KOMPAS.com - Belakangan ini fenomena Aphelion 2025 menyita perhatian publik dan menjadi pembicaraan di media sosial.
Sebagian masyarakat menganggap bahwa fenomena Aphelion berdampak pada cuaca dan iklim di Bumi, bahkan hingga memengaruhi kesehatan.
"Mulai hari ini tanggal 7 Juli 2025 jam 05.27 kita akan mengalami fenomena aphelion. Kita akan mengalami cuaca yang dingin melebihi cuaca dingin sebelumnya yang akan berdampak meriang, flu, batuk, sesak napas dll," bunyi informasi yang beredar di salah satu grup obrolan warga yang diunggah oleh pengguna akun X, @zakiberk***, Senin (7/7/2025).
Baca juga: Hari Ini Terjadi Aphelion, Bumi Berada di Titik Terjauh dari Matahari, Apa Dampaknya?
Banyak publik mempertanyakan kebenaran dari dampak fenomena aphelion tersebut.
"Ini hoax ngga sii? perasaan dari kapan tau liat ini terus," tulis @imdimsu***.
Namun, beberapa warganet justru membenarkan unggahan tersebut dengan mengaku merasakan sejumlah gangguan kesehatan seperti batuk, pilek, dan meriang.
"Iya min, udah batuk pilek dari seminggu kemarin," tulis akun @barnab***.
Lantas, apa itu fenomena Aphelion? Dan apa saja dampaknya?
Baca juga: Benarkah Suhu Dingin di Indonesia Akibat Fenomena Aphelion? Ini Penjelasan BMKG
Apa itu Aphelion?
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Guswanto menjelaskan fenomena Aphelion terjadi ketika Bumi berada di titik terjauhnya dari Matahari, yang biasanya berlangsung pada bulan Juli setiap tahun.
Pada tahun 2025, kata Guswanto, fenomena Aphelion sudah terjadi, yakni pada tanggal 5 Juli lalu.
"Aphelion adalah titik dalam orbit Bumi di mana planet kita berada paling jauh dari Matahari. Jarak antara Bumi dan Matahari saat Aphelion adalah sekitar 152 juta kilometer, yang merupakan jarak terjauh dalam orbit elips Bumi mengelilingi Matahari," jelasnya kepada Kompas.com, Senin (7/7/2025).
Sebagai fenomena tahunan, Guswanto menegaskan bahwa fenomena Aphelion hanya berdampak pada penurunan suhu di Bumi saja.
Baca juga: Muncul Fenomena Aphelion pada 5 Juli 2024. Apa Dampaknya bagi Indonesia?
Ia juga menegaskan bahwa fenomena Aphelion tidak memengaruhi kondisi cuaca dan iklim.
"Memang dampaknya hanya berpengaruh ke suhu yang lebih dingin, namun tidak sampai ke musim ataupun cuaca," jelasnya.
Ia menambahkan, fenomena Aphelion terjadi setiap tahun sekitar awal bulan Juli dan berlangsung sesaat ketika Bumi berada pada titik terjauh dari Matahari dalam orbitnya.
"Jadi, Aphelion bukanlah fenomena yang berlangsung lama, melainkan lebih seperti momen singkat dalam perjalanan Bumi mengelilingi Matahari," terang Guswanto.
Baca juga: Suhu Dingin Akhir-akhir Ini Disebut Terjadi karena Aphelion, BMKG: Tidak Berpengaruh
Apakah fenomena Aphelion berdampak pada cuaca dingin?
Guswanto juga meluruskan informasi yang beredar di media sosial terkait fenomena Aphelion yang disebut berdampak pada gangguan kesehatan.
Ia menegaskan, fenomena Aphelion tidak memiliki dampak signifikan pada cuaca dan iklim di Bumi.
Perubahan musim dan suhu lebih dipengaruhi oleh kemiringan sumbu Bumi daripada jaraknya dari Matahari.
"Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara Aphelion dan gangguan kesehatan seperti flu, batuk, atau sesak napas," tegasnya.
Para ahli pun juga telah menjelaskan bahwa Aphelion tidak memiliki dampak signifikan pada cuaca dan iklim, sehingga tidak ada alasan untuk mengkhawatirkan dampaknya pada kesehatan.
Baca juga: Kenapa Cuaca Akhir-akhir Ini Dingin? Benarkah sebab Fenomena Aphelion?
Suhu dingin bukan karena Aphelion
"Suhu dingin yang terjadi merupakan hal wajar saat puncak musim kemarau, terutama antara Juli hingga September," jelas Guswanto.
Pada periode ini, lanjutnya, angin timur-tenggara dari Benua Australia bertiup ke wilayah Indonesia.
Karena Australia sedang mengalami musim dingin dan memiliki tekanan udara tinggi, angin membawa udara dingin melintasi Samudra Indonesia yang suhunya juga relatif rendah.
"Hal ini membuat wilayah selatan khatulistiwa seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara ikut mengalami penurunan suhu, jadi bukan karena fenomena Aphelion," tandasnya.
Selain itu, langit yang cerah dan minim awan membuat panas Bumi yang dipancarkan pada malam hari tidak tertahan di atmosfer.
Akibatnya, udara dekat permukaan terasa lebih dingin, terutama saat malam hingga pagi hari.
"Kondisi ini juga membuat beberapa wilayah dataran tinggi, seperti Dieng, berpotensi mengalami embun es atau embun upas, fenomena yang sering disalahartikan sebagai salju," jelas Guswanto
Baca juga: Beredar Pesan Berantai Aphelion Sebabkan Cuaca Dingin hingga Agustus, Ini Kata BMKG
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.