Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah Indonesia Turuti 3 Permintaan Trump agar Tarif Impor Diturunkan?

Baca di App
Lihat Foto
WIKIMEDIA COMMONS/THE WHITE HOUSE
Presiden AS Donald Trump akan mengenakan tarif impor 32 persen untuk Indonesia.
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyatakan bahwa tarif impor 32 persen bisa dihapuskan atau dikurangi asal Indonesia mau memenuhi beberapa permintaannya.

Dilansir dari Kompas.com, Kamis (10/7/2025), permintaan pertama Trump adalah pembangunan pabrik oleh perusahaan Indonesia di Amerika.

Kedua, ia juga mendesak negara untuk membuka akses pasar domestik untuk produk-produk asal AS secara lebih luas.

Terakhir, Trump juga meminta secara khusus agar Indonesia menghapus berbagai hambatan dagang, baik tarif maupun nontarif.

Lantas, bisakah Indonesia menuruti ketiga permintaan Trump agar tarif impor 32 persen dihapus?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Trump Rencanakan Tarif Impor 50 Persen, Brasil Ancam Kenakan Tarif yang Sama untuk AS

Jawaban ahli ekonomi

Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menjelaskan, bahwa permasalahan dari permintaan Trump adalah impor berada dalam kendali pemerintah.

Sementara itu, pembangunan pabrik oleh swasta di AS adalah murni bisnis.

"Kalau importasi kan ada dalam kendali pemerintah, misalnya impor BBM dan LNG, ada kaitannya dengan pemerintah melalui APBN. Tapi kalau bangun pabrik, ini sudah murni bisnis," terang Bhima saat dihubungi Kompas.com, Jumat (11/7/2025).

Dia pun menilai bahwa bisnis tersebut agak bertentangan dengan semangat untuk mendorong industrialisasi di Indonesia.

Sebab, negara ini lebih membutuhkan sektor padat karya dan investasi industri pengolahan.

Selain itu, ia menjelaskan, investasi bisnis manufaktur di AS memakan biaya operasional dan investasi yang besar serta juga regulasi yang ketat.

Tidak hanya itu, dampak berganda yang diciptakan pada ekonomi Indonesia juga menjadi terbatas.

"Nah, jadi memang pilihannya sulit ya antara impor dan belum tentu juga dengan menuruti keinginan Trump yaitu melakukan investasi manufaktur di Amerika, membuat Indonesia bebas dari tarif resiprokal," tutur dia.

Bhima mengatakan, awalnya Trump bertujuan untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Namun, pada akhirnya, dia malah mengarahkan ke investasi.

"Jadi harus hati-hati. Itu akan lebih banyak merugikan kepentingan Indonesia yang sekarang ini mengalami deindustrialisasi prematur dan lonjakan PHK," tegas dia.

Baca juga: Cara Singapura Hadapi Ketidakpastian Tarif Trump: Pemerintah Beri Stimulus ke Perusahaan

Pemerintah harus berhati-hati

Senada, ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin berpendapat, bahwa pemerintah harus berhati-hati mengingat Indonesia sendiri sedang sangat membutuhkan investasi.

Selain itu, dia berpendapat bahwa mencari sektor kompetitif dan layak untuk investasi di AS tidaklah mudah.

"Sulit mencari investor kita yang bersedia untuk berinvestasi di sana. Cost struktur di AS sangat tinggi, hanya sektor hi-tech saja yang saat ini masih menjanjikan, dan ini bukan expertise investor kita," jelas WIjayanto kepada Kompas.com, Jumat (11/7/2025).

Sementara itu, mengenai pembukaan akses pasar untuk produk AS, Wijayanto menilai bahwa hal tersebut wajar dilakukan.

Dengan catatan bahwa hal itu tidak boleh sampai mengganggu produsen dalam negeri, misalnya terkait produk-produk pertanian dan pangan.

Adapun mengenai penghapusan hambatan tarif dan nontarif, Wijayanto berpendapat bahwa hambatan merupakan masalah yang dialami semua pelaku usaha dan investor.

Karena itu, hambatan dagang tidak dialami oleh AS saja.

"Dengan atau tanpa permintaan AS, Indonesia wajib memperbaiki iklim usaha dan iklim investasi di Indonesia. Dua faktor inilah yang menebalkan daya saing ekonomi kita," imbuh dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi