KOMPAS.com - Beberapa waktu terakhir, Warga Negara Indonesia (WNI) di Jepang tengah menjadi sorotan.
Beberapa peristiwa yang memicu adalah aksi komunitas pencak silat, kebakaran asrama di Prefektur Shiga karena kelalaian WNI, dan beberapa peristiwa lain.
Pemerintah Jepang pun menyoroti warga negara asing yang kerap menimbulkan masalah, tak terkecuali yang dilakukan oleh oknum WNI.
Hal ini lantaran kedisiplinan dan keteraturan memang menjadi nilai inti dalam kehidupan masyarakat Jepang.
Kedisiplinan masyarakat Jepang sering menjadi poin adaptasi yang paling sulit bagi warga asing, termasuk diaspora Indonesia.
Hal itulah yang juga dirasakan oleh Muhammad Solahudin Al Faqih, yang kini menjadi mahasiswa semester empat di KIBI International University di Prefektur Okayama.
Baca juga: Kisah Jonouchi, Pria Asal Jepang dengan Dagu Terpanjang di Dunia
Perjalanan awalnya di Jepang dimulai pada tahun 2018 sebagai peserta program magang (kenshusei) di Prefektur Miyazaki, wilayah yang dikenal sebagai salah satu tujuan penempatan pekerja Indonesia.
Setelah menyelesaikan masa magangnya pada 2021 dan kembali ke Indonesia, Faqih memutuskan kembali ke Jepang melalui program ryugakusei bekka, jalur studi bahasa Jepang yang kemudian mengantarkannya masuk ke KIBI International University.
Seperti mayoritas diaspora WNI di Jepang, ia datang sebagai pemagang, yaitu bagian dari gelombang besar pekerja migran asal Indonesia yang ikut program magang teknis (kenshusei) atau pekerja dengan keahlian khusus (skill worker).
Baca juga: Misteri Okiku, Boneka Jepang yang Rambutnya Disebut Terus Tumbuh dan Memanjang
Jepang menjunjung tinggi disiplin, kejujuran, dan kebersihan
Sebagai pemagang, Faqih merasakan langsung culture shock, ketidaknyamanan psikologis yang dialami seseorang saat menghadapi budaya baru yang berbeda dari budaya asalnya.
Dalam satu hingga dua bulan pertama, Faqih dan rekan-rekannya dibekali pengetahuan seputar aturan kerja, norma sosial, hingga budaya atau yang disebut manner Jepang yang sangat berbeda dari kebiasaan di Indonesia.
“Jepang menjunjung tinggi etika, terutama soal ketepatan waktu, kejujuran, dan kebersihan. Ini sangat terasa dari hari pertama,” kenangnya, saat dimintai keterangan Kompas.com, Senin (21/7/2025).
Baca juga: Jepang Bentuk Badan Administratif Khusus untuk Kontrol Perilaku Warga Asing
Seperti dalam kasus kebakaran di asrama pekerja magang di Prefektur Shiga, seorang pemagang baru dalam kondisi mabuk, lupa mematikan kompor pada malam hari sehingga menyebabkan kebakaran hebat.
Padahal, aturan di asrama sangat ketat, tidak boleh ada aktivitas di luar kamar setelah pukul 10 malam.
“Aturan itu tidak hanya soal keamanan, tapi juga bentuk penghormatan terhadap ruang bersama,” ujar mahasiswa jurusan Manajemen Sosial dan Bisnis itu.
Kejadian ini menjadi peringatan bagi seluruh komunitas diaspora Indonesia di Jepang, bahwa satu kelalaian bisa berdampak pada citra bersama.
Terlebih lagi, insiden seperti ini kerap menimbulkan sentimen diskriminatif terhadap warga asing.
Baca juga: Jepang Uji Internet Tercepat 3,2-5 Juta Kali dari Indonesia, Akankah Digunakan secara Global?
Aksi WNI bisa berdampak pada proses seleksi masuk Jepang
Selain isu kedisiplinan, polemik juga sempat mencuat seputar komunitas pencak silat yang viral di media sosial.
Beberapa kegiatan di ruang publik seperti taman atau trotoar menimbulkan respons negatif, meskipun aktivitas tersebut sudah mendapat izin resmi dari KBRI.
“Yang disorot sebenarnya bukan pencak silatnya, tapi lokasi dan cara mereka tampil yang dianggap mengganggu oleh warga Jepang,” jelas Faqih.
Sayangnya, reaksi keras justru lebih banyak datang dari sesama warga Indonesia di media sosial, yang kemudian memperkeruh situasi.
Menurut Faqih, hal ini berdampak pada proses seleksi masuk Jepang bagi calon diaspora, di mana beberapa lembaga pelatihan kerja (LPK) mulai mempertimbangkan latar belakang organisasi sebagai syarat tambahan.
Baca juga: Ramai soal Indonesia Bakal Di-blacklist oleh Jepang, Ini Tanggapan Kemenlu dan KBRI
Ada 132 komunitas Indonesia di Jepang
Berbeda dengan saat menjadi pemagang yang cenderung individual dan terbatas interaksinya, kini Faqih aktif dalam komunitas, termasuk bergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia Okayama (PPIO) dan Keluarga Muslim Indonesia Okayama.
“Di Okayama saja ada lebih dari 2.000 diaspora, jadi peran komunitas sangat besar untuk saling menjaga dan membangun citra baik,” ujarnya.
Di Jepang, kata dia, saat ini terdapat sebanyak 132 komunitas masyarakat Indonesia yang telah diakui secara resmi dan memperoleh izin atau pengesahan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Tokyo.
Menurut Faqih, keberadaan komunitas harus diarahkan ke kegiatan kolaboratif yang memberi dampak positif, bukan hanya untuk internal anggota, tetapi juga bagi masyarakat lokal.
“Kami sedang menyusun program-program ke depan, seperti kerja bakti, bersih sungai, atau bakti sosial lintas komunitas,” katanya.
Ia menegaskan bahwa pembentukan citra diaspora bukan hanya soal regulasi atau sorotan media, tapi juga soal kesadaran kolektif untuk menjaga harmoni dalam keberagaman budaya.
Dalam konteks politik dan sosial saat ini, Faqih mengingatkan agar warga Indonesia di Jepang tidak terprovokasi oleh narasi yang bersumber dari media sosial.
“KBRI sendiri sudah mengimbau agar tidak terpancing oleh informasi yang menyudutkan. Kita harus tanggapi dengan bijak dan fokus pada perbaikan citra lewat aksi nyata,” pungkasnya.
Baca juga: Deretan Kasus WNI di Jepang yang Jadi Sorotan, dari Perampokan hingga Aksi Perguruan Silat
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.