Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trump Ingin Indonesia Bangun Pabrik di AS, Ekonom: Jangan Semua Kemauan Dituruti

Baca di App
Lihat Foto
WIKIMEDIA COMMONS/PRESIDENT DONALD J. TRUMP
Presiden AS Donald Trump.
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump resmi menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk Indonesia yang berlaku mulai 1 Agustus 2025.

Namun, Trump menyatakan, tarif impor tersebut bisa turun, bahkan dihapus apabila pemerintah atau perusahaan Indonesia bersedia berinvestasi langsung di AS dengan membangun pabrik.

“Seperti yang Anda ketahui, tidak akan ada tarif jika Indonesia, atau perusahaan-perusahaan di negara Anda, memutuskan untuk membangun atau memproduksi produk di AS,” tulis Trump dalam suratnya kepada Presiden Prabowo Subianto yang diunggah di Truth Social, Selasa (7/7/2025).

Trump juga menjanjikan, proses perizinan investasi akan dipercepat dan dapat disetujui hanya dalam beberapa minggu.

Lantas, bagaimana tanggapan ekonom terkait hal tersebut?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Dampak Trump Tetapkan Tarif Impor 32 Persen bagi Indonesia Menurut Ekonom


Tak semua kemauan Trump harus dituruti

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, pemerintah sedang dalam pilihan sulit antara tetap melakukan impor atau mengikuti keinginan Trump untuk berinvestasi manufaktur dengan membangun pabrik di AS.

Namun, ia mengingatkan, berinvestasi atau membangun pabrik di AS belum tentu akan membuat Indonesia terbebas dari tarif balasan atau resiprokal.

Sebab, sejak awal tujuan utama Trump adalah menyeimbangkan neraca perdagangan AS, bukan semata-mata mendorong investasi asing.

"Karena dari awal kan sebenarnya Trump ingin agar neraca perdagangannya lebih balance. Nah, sekarang kok diarahkan ke investasi, jadi jangan semua kemauan Trump harusnya dituruti juga," kata Bhima saat dihubungi Kompas.com, Rabu (9/7/2025).

Dia menjelaskan, pemerintah Indonesia sebenarnya sudah memiliki komitmen senilai sekitar Rp 250 triliun untuk mengimpor energi dari AS.

Namun, AS tetap memberikan tarif resiprokal sebesar 32 persen.

Baca juga: Perjalanan Trump Beri Tarif 32 Persen untuk RI, Berlaku 1 Agustus 2025

Karenanya, pemerintah perlu mencermati ajakan Trump dengan hati-hati lantaran bisa berdampak besar pada biaya dan neraca perdagangan Indonesia.

"Kita sudah berapa tuh ya? Sudah Rp 250-an triliun komitmen untuk melakukan importasi energi kan dari Amerika. Itu masih dikenakan tarif resiprokal 32 persen. Nah, jadi ini harus hati-hati gitu," ujarnya.

"Jangan semua keinginan Trump termasuk untuk investasi di sana dituruti semua," tambahnya.

Bhima menilai, kebijakan seperti itu justru bisa lebih merugikan Indonesia. Apalagi, kondisi dalam negeri saat ini sedang menghadapi masalah deindustrialisasi yang terjadi terlalu cepat dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).

Menurutnya, kondisi ini seharusnya diatasi dengan membangun lebih banyak pabrik, serta menambah investasi pada industri yang sudah ada di dalam negeri.

Baca juga: 14 Negara Dikenai Tarif Impor Baru oleh Trump termasuk Indonesia, Mana yang Tertinggi?

Bertentang dengan semangat industrialisasi Indonesia

Dia menjelaskan, pemerintah perlu lebih berhati-hati dalam menuruti keinginan investasi dari AS, khususnya dalam sektor manufaktur.

"Jadi, permasalahannya itu kalau importasi, ini kan dalam kendali pemerintah. Misalnya impor BBM, impor LNG, itu ada kaitannya dengan kendali pemerintah melalui APBN," jelas dia.

"Jadi pemerintah bisa melakukan penugasan kepada Pertamina, misalnya. Tapi kalau bangun pabrik, ini sudah murni business to business dan tentunya ini agak bertentangan juga sebenarnya dengan semangat untuk mendorong industrialisasi di Indonesia," sambungnya.

Menurutnya, saat ini Indonesia lebih membutuhkan sektor padat karya atau sektor yang menyerap banyak tenaga kerja.

Selain itu, Indonesia juga memerlukan investasi di bidang industri pengolahan agar bisa meningkatkan nilai tambah dan membuka lebih banyak lapangan kerja di dalam negeri.

"Kalau swastanya disuruh investasi industri manufaktur ke AS, sudah mahal, biaya operasionalnya, biaya investasinya mahal, kemudian juga regulasinya juga ketat," tuturnya.

"Selain itu, dampak berganda yang diciptakan kepada ekonomi Indonesia juga jadi terbatas," tambahnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi