Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar Ungkap Indikasi Konflik yang Bisa Pecah Jadi Perang Dunia 3, Bukan Perang Israel-Iran

Baca di App
Lihat Foto
AFP/JACK GUEZ
Petugas keamanan Israel memeriksa kerusakan bangunan yang hancur dihantam rudal Iran, di kawasan permukiman Ramat Aviv, Ibu Kota Tel Aviv, Israel, Minggu (22/6/2025).
|
Editor: Irawan Sapto Adhi

KOMPAS.com - Khalayak dunia, termasuk Indonesia, khawatir konflik Iran-Israel akan meningkat menjadi Perang Dunia 3 setelah Amerika Serikat menyerang tiga fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025).

Namun, para pengamat mengatakan Perang Dunia 3 belum tentu akan terjadi dan masyarakat diimbau "tidak perlu khawatir".

Meski AS sudah terlibat dalam konflik Iran-Israel, dosen hubungan internasional Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, menilai belum ada eskalasi yang mengarah ke perang yang lebih besar.

Baca juga: Hubungan Iran-Qatar Diuji Usai Serangan Pangkalan AS, Akankah Retak?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat geopolitik dan hubungan internasional, Dian Wirengjurit, mengimbau warga tidak perlu khawatir sebab para pemimpin dunia akan melakukan upaya diplomasi agar konflik tidak meningkat dan memakan lebih banyak korban.

Uni Eropa, Kerajaan Bersatu (United Kingdom/UK), Jepang, Perancis, Qatar, Arab Saudi, dan negara-negara lainnya, meminta Iran dan Israel untuk kembali ke jalur diplomasi.

Pascaserangan AS, Iran meluncurkan serangan balasan ke Israel. Menteri Luar Negeri Iran juga telah pergi ke Moskwa untuk melakukan pembicaraan dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin tentang "tantangan dan ancaman bersama".

Apakah serangan AS bisa memicu Perang Dunia 3?

Dua pakar geopolitik dan hubungan internasional, Dina Sulaeman dan Dian Wirengjurit, sama-sama memprediksi Perang Dunia 3 tidak akan pecah setelah AS menyerang Iran untuk membela Israel.

Dian Wirengjurit, yang menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk Iran pada 2012-2016, menilai "tidak mungkin" perang dunia sampai terjadi.

"Negara seperti Qatar, Oman, Mesir, Uni Emirat Arab, sudah mulai bergerak untuk upaya diplomasi. Jangankan mencegah perang dunia, mereka mencegah perang meluas ke wilayah mereka," kata Dian kepada BBC News Indonesia, Senin (26/6/2025).

Menurut dia, negara-negara lainnya, apalagi yang berada di kawasan, tidak akan rela wilayahnya dijadikan arena peperangan, apalagi mereka "tidak jadi pemain".

Oleh sebab itu, dia mengimbau masyarakat untuk tidak terlalu khawatir karena dunia pun tidak akan diam saja jika konflik dua negara ini terus meningkat.

"Geopolitik itu bukan kayak membalikkan tangan. Kalau di sana perang, kita terseret perang. Kalau di sana krisis, kita terseret krisis. Kita aman tenteram puluhan tahun juga krisis terus terjadi setiap waktu," ujarnya.

Baca juga: Pangkalan Militer AS Diserang, Kenapa Trump Ucapkan Terima Kasih ke Iran?

Apa indikasi konflik akan pecah menjadi Perang Dunia 3?

Perang dunia akan terjadi ketika konflik sudah melibatkan "aktor" dari banyak negara di kawasan yang berbeda, kata Dina Sulaeman, yang juga menjabat sebagai direktur Indonesia Center of Middle East Studies.

Keterlibatan AS pun tidak mengindikasikan bahwa perang ini akan berkembang menjadi perang dunia.

Apalagi, menurut Dina, serangan yang diluncurkan AS untuk membantu Israel dalam konflik dengan Iran hanya merupakan "serangan terbatas" dan "bukan serangan besar-besaran".

Dina dan Dian menyebut Perang Dunia 3 bisa terjadi ketika AS melakukan serangan besar-besaran dan negara-negara lain seperti Rusia dan China, yang juga sekutu Iran, mulai terlibat langsung.

"Kalau misalnya betul-betul serangan yang besar-besaran dan Iran juga, misalnya, menutup Selat Hormuz, itu kepentingan Rusia maupun China akan terganggu. Nah, mungkin pada saat itu juga akan ada intervensi," kata Dina.

Lantas, apa arti keikutsertaan AS dalam konflik Iran-Israel?

"Amerika Serikat sendiri doktrin kebijakan luar negerinya itu adalah mengamankan Israel, jadi keamanan nasional Amerika sama dengan keamanan nasional Israel. Itulah sebabnya pemerintah Amerika Serikat sejak lama, bukan hanya Trump saja, betul-betul berusaha menekan pemerintahan-pemerintahan yang terlihat berbahaya buat Israel," kata Dina memaparkan.

Sebelumnya, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, berulang kali meyakinkan Presiden AS Donald Trump untuk menyerang Iran yang menurut Israel sedang mengembangkan senjata nuklir.

Pada Minggu (22/6/2025), Trump meluncurkan serangan ke tiga fasilitas nuklir Iran di Fordo, Natanz, dan Isfahan. Dia mengungkapkan alasannya menyerang fasilitas nuklir Iran melalui pidatonya.

"Tujuan kami adalah untuk menghancurkan kapasitas pengayaan nuklir Iran dan menghentikan ancaman nuklir yang ditunjukkan oleh negara pendukung teror nomor satu di dunia," kata Trump.

Dia juga memperingatkan Iran untuk menghentikan perang dengan Israel, "Jika tidak serangan di masa depan akan jauh lebih besar dan lebih mudah".

Baca juga: Harga Minyak Turun ke Titik Terendah sejak Konflik Iran-Israel Pecah

Bagaimana situasi saat ini?

Iran telah meluncurkan serangan balasan ke Israel dan Israel juga menyerang Iran.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, langsung mengunjungi Moskwa pada Senin (23/6/2025), meminta Presiden Vladimir Putin agar memberikan lebih banyak bantuan dari Rusia pascaserangan AS.

Dalam sambutannya yang disiarkan langsung di televisi, Presiden Putin mengatakan serangan AS "sama sekali tidak beralasan" dan "tidak dapat dibenarkan".

"Saya sangat senang Anda berada di Moskwa hari ini. Ini memberi kita kesempatan untuk membahas semua topik yang sulit ini dan berpikir bersama bagaimana menemukan jalan keluar dari situasi saat ini," Putin menambahkan.

Awal tahun ini presiden Iran dan Rusia menandatangani "perjanjian kemitraan strategis komprehensif". Namun, itu bukan aliansi militer dan tidak mewajibkan Rusia untuk membela Teheran.

Sementara itu, juru bicara Kementerian Luar Negeri China menekankan bahwa "Teluk Persia dan perairan di sekitarnya merupakan rute perdagangan internasional yang penting".

Oleh sebab itu, China mendesak masyarakat internasional untuk "mengintensifkan upaya untuk mendorong de-eskalasi ketegangan".

Selain merapat ke Rusia, Iran juga tengah bersiap menutup Selat Hormuz, yakni jalur perdagangan minyak paling vital di dunia, sebagai langkah selanjutnya dalam konflik ini.

Uni Eropa mendesak Iran untuk tidak memblokir Selat Hormuz. AS bahkan juga meminta China untuk membujuk Teheran agar tidak menutup rute pelayaran utama tersebut.

Analis mengatakan bahwa bagi Iran, menutup Selat Hormuz merupakan bentuk "daya cegah"—mirip dengan kepemilikan senjata nuklir.

Artinya, pihak luar akan berpikir beberapa kali untuk bertikai dengan Iran karena Teheran mampu menutup Selat Hormuz, yang kemudian akan mengganggu perekonomian.

Baca juga: 5 Perkembangan Terbaru Perang Israel-Iran, Termasuk Netanyahu Setujui Gencatan Senjata

Bagaimana dampak konflik Iran-israel untuk Indonesia?

Indonesia akan merasakan dampak konflik Iran-Israel ketika Selat Hormuz benar-benar ditutup. Jika hal itu terjadi, suplai-suplai minyak dari Timur Tengah tidak bisa keluar dan masuk ke pasar internasional.

Akibatnya, harga minyak dunia akan naik drastis, menyebabkan harga komoditas lainnya juga naik. Indonesia, sebagai negara pengimpor minyak, tentu akan merasakan dampaknya.

Harga BBM dan komoditas lainnya juga pasti akan naik.

Menurut Dian Wirengjurit, tidak ada hal yang bisa lakukan selain menghadapinya karena "tidak ada yang bisa menghindari" dampak ini.

"Enggak ada yang bisa mengatasi kecuali di pusatnya sana, di Timur Tengahnya, damai, Hormuz dibuka, ya mengalir lagi," ujar Dian.

Yang bisa dilakukan hanya "mengetatkan ikat pinggang".

Di mana posisi Indonesia dalam konflik Iran-Israel?

Indonesia belum menyampaikan sikap resmi terhadap konflik Iran-Israel. Namun, Presiden Prabowo Subianto sudah menyampaikan pendapatnya beberapa hari lalu.

Prabowo menilai pengaruh Rusia lebih besar di kawasan itu, khususnya dengan pemerintah Iran. Dia menegaskan semua negara ingin mencari solusi dalam dan menurunkan suhu konflik yang semakin memanas.

"Kita ingin semua turunkan suhu. Kita ingin cari penyelesaian jalan keluar yang damai untuk semua pihak," kata Prabowo,

Menurut para ahli, Indonesia memang tidak punya "pengaruh" yang cukup untuk berperan sebagai mediator perdamaian dalam konflik ini, tidak seperti Rusia dan China.

Bahkan, Dian menyebut modal Indonesia sebagai negara Islam terbesar pun "sudah tidak


laku".

"Kita enggak punya leverage (pengaruh), benahi dalam negeri kita dulu, baru kita bisa dianggap," kata Dian.

"Coba lihat China, faksi-faksi Palestina pun diundang ke Beijing datang, padahal dia bukan negara Islam, malah sosial komunis. Yang damaikan Iran sama Arab Saudi siapa? China. Kita yang katanya non-blok, OKI (Organisasi Kerja sama Islam) segala macam, mana? Enggak didengar," dia menambahkan.

Meski begitu, bukan berarti tidak ada yang bisa dilakukan oleh Indonesia.

Baca juga: Kenapa Qatar Tepis Serangan Iran ke Pangkalan AS?

Menurut Dina Sulaeman, keikutsertaan Indonesia dalam proses-proses perdamaian juga ada manfaatnya, yakni semakin banyak suara yang bergabung dalam proses perdamaian tentu lebih baik.

Dina juga bilang, Indonesia bisa melakukan tekanan ekonomi untuk menyelesaikan konflik Iran-Israel ini, yang disebut Dina akarnya berada di konflik Palestina-Israel.

"Di level negara, bisa melakukan penundaan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang memang terbukti memberikan suplai logistik ke militer Israel, Cara ini pernah berhasil ketika dulu komunitas internasional berusaha melemahkan Rezim Apartheid Afrika Selatan Di tahun 80an," ujar Dina.

Namun, memberikan tekanan ekonomi itu juga "membutuhkan keberanian", Dina mengingatkan. Sebab, akan ada dampak yang harus ditanggung.

Meskipun Indonesia memiliki doktrin kebijakan luar negeri bebas aktif dan non-blok, Undang-Undang Dasar 1945 tetap mengamanatkan Indonesia menjaga perdamaian dunia dan melawan penjajahan.

Jadi, menurut Dina, Indonesia harus tetap berpihak dalam membantu pihak-pihak yang memang sedang mengalami penjajahan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi