memiliki hak dan tanggung jawab penuh atas pilihan kontrasepsi, termasuk vasektomi.

Kedua, UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Dalam semangatnya mendorong pelayanan yang berkeadilan dan berbasis hak asasi, menempatkan pelayanan kesehatan reproduksi sebagai bagian tak terpisahkan dari upaya preventif dan promotif.

Ketiga, dalam perspektif HAM, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights), yang telah diratifikasi oleh Indonesia, menjamin hak setiap individu untuk tidak mengalami diskriminasi atas dasar pilihan kesehatan tubuh.

Dengan demikian, stigmatisasi terhadap pria yang memilih vasektomi bukan hanya bentuk diskriminasi sosial, tetapi juga bertentangan dengan prinsip hukum nasional dan internasional yang menjunjung tinggi hak atas tubuh dan otonomi pribadi.

Kita tidak bisa memaksakan vasektomi sebagai satu-satunya cara. Namun, kita juga tidak boleh membiarkan masyarakat terus hidup dalam mitos.

Yang dibutuhkan adalah pendidikan publik yang adil dan tidak bias gender, di sekolah, kampus, komunitas keagamaan, bahkan media.

Pembicaraan tentang tanggung jawab reproduksi harus dilandaskan pada prinsip saling berbagi, bukan saling menghindar.

Baca juga: Dokter Umum dan Operasi Caesar: Ruang untuk Refleksi, Bukan Reaksi

Kita juga perlu mengangkat cerita, bukan hanya data. Cerita pria yang memilih vasektomi karena cinta dan tanggung jawab; cerita pasangan yang berdiskusi sehat dan saling mendukung; cerita dokter-dokter yang dengan integritas membimbing pasiennya, bukan memanipulasi mereka dengan ketakutan yang tidak berdasar.

Prahara vasektomi bukan sekadar tentang operasi kecil yang membatasi kemampuan reproduksi. Ini adalah medan pertempuran ideologis antara patriarki dan keadilan, antara kebijakan yang setengah hati dan hak asasi yang utuh.

Jika tubuh perempuan selama ini menjadi arena politik, maka saatnya tubuh laki-laki pun dibebaskan dari mitos.

Vasektomi bukan soal menjadi kurang laki-laki. Justru di situlah letak keberanian baru laki-laki masa kini, “berani bertanggung jawab, tanpa harus kehilangan kehormatan”.

Dan Keputusan itu lebih dari sekadar keputusan medis, melainkan keputusan yang mendewasakan masyarakat kita.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi