KOMPAS.com - Riska Martya (25), warga Sragen, Jawa Tengah, mengeluhkan kondisi ekonomi yang terasa semakin berat dan menyulitkan.
Dibanding 2024, dia menganggap tahun ini menjadi tantangan tersendiri.
"Pendapatan tetap, tapi kebutuhan sehari-hari makin mahal," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/7/2025).
Apalagi, dia mengaku tidak memiliki penghasilan tambahan selain gaji bulanan.
Dalam beberapa bulan terakhir, pendapatan yang tetap terasa semakin tak mencukupi karena adanya pengeluaran tak terduga.
Menurutnya, kenaikan harga paling terasa terjadi pada bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan gas. Bahkan harga sayur pun kini tidak stabil.
Perempuan yang berprofesi sebagai pekerja swasta ini mengaku harus benar-benar mengatur keuangan agar cukup hingga gajian berikutnya.
Baca juga: Tolak Ditekan Tarif Trump, Indonesia Lanjutkan Diskusi dengan AS
Kondisi serupa juga dialami oleh Ahmad Zaki (34), wiraswasta asal Pekalongan, Jawa Tengah.
Menurutnya, penurunan penjualan tahun ini lebih terasa dibanding tahun-tahun sebelumnya.
"Aku dagangan online maupun offline penjualan menurun," kata Zaki saat dihubungi secara terpisah, Kamis.
"Tiap habis lebaran memang biasanya sepi orderan sebentar, tapi belum pernah separah tahun ini. Tahun ini bener-bener sepi dan berlarut-larut sampai lama," sambungnya.
Sayangnya, baik Riska maupun Zaki, keduanya tak pernah menerima bantuan atau stimulus dari pemerintah.
Baca juga: Trump Ingin Indonesia Bangun Pabrik di AS, Ekonom: Jangan Semua Kemauan Dituruti
Krisis ekonomi sama dengan saat pandemi?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, situasi ekonomi Indonesia saat ini memang cenderung memburuk.
Namun, menurut dia, kondisi ini berbeda dengan krisis akibat pandemi Covid-19.
Dia menjelaskan, saat pandemi Covid-19 merebak, terjadi guncangan (shock) ekonomi yang mendadak karena mobilitas masyarakat dan aktivitas ekonomi terhambat oleh pembatasan sosial.
Meski demikian, setelah pembatasan dicabut, perekonomian perlahan pulih karena ada momentum pemulihan (rebound).
"Yang membedakan, saat Covid-19 itu terjadi shock. Artinya, terjadi krisis di mana aktivitas ekonomi, mobilitas masyarakat itu terganggu atau terhambat. Tapi kemudian diharapkan setelah Covid-19 kan ada recovery," tambahnya.
Sementara, resesi teknikal yang terjadi pada 2025 memiliki karakteristik yang berbeda, ketika likuiditasnya lesu di masyarakat.
Baca juga: 3 Permintaan AS agar Tarif Impor Indonesia Dihapus, Apa Saja?
Menurutnya, perlambatan ekonomi tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan secara bertahap dan terus-menerus.
Karena perputaran uang di masyarakat melemah, likuiditas menurun, dan konsumsi rumah tangga melambat, resesi teknikal pun tak bisa dihindarkan.
"Jadi perputaran ekonomi di masyarakat itu pelan, pelan, pelan, pelan, semakin melambat, semakin melambat. Makanya tipikalnya bukan krisis, tapi resesi teknikal," jelas dia.
Bhima meuturkan, risiko dari resesi teknikal ini justru lebih besar karena proses pemulihannya diperkirakan akan jauh lebih lama dibanding masa pandemi.
Untuk memulihkan pertumbuhan konsumsi masyarakat, butuh penciptaan lapangan kerja baru, pemulihan sektor industri manufaktur, serta perbaikan kondisi eksternal seperti meredanya perang dagang global.
Sayangnya, kompleksitas tantangan saat ini bahkan lebih besar dibanding saat Covid-19.
"Jadi ketidakpastian sekarang ini lebih kompleks daripada Covid-19," ujarnya.
Baca juga: Daya Saing Indonesia Turun ke Peringkat 40, Ekonom Ungkap Penyebabnya
Perlu stimulus ekonomi yang lebih besar
Bhima mengatakan, dalam situasi seperti ini, pemerintah perlu mengeluarkan stimulus ekonomi yang lebih besar daripada saat pandemi Covid-19.
Jika tidak, dampak sosial ekonomi seperti pemutusan hubungan kerja (PHK) dan peningkatan pengangguran bisa menjadi lebih parah.
Pasalnya, perlambatan ekonomi saat ini bersifat berkelanjutan, tidak seperti masa pandemi yang bersifat sementara.
Namun, dia menilai bahwa pemerintah justru melakukan efisiensi anggaran.
Padahal, saat pandemi dulu, pemerintah menggelontorkan berbagai bantuan sosial dan anggaran perlindungan kesehatan dalam jumlah besar untuk menopang masyarakat.
Baca juga: 10 Negara Paling Kuat di Dunia Juli 2025, AS dan China Bersaing
Menurutnya, kebijakan efisiensi anggaran di tengah resesi justru memperburuk kondisi ekonomi.
"Nah, yang sekarang terjadi, ini pemerintah ikut-ikutan melakukan efisiensi anggaran, jadi memperburuk situasi ekonomi. Maka obatnya dimulai dulu dari pemerintah," ucap Bhima.
Dia menjelaskan, pemerintah seharusnya menerapkan kebijakan counter-cyclical, yaitu meningkatkan belanja negara untuk mendorong pemulihan ekonomi.
Selain itu, realisasi belanja juga harus dipercepat dan penerbitan utang negara dikendalikan agar tidak menyedot likuiditas dari sektor swasta.
Bhima berpendapat, jika pemerintah ikut menahan belanja, resesi ini bisa semakin dalam dan berkepanjangan.
Baca juga: Dampak Trump Tetapkan Tarif Impor 32 Persen bagi Indonesia Menurut Ekonom
Hasil survei CEO, ekonomi Indonesia makin lesu
Sebuah survei yang dilakukan oleh media Kontan mengungkapkan, Indeks Keyakinan CEO Indonesia atau Indonesia CEO Confidence Index (ICCI) pada kuartal III (Juli, Agustus, September) turun dalam lima kuartal berturut-turut sejak kuartal ketiga tahun lalu.
Optimisme puluhan chief executive officer (CEO) korporasi di Indonesia bahkan kembali menyusut.
Dalam survei ketiga 2025, ICCI kuartal III-2025 berada di level 3,01, posisi terburuk sejak pandemi Covid-19.
Sebagai informasi, survei ini dilakukan kepada puluhan CEO dari berbagai sektor industri selama Juni 2025.
Hasil survei menunjukkan sikap CEO masih optimis, tetapi keyakinan para petinggi perusahaan mulai menyusut.
Hal ini disebabkan oleh perang dagang sejak April 2025 dan konflik Iran-Israel yang menyebabkan tensi geopolitik Timur Tengah yang makin panas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.