Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia
Bergabung sejak: 14 Mei 2024

Seorang sivitas akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menerima penghargaan dari Pimpinan KPK pada tahun 2021 sebagai Penyuluh Antikorupsi Inspiratif.

Anak Muda, Jebakan Ekonomi, dan "Survival Mode"

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Adeng Bustomi
Sejumlah calon pelamar kerja antre saat melamar pekerjaan pada Ciamis Job Fair 2025 di halaman kantor Kecamatan Cijeungjing, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Rabu (25/6/2025). Dinas Tenaga Kerja Ciamis bekerja sama dengan 14 perusahaan swasta membuka kuota lowongan pekerjaan sebanyak 1.150 orang dengan jumlah pendaftar melalui daring 2.600 pelamar.
Editor: Sandro Gatra

TAHUN 2025 menjadi penanda getir dalam peta perjalanan sosial-ekonomi Indonesia. Nyaris semua lini kehidupan merasakan denyut krisis—dari pengambil kebijakan hingga buruh lapangan, dari ruang istana sampai emperan trotoar.

Ketegangan sosial-ekonomi seolah menjadi muatan tetap dalam setiap berita harian, membentuk narasi kolektif tentang betapa rapuhnya keseimbangan hidup warga negara.

Namun, jika ada kelompok yang paling berisik dalam diam, paling banyak menghela napas tapi paling jarang didengar, maka itu adalah anak muda.

Ketika data menjadi jendela awal memahami kompleksitas, kita dihadapkan pada laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2025 yang mencatat 7,28 juta orang menganggur, atau sekitar 4,76 persen dari total angkatan kerja.

Meski secara persentase terjadi penurunan dari tahun sebelumnya, secara nominal pengangguran justru bertambah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fenomena ini memperlihatkan satu hal: perbaikan indikator makro bukan jaminan perbaikan kesejahteraan mikro. Apalagi jika kita menggali lebih dalam, lapangan pekerjaan yang tercipta bukanlah lapangan yang stabil, layak, dan produktif.

Ambil contoh kasus yang baru-baru ini mencuat: "Bekasi Pasti Kerja Expo" yang dipadati puluhan ribu pencari kerja.

Baca juga: Darurat Defisit APBN

Dalam kerumunan itu, kita menyaksikan lebih dari sekadar antrean panjang. Kita menyaksikan harapan yang ditumpuk, kecemasan disembunyikan, dan keringat yang menjadi simbol ketidakpastian.

Jakarta, sebagaimana disebut Harian Kompas edisi 22 Juni 2025, memang menjadi “gula-gula” yang menggoda. Namun, manisnya hanya untuk segelintir.

Sementara sebagian lainnya harus rela menggigit pahitnya realitas: biaya hidup tinggi, lapangan kerja sempit, dan tekanan sosial yang tiada henti.

Kelas menengah

Statistik BPS menunjukkan bahwa mayoritas kelas menengah Indonesia adalah orang muda: Generasi Milenial (24,60 persen), Gen Z (24,12 persen), dan Gen Alpha (12,77 persen).

Namun pertanyaan pentingnya: apakah menjadi bagian dari kelas menengah berarti aman dari guncangan ekonomi? Jawabannya, jelas tidak.

Sebaliknya, kelompok ini justru paling rentan. Mereka tidak miskin secara “administratif”, tetapi secara struktural sangat rapuh.

Mereka sering disebut sebagai sandwich generation—harus menghidupi diri sendiri, membiayai orangtua, dan mulai menyiapkan masa depan anak-anak.

Orang muda kini hidup dalam logika “survival mode”. Jangankan menabung atau investasi, bertahan hidup saja sudah menjadi perjuangan.

Gaji dipakai untuk biaya kos, transportasi, makan, tagihan, dan jika sempat—biaya eksistensi sosial agar tak tersisih dari lingkaran komunitas. Jika ada sisa, itu pun mungkin hanya cukup untuk membeli diskon.

Maka, seperti yang pernah ditulis Chatib Basri dalam opininya di Harian Kompas (24/7/2024) bahwa: “Instrumen perlindungan sosial dan lapangan kerja kelas menengah memang perlu dipikirkan. Mereka tak tergolong miskin, namun guncangan ekonomi dapat mengantar mereka pada kemiskinan. Hidup kelas menengah memang tak mudah. Ia butuh keterampilan untuk menganggap 'diskon' sebagai bentuk kekayaan dan 'belanja hemat' sebagai prestasi.”

Baca juga: Kampus Top Dunia Mulai Menolak LPDP

Jeritan anak muda bukan hanya akibat dari dinamika ekonomi global. Ada persoalan mendalam dalam desain struktural kebijakan kita.

Pendidikan tinggi belum selaras dengan kebutuhan industri. Lulusan sarjana membanjiri pasar kerja tanpa keterampilan yang sesuai dengan permintaan.

Sementara itu, sektor informal menjadi penampung terbesar, tapi tanpa perlindungan dan kejelasan masa depan.

Di sisi lain, instabilitas ketenagakerjaan juga diperparah gelombang PHK di sektor teknologi, manufaktur, dan ritel.

Banyak orang muda yang sebelumnya merasa sudah ‘mapan’ justru harus kembali ke titik nol. Ini bukan sekadar kehilangan pekerjaan, tetapi juga kehilangan arah hidup.

Sense of security yang selama ini dipinjam dari gaji bulanan tiba-tiba lenyap, meninggalkan kegelisahan eksistensial.

Dalam tulisan saya sebelumnya di Harian Kompas edisi 12 Maret 2025 berjudul “Tingginya Animo Menjadi ASN dan Beban Berat Birokrasi”, saya menggarisbawahi bagaimana meningkatnya ketergantungan pada formasi ASN menjadi cerminan ketidakmampuan sektor swasta menciptakan pekerjaan yang aman dan menjanjikan.

Pemerintah seakan menjadi satu-satunya harapan. Namun, membuka formasi ASN besar-besaran jelas bukan solusi. Anggaran negara akan tergerus untuk membayar gaji birokrat, bukan untuk belanja pembangunan atau subsidi produktif.

Jika lapangan kerja publik menjadi pelarian, maka kita sedang menyaksikan distorsi ekonomi yang kronis.

Idealnya, peran negara adalah sebagai enabler—penyedia infrastruktur, penguat pasar tenaga kerja, bukan sebagai satu-satunya penyerap tenaga kerja.

Kita butuh kebijakan yang mampu menumbuhkan sektor produktif, memberdayakan UMKM, dan menstimulus industri kreatif, serta ekonomi yang memberi ruang bagi kreativitas orang muda.

Pemerintah harus segera meninggalkan pendekatan kebijakan yang sekadar bersifat populistik, dan mulai membangun kebijakan struktural yang adil dan futuristik.

Beberapa langkah penting yang perlu diprioritaskan: reformasi sistem pendidikan dan ketenagakerjaan, perlindungan sosial untuk kelas menengah, pengembangan ekosistem ekonomi baru, desentralisasi akses dan informasi pekerjaan.

Jika anak muda hari ini hanya dibekali dengan semangat tanpa sistem pendukung yang memadai, maka mereka akan tetap terjebak dalam siklus survival mode yang panjang.

Mereka bukan hanya akan kehilangan harapan, tetapi juga kehilangan kemampuan untuk berkontribusi bagi negara. Dan jika kita gagal menyelamatkan orang muda hari ini, maka kita sesungguhnya sedang gagal menyelamatkan masa depan republik ini.

Sudah saatnya kebijakan negara berpihak, bukan hanya hadir. Bukan lagi saatnya membahas angka kemiskinan dengan indikator administratif, tetapi dengan realitas kehidupan yang semakin brutal dan menuntut respons yang cerdas.

Baca juga: Panglima-panglima Politik

Jangan sampai orang muda kita mengalami fenomena “mati segan, hidup tak mau,” akibat persoalan sistemik yang semakin lama semakin parah dan tidak pernah benar-benar dibenahi.

Kebijakan yang adil

Sebagaimana pernah dipaparkan oleh Bambang Brodjonegoro, mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, salah satu prasyarat utama agar Indonesia dapat bertransformasi menjadi negara maju adalah dengan memastikan dominasi struktur demografisnya diisi oleh kelompok kelas menengah yang kuat—bukan hanya secara kuantitas, tetapi juga secara kualitas.

Kelas menengah diharapkan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional melalui daya beli stabil, pola konsumsi produktif, serta partisipasi aktif dalam pembangunan. Namun, cita-cita itu agaknya semakin menjauh jika kita jujur menatap realita hari ini.

Alih-alih menjadi penggerak kemajuan, kelas menengah justru semakin banyak yang terjebak dalam kemiskinan struktural—suatu kondisi di mana individu tidak secara formal tercatat sebagai miskin, tetapi tidak memiliki cukup sumber daya, akses, dan peluang untuk meningkatkan kualitas hidupnya secara berkelanjutan.

Mereka hidup dalam ilusi kesejahteraan, namun di baliknya tersembunyi beban pengeluaran tinggi, ketidakpastian pekerjaan, hingga tekanan sosial yang menggerus daya tahan mental.

Refleksi ini membawa kita pada kesimpulan bahwa transformasi menuju negara maju tidak akan pernah terwujud jika kelas menengahnya dibiarkan rapuh, tanpa perlindungan, dan tanpa ruang untuk tumbuh.

Maka, satu-satunya jalan yang realistis dan bermartabat adalah melalui kehadiran negara yang adil, aktif, dan inklusif dalam menyelamatkan serta memperkuat kelompok ini.

Negara harus membangun kembali kontrak sosial antara pemerintah dan warga muda kelas menengah—dengan cara menyediakan kebijakan yang berpihak pada pemerataan akses ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja yang bermakna.

Sebab tanpa kelas menengah yang sehat, stabil, dan optimis, maka impian Indonesia Emas 2045 akan tinggal menjadi slogan kosong yang kehilangan pijakan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi