KOMPAS.com - Belum lama ini publik Tanah Air dikejutkan dengan adanya kabar Arab Saudi akan membangkas 50 persen kuota haji Indonesia pada 2026.
Kabar itu juga ramai diperbincangkan di media sosial X.
Salah satu unggahan menyebut, jika Arab Saudi memotong kuota haji Indonesia, bisa menambah waktu tunggu menjadi 90 tahun lebih.
“Jika ini benar terjadi, antrean haji bisa mundur hingga tahun 2119. Yup, 94 tahun lagi,” tulis pemilik akun X @BigAlphaID pada Rabu (11/6/2025).
Unggahan ini terpantau viral, ditonton lebih dari 3,2 juta kali dan disukai puluhan ribu pengguna X lainnya.
Wacana dipastikan batal
Pada gilirannya, Wakil Kepala Badan Penyelenggara Haji (BP Haji) RI Dahnil Anzar telah memastikan wacana pengurangan kuota haji hingga 50 persen pada musim haji 2026 batal.
Ia menuturkan, Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi menyampaikan keyakinannya terhadap komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan perbaikan dalam tata kelola haji dengan dibentuknya BP Haji.
"Wacana tersebut berhenti menjadi wacana dan kami yakinkan itu tidak akan terjadi," tegas Dahnil di Kantor BP Haji Thamrin pada Rabu (11/6/2025) malam, dikutip dari Kompas.com.
Dahnil mengatakan, wacana pemangkasan kuota jemaah haji Indonesia hanya sebagai peringatan dari Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi kepada Kementerian Agama RI yang menjadi penyelenggara haji pada tahun ini.
"Karena mereka ingin memberikan semacam peringatan. Mereka menilai pelaksanaan haji tahun ini dari Indonesia belum optimal," tuturnya.
Pelajaran penting
Sekretaris Jenderal Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri), Zaki Zakariya, juga menilai wacana pemotongan kuota haji oleh Pemerintah Arab Saudi tidak serius.
“Kami yakin itu hanya ucapan spontan, mungkin bentuk ‘gertakan’ tergantung konteks pembicaraan,” ujar Zaki kepada Kompas.com, Kamis (12/6/2025).
Ia menekankan, Arab Saudi belum merilis secara resmi kuota haji 2026 untuk negara manapun.
Namun, menurut Zaki, wacana tersebut justru bisa menjadi peringatan penting bagi Indonesia untuk berbenah dalam diplomasi dan komunikasi lintas negara, terutama dengan negara kerajaan seperti Arab Saudi.
Ia berucap, perlu adanya sikap dan adaptasi kultural dari Pemerintah Indonesia dalam "membujuk" Arab Saudi.
"Kami memahami bahwa berdiplomasi dengan negara yang menganut sistem kerajaan harus disesuaikan dengan gaya dan budaya mereka," ujar Zaki.
"Oleh karena itu, kami menyarankan agar Kementerian Luar Negeri memberikan materi atau SOP terkait diplomasi, negosiasi, dan komunikasi antarnegara kepada kementerian-kementerian di Indonesia," lanjut dia.
Dalam konteks komunikasi dengan Arab Saudi, Zaki menyebut, menurut pengalaman Amphuri, negara Kerajaan itu memiliki karakter dan pendekatan yang khas yang perlu dipahami secara khusus.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan beberapa hal yang kemungkinan menjadi pemicu Arab Saudi ingin memotong kuota haji Indonesia:
Baca juga: Jadwal Pemulangan Jemaah Haji 1446 H ke Indonesia mulai 11 Juni 2025
1. Arab Saudi diduga tidak terima diintervensiZaki berpandangan, Arab Saudi kemungkinan tidak nyaman jika merasa diintervensi atau dikomplain, terutama dalam urusan yang mereka anggap sebagai otoritas mutlak, seperti penyelenggaraan haji.
2. Arab Saudi tidak bisa dituntut meminta maafSebagai negara kerajaan, kata dia, Arab Saudi juga bisa jadi sulit diminta secara terbuka untuk menyampaikan permintaan maaf.
Mereka menjaga wibawa, termasuk ketika menghadapi kritik atas kekurangan layanan Haji 2025.
3. Komunikasi 1 arah 1 pintuMenurut dia, Arab Saudi terbiasa berkomunikasi melalui satu jalur resmi. Jika otoritas haji ada di Kementerian Agama, maka hanya kementerian itu yang dijadikan mitra bicara.
Ketika terlalu banyak lembaga Indonesia yang terlibat, Arab Saudi justru bingung dan merasa tidak dihargai.
"Oleh karena itu, diharapkan lembaga pemerintah lainnya tidak perlu banyak ikut campur, kalaupun ikut datang ya mendampingi saja, dan satu suara saja, tidak berbeda-beda yang bikin mereka bingung," jelas Zaki.
Baca juga: Puncak Haji 1446 H Usai, Apa Saja Ibadah setelah Wukuf dan Mabit?
4. Arab Saudi kurang suka kegaduhan pihak lainSelain itu, Zaki menyampaikan, pihak Arab Saudi kurang suka menerima curhatan pergaduhan pihak lain.
Misalnya, jika ada dua lembaga negara tertentu curhat tentang haji lembaga negara lainnya, yang sama-sama satu negara, mereka kurang menghargai.
"Mereka pikir kita satu negara kok bergaduh, di sistem kerajaan enggak ada pergaduhan yang enggak perlu," ujar Zaki.
"Semestinya pergaduhan dan curhatan teknis haji yang mungkin bisa terjadi enggak perlu dilaporkan di level pejabat tinggi," lanjut dia.
Menurut Zaki, hal inilah yang diperkirakan Deputi Haji langsung mengatakan secara spontan terkair pemotongan 50 persen kuota haji Indonesia.
Masukan lain
Sementara itu, Zaki memberi masukan kepada Pemerintah Indonesia untuk dapat memahami jika Arab Saudi sudah menyerahkan seluruh penyelenggaraan haji ke sektor Swasta (syarikah).
"Arab Saudi sudah menyerahkan operasional haji ke sektor swasta (syarikah), sementara Kementerian Hajinya berperan sebagai regulator," jelasnya.
Nah, menurut dia, Indonesia sebaiknya meniru sistem ini untuk efisiensi dan peningkatan layanan.
"Sudah waktunya pemerintah Indonesia mengikuti jejak Arab Saudi pemisahan regulator dan operator. Pemerintah perlu mulai melibatkan swasta dalam penyelenggaraan haji baik haji khusus atau reguler," lanjut dia.
Apabila pemerintah Indonesia berani, ia optimistis penyelenggaraan haji reguler dan haji khusus akan makin baik dan lebih murah lagi.
Baca juga: Cara Arab Saudi Amankan Jemaah Haji 2025 dari Gelombang Panas, Cegah Tragedi Terulang
Di samping itu, Zaki mengingatkan bahwa isu haji hanyalah satu bagian dari hubungan besar Indonesia–Arab Saudi.
Maka itu, dalam setiap komunikasi resmi, ucapan terima kasih dan penghormatan kepada Raja Salman dan Putra Mahkota MBS menjadi bagian dari etika diplomasi yang penting diperhatikan.
"Kita perlu apresiasi kerja keras Arab Saudi yang serius menyelenggarakan haji lebih baik lagi," ucap Zaki.
Zaki menyampaikan, menurut pakar ekonomi dan politik Arab Saudi, Ali Shihabi, kerajaannya sudah berinvestasi besar di sektor haji demi melayani dan menyelenggarakan haji dengan baik.
Namun, tindakan ini dianggap kurang diapresiasi karena kesalahan-kesalahan kecil.
"Padahal Saudi tidak menganggap haji sebagai tambang Emas buat mereka, tapi pelayanan para tamu-tamu Allah. Jadi, ada baiknya setiap berkomunikasi dengan Arab Saudi perbincangan di awal atau di akhir mengucapkan terima kasih kepada Raja Salman, Putra Mahkota MBS, sekaligus Perdana Menteri," ucap Zaki.
Ia berkata, sikap itu sudah menjadi kultur wajib di negara kerajaan.
Baca juga: Anjuran dan Larangan selama Wukuf di Puncak Musim Haji 2025
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.