Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Investasi Meningkat tapi Serapan Tenaga Kerja Rendah, Ekonom Beri Penjelasan

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi kondisi ekonomi. Nilai investasi di Indonesia meningkat tetapi serapan tenaga kerja rendah
|
Editor: Ahmad Naufal Dzulfaroh

KOMPAS.com - Di tengah kabar positif tentang pertumbuhan investasi di Indonesia yang mencapai peningkatan 15 persen pada kuartal pertama 2025, muncul kegelisahan soal dampaknya terhadap penciptaan lapangan kerja. 

Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PKB, Zainul Munasichin, menyoroti ketimpangan mencolok antara tingginya angka investasi dan rendahnya serapan tenaga kerja. 

Sebab, dari total Rp 486 triliun investasi yang masuk, hanya sekitar 600 ribu tenaga kerja yang terserap. 

"Artinya, dibutuhkan sekitar Rp 700 juta investasi untuk merekrut satu tenaga kerja. Ini angka yang sangat mahal," kata Zainul di Kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat (11/7/2025).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lantas, mengapa peningkatan investasi di Indonesia tak diimbangi penciptaan lapangan kerja?

Baca juga: Jeritan Warga di Tengah Situasi Ekonomi Negara yang Lesu...

Penjelasan ekonom

Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Eddy Junarsin menilai, rendahnya serapan tenaga kerja di tengah peningkatan investasi bukanlah fenomena yang terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di berbagai negara lain.

“Misalnya, tingkat pengangguran di Indonesia saat ini 4,76 persen, sedangkan di Amerika Serikat 4,1 persen. Jadi sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (14/7/2025).

Menurutnya, penyebab utama minimnya perekrutan tenaga kerja adalah ketidakpastian global dan domestik. 

Baca juga: Anak Muda, Jebakan Ekonomi, dan Survival Mode

Ia menyebutkan, kondisi dunia saat ini berada dalam situasi VUCA (volatile, uncertain, complex, and ambiguous) penuh gejolak, ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas di berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, teknologi, lingkungan, dan hukum. 

Dalam situasi seperti itu, wajar apabila perusahaan enggan menambah jumlah karyawan. 

“Bahkan tenaga kerja yang sudah ada pun banyak yang akhirnya harus dikurangi karena situasi yang tidak menentu,” jelas dia.

Dengan kata lain, meningkatnya investasi belum tentu langsung diikuti peningkatan lapangan kerja, karena dipengaruhi oleh stabilitas dan prospek jangka panjang.

Baca juga: Ratusan Ribu Buruh Mogok Kerja di India, Tolak Reformasi Ekonomi Pemerintah

Ketidakcocokan antara tenaga kerja dengan dunia usaha

Senada, ekonom Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Wahyu Widodo mengatakan, tingginya investasi memang belum sepenuhnya mampu menekan angka pengangguran. 

Menurutnya, persoalan ini perlu dilihat secara cermat dan berbasis data.

"Ini isu yang kompleks, jika melihat data BPS per Februari 2025, tingkat pengangguran Indonesia berada di angka 4,76 persen atau sekitar 7,28 juta orang," kata Wahyu saat dihubungi secara terpisah, Senin (14/7/2025).

"Angka ini memang membaik dibandingkan Februari 2024, tapi persoalan ketenagakerjaan kita masih belum selesai," sambungnya.

Di sisi lain, data dari BKPM menunjukkan bahwa realisasi investasi pada triwulan I 2025 tumbuh 15,9 persen (year-on-year) dan mencapai Rp 465,2 triliun. 

Baca juga: Resmi, KA Pangrango Pakai Rangkaian Ekonomi New Generation mulai Juli 2025

Dari jumlah tersebut, sektor usaha mampu menyerap sekitar 594 ribu tenaga kerja, naik 8,5 persen dibandingkan tahun lalu.

"Secara statistik, ini tentu kabar baik. Namun, tetap harus disadari bahwa ada masalah struktural di sektor ketenagakerjaan kita," tegasnya.

Salah satu tantangan utamanya adalah mismatch atau ketidakcocokan antara keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan dunia usaha dan industri (DUDI). 

"Tidak semua tenaga kerja yang terserap adalah pengangguran, sebagian besar justru merupakan tenaga terampil yang pindah dari pekerjaan lain. Ini berarti pengangguran yang sesungguhnya belum banyak tersentuh," paparnya.

Baca juga: Survei Kontan Sebut Ekonomi Indonesia Makin Lesu, Apa Dampaknya bagi Masyarakat?

Pendidikan belum menjawab kebutuhan dunia usaha

Wahyu juga menyoroti bahwa lulusan SMK dan kelompok usia 15–24 tahun masih menjadi penyumbang tertinggi angka pengangguran, sebuah masalah yang terus berulang dari tahun ke tahun.

Idealnya, kebutuhan tenaga kerja harus dijawab oleh dunia pendidikan dan bahkan masuk dalam perencanaan strategis pemerintah.

Selain itu, tak semua investasi yang masuk bersifat padat karya. 

"Sebagian besar adalah padat modal dan teknologi. Artinya, penyerapan tenaga kerjanya lebih terbatas," katanya.

Namun, Wahyu menegaskan bahwa kuncinya tetap pada pemetaan kebutuhan dunia usaha dan penyesuaian kurikulum pendidikan. 

"Selama tidak ada sinergi antara DUDI dan dunia pendidikan, masalah mismatch akan terus berulang," tutupnya.

Baca juga: Anak Muda, Jebakan Ekonomi, dan Survival Mode

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi