KOMPAS.com - Sleep paralysis atau ketindihan ketika tidur sering kali dikaitkan dengan fenomena mistis.
Orang yang mengalami ketindihan biasanya tidak bisa menggerakkan kepala, tangan, dan kaki walau kondisinya sudah sadar.
Beberapa orang juga mengaku berhalusinasi atau seolah-olah melihat sesuatu saat ketindihan terjadi.
Meski begitu, penyebab ketindihan bisa dijelaskan secara ilmiah sehingga fenomena ini tidak berkaitan dengan hal-hal supranatural.
Ahli neurologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Yeni Qonita Mondiani mengatakan, ketindihan sebenarnya termasuk gangguan tidur yang disebut parasomnia.
“Parasomnia adalah keadaan yang ditandai dengan terbangunnya tidur, baik saat awal tidur maupun selama tidur, yang tidak mengubah kualitas maupun kuantitas tidur,” ujar Yeni dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Senin (30/6/2025).
Baca juga: Jam Tidur Pengaruhi Fungsi Otak, Awet Muda, dan Berat Badan? Ini Kata Dokter
Proses terjadinya ketindihan
Yeni menjelaskan, tidur adalah proses fisiologis berulang yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara reversibel.
Ketika tidur, tubuh akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara global sehingga otak tidak bisa merespons penuh stimulus di sekitar.
Yeni menambahkan, siklus tidur manusia dibagi menjadi lima fase, yakni empat fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan satu fase Rapid Eye Movement (REM).
Kelima siklus tersebut dapat terjadi berulang kali dalam satu siklus tidur.
“Fase 3 dan 4 NREM dikatakan sebagai fase tidur yang paling dalam. Fase ini berfungsi mengembalikan kesegaran tubuh dan restorasi kondisi tubuh setelah beraktivitas,” imbuh Yeni.
Saat fase tersebut berlangsung, tubuh secara fisiologis memiliki ambang yang tinggi untuk terbangun dan sering diasosiasikan dengan berbagai gangguan tidur, seperti sleep walking dan sleep terror.
Baca juga: Apakah Malam 1 Suro Boleh Tidur? Ini Penjelasan Pihak Keraton Solo
Berbeda dengan NREM, fase REM merupakan tahap ketika mimpi bisa diingat yang terjadi hambatan sinyal motorik sangat kuat. Di fase inilah, ketindihan bisa terjadi.
“Hanya sedikit gerakan yang muncul pada fase REM,” jelas Yeni.
Yeni menjelaskan, ketindihan adalah ketidakmampuan tubuh untuk bergerak saat awal atau akhir tidur, meski kesadaran sudah kembali.
Ia menganalogikan ketindihan sebagai tubuh masih dalam mode sleep (tidur), tapi otak sudah aktif.
“Sleep paralysis itu sendiri adalah ketidakmampuan bergerak pada saat awal atau akhir tidur, sementara subjek telah terbangun,” ujar Yeni.
“Bahasa mudahnya, pada sleep paralysis, tubuh kita masih pada sleep mode tetapi otak kita sudah aktif,” tambahnya.
Baca juga: Bisakah Rutin Konsumsi Alpukat Perbaiki Kualitas Tidur dan Kesehatan Jantung? Ini Hasil Risetnya
Penyebab ketindihan
Yeni menjelaskan, ketindihan biasanya pertama kali terjadi pada usia 15 hingga 35 tahun.
Kondisi tersebut bisa muncul secara sporadis dan dipicu oleh kurang tidur, stres, gangguan kecemasan, faktor keturunan, serta kondisi medis, seperti narkolepsi.
“Sebagian besar subjek tertidur dengan posisi terlentang dan tidak dapat bergerak, sekalipun napas dan jantung bergerak secara normal. Tiap episode biasanya beberapa detik hingga menit,” terang Yeni.
Meski ada penjelasan ilmiah di balik ketindihan, Yeni menuturkan, orang yang mengalami kondisi ini sering kali merasa takut walau masih mempunyai kesadaran terhadap keadaan yang terjadi.
Gejala lain yang bisa muncul saat ketindihan meliputi halusinasi, terutama jika penyebabnya adalah narkolepsi.
“Hal ini bisa menyebabkan rasa takut pada subjek. Episode ini dapat berakhir secara spontan,” ucap Yeni.
Baca juga: Kurang Tidur Bisa Picu Hipertensi, Ini Penjelasan Dokter
Cara mencegah ketindihan
Yeni menuturkan, ketindihan bisa diatasi atau dicegah dengan memperbaiki gaya hidup.
Hal tersebut dilakukan dengan memperbaiki pola tidur dan menerapkan sleep hygiene seperti mengatur jam tidur dan bangun, membatasi konsumsi kafein, dan makanan berlemak juga cepat saji.
Jika gejala cukup mengganggu aktivitas harian, ia menganjurkan untuk berkonsultasi ke dokter.
“Langkah lain dengan melakukan exercise ringan dan mengatur perangkat elektronik di sekitar kita,” sarannya.
“Perlu berobat ke dokter spesialis untuk pemberian obat antidepresan, dan tata laksana untuk penyakit underlying-nya seperti narkolepsi,” pungkas Yeni.
Baca juga: Dokter Ungkap 5 Kelompok yang Berisiko Kena Serangan Jantung Saat Tidur, Siapa Saja?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.