Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonom RI Ungkap 3 Skenario Terbaik-Terburuk soal Dampak Perang Israel-Iran

Baca di App
Lihat Foto
AFP/AHMAD GHARABLI
Sistem pertahanan udara Israel diaktifkan untuk mencegat rudal Iran di atas kota Haifa di tengah rentetan serangan roket Iran pada sENIN (16/6/2025).
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Konflik bersenjata antara Iran dan Israel yang kian memanas tidak hanya memicu ketegangan geopolitik global, tetapi juga mengancam stabilitas ekonomi Indonesia. 

Lonjakan harga minyak dunia, disrupsi rantai pasok, serta ketidakpastian pasar keuangan menjadi ancaman nyata bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang sangat bergantung pada impor energi dan stabilitas eksternal. 

Jika eskalasi perang berlanjut, dampaknya bisa meluas ke inflasi domestik, pelemahan nilai tukar rupiah, hingga tekanan terhadap kebijakan fiskal dan moneter. 

Indonesia harus bersiap menghadapi risiko ekonomi global yang ditimbulkan dari konflik Timur Tengah ini, yang tidak lagi bersifat regional, tapi berdampak sistemik.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, apa saja dampak perang Israel-Iran terhadap perekonomian?

Baca juga: Daftar Komandan dan Ilmuwan Nuklir Iran yang Tewas dalam Serangan Israel

Perang Israel-Iran ancam stabilitas ekonomi

Pengamat ekonomi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahyu Widodo, menjelaskan dampak ekonomi dari konflik Iran-Israel sangat bergantung pada sejauh mana eskalasi perang berlangsung. 

Sejumlah indikator utama seperti harga minyak, inflasi, rantai pasok (supply chain), dan arus investasi menjadi parameter utama dalam mengukur potensi dampaknya.

"Ada beberapa indikator yang menjadi parameter seperti harga minyak, inflasi, supply chain dan investasi," jelasnya kepada Kompas.com, Rabu (18/6/2025).

Senada, selain perang Israel-Iran ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin juga menyebut perang Rusia-Ukraina berpotensi menciptakan gejolak besar di pasar keuangan global. 

Ketidakpastian yang ditimbulkan dari dua konflik ini akan mendorong pasar uang dan pasar modal menjadi semakin fluktuatif.

Baca juga: Berlebihan jika Kita Menganggap Ketegangan Iran-Israel sebagai Awal Perang Dunia

"Artinya nilai tukar mata uang, indeks saham, dan instrumen investasi lainnya akan mengalami naik-turun yang tajam dan tidak stabil," terangnya saat dihubungi secara terpisah oleh Kompas.com, Rabu (18/6/2025).

Kondisi ini, menurutnya, akan menjauhkan pasar dari titik ekuilibrium, yaitu kondisi ideal di mana harga-harga mencerminkan keseimbangan antara permintaan dan penawaran. 

"Selain itu, harga minyak dunia diprediksi terus naik karena negara-negara yang terlibat dalam konflik ini baik langsung maupun tidak langsung merupakan produsen minyak utama dunia," tandasnya.

Kenaikan harga minyak ini tidak hanya berdampak pada biaya energi, tetapi juga mendorong inflasi global, termasuk di Indonesia, karena biaya produksi dan distribusi barang ikut terdampak.

Baca juga: Profil Sahar Emami, Presenter TV Iran yang Kini Menjadi Simbol Perlawanan Terhadap Israel

3 skenario dampak ekonomi terbaik hingga terburuk

Menurut Wahyu, setidaknya ada tiga skenario yang kerap muncul dalam berbagai analisis terkait dampak perang Israel-Iran bagi perekonomian.

Skenario pertama, yang dianggap sebagai skenario terbaik, adalah jika konflik mereda dan kedua pihak menahan diri. 

Dalam kondisi ini, Wahyu mengatakan dampak ekonomi cenderung bersifat jangka pendek. 

"Sehingga guncangan terhadap pasar akan pulih relatif cepat tanpa tekanan yang berkepanjangan," ujarnya.

Skenario kedua adalah ketegangan berkepanjangan disertai keterlibatan pihak ketiga (proxy war).

Menurut Wahyu, dalam kondisi ini, harga minyak diperkirakan akan melonjak tajam, mendorong inflasi akibat meningkatnya ongkos produksi dan biaya hidup. 

Kebijakan moneter pun kemungkinan akan berubah menjadi lebih agresif (hawkish). 

Baca juga: Drone Iran Tembus Pertahanan Israel, Hancurkan Target di Tel Aviv dan Haifa

Gangguan terhadap rantai pasok global akan menyebabkan lonjakan biaya logistik, menghambat sektor manufaktur, dan mengganggu ketersediaan barang. 

"Di pasar keuangan, kecenderungan untuk menghindari risiko akan meningkat, mendorong investor beralih ke safe-haven assets seperti emas atau obligasi pemerintah," jelas Wahyu.

Selain itu ada skenario ketiga, yang menjadi sebuah skenario terburuk menurut Wahyu.

Yakni ketika perang regional berskala penuh pecah disertai dengan penutupan Selat Hormuz, salah satu jalur penting perdagangan minyak dunia. 

Dalam skenario ini, harga minyak bisa melonjak drastis, bahkan mencapai level ekstrem. 

"Akibatnya, dunia bisa menghadapi hiperinflasi karena melonjaknya biaya energi dan rusaknya rantai pasok global," terang Wahyu.

Perdagangan internasional bisa lumpuh akibat blokade dan serangan terhadap jalur distribusi barang.

"Kombinasi dari semua faktor tersebut berpotensi mendorong dunia ke jurang resesi, bahkan depresi global, dengan volatilitas tajam di pasar keuangan dan stagnasi ekonomi yang meluas," tandasnya.

Baca juga: Ke Mana Arah Operasi Militer Israel di Iran Sebenarnya?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi