KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mengatakan bahwa Ujian Nasional (UN) resmi digantikan oleh Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang akan mulai dilaksanakan pada November 2025, khususnya untuk jenjang SMA/sederajat.
Dikutip dari Kompas.com, Selasa (22/7/2025), Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikdasmen, Laksmi Dewi mengatakan, bahwa TKA merupakan bagian dari kebijakan baru sebagai pengganti UN.
“Sebenarnya ujian nasional sudah tidak ada, yang ada ialah Tes Kemampuan Akademik yang akan dilaksanakan di bulan November itu,” ujar Laksmi, Jumat (18/7/2025).
Ia juga menambahkan bahwa Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 telah diterbitkan untuk mengatur pelaksanaan dan mata pelajaran yang diujikan dalam TKA.
Baca juga: Pemerintah Ganti Ujian Nasional Jadi Tes Kemampuan Akademik, Dimulai Kapan?
Staf Ahli Regulasi dan Hubungan Antarlembaga Kemendikdasmen, Biyanto menuturkan bahwa perubahan nama dari “ujian” menjadi “tes” dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang lebih ramah bagi siswa.
“Yang pertama, tidak ada istilah ujian. Karena ujian itu kan agak traumatik, ada risiko lulus atau tidak lulus. Kami gunakan istilah Tes Kompetensi (Kemampuan) Akademik yang lebih ramah,” jelasnya, dikutip dari Kompas.com, Rabu (22/1/2025).
TKA juga dirancang untuk mengukur kompetensi akademik siswa, dan diharapkan dapat terintegrasi dengan sistem penerimaan mahasiswa baru di perguruan tinggi.
Saat ini, Kemendikdasmen masih menjalin koordinasi dengan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) mengenai teknis integrasi tersebut.
Baca juga: H-2 UTBK SNBT, Berikut Aturan Ujian yang Wajib Diketahui Peserta
Tidak ada dampak dari pergantian istilah
Pengamat pendidikan, Ina Liem, mengatakan bahwa pergantian UN menjadi TKA sebetulnya hanya terletak pada istilah, dan bukan pada esensi dari ujian itu sendiri.
“Sebetulnya kalau kita mau jujur, yang diganti hanya istilahnya, bukan esensinya,” kata Ina ketika dihubungi Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Ia melanjutkan bahwa penghindaran kata “ujian” karena traumatik dinilai tidak efektif dan tidak berdampak apa-apa.
“Kalau dibilang untuk menghindari kata “ujian” karena traumatik, toh istilah materi yang diujikan tetap digunakan dalam TKA. Jadi, tujuan mengganti istilah pun tidak efektif. Tidak ada dampaknya,” lanjutnya.
Baca juga: Resmi! Ujian Nasional Diganti Tes Kemampuan Akademik Mulai 2025, Ini Alasannya
Berpotensi merugikan siswa
Mengenai untung dan rugi digantinya UN dengan istilah baru, Ina mempertanyakan kebijakan tersebut sebetulnya untuk mengatasi masalah apa dan untuk siapa.
Ina menyebut bahwa dikembalikannya UN dengan istilah baru, tentu menguntungkan bagi lembaga bimbel.
Kemudian bagi guru yang kesulitan dengan asesmen holistik, hal ini juga dinilai menguntungkan.
Namun, bagi negara dan siswa-siswi yang terdampak, hal tersebut justru akan merugikan.
“Untuk negara? Merugikan, karena terjadi pemborosan anggaran padahal sudah ada Asesmen Nasional untuk pemetaan. Untuk siswa? Ini seharusnya yang paling penting, justru merugikan,” kata Ina.
Ia mengatakan bahwa para siswa waktunya akan habis untuk persiapan ujian, dan bukan pembelajaran yang bermakna serta eksplorasi minat.
Baca juga: H-2 UTBK SNBT, Berikut Aturan Ujian yang Wajib Diketahui Peserta
Indonesia mungkin tidak mendapat SDM pada unggul 2045
Ina menyinggung semangat awal penghapusan Ujian Nasional yang dulunya untuk mendorong penilaian menyeluruh, seperti portofolio, proyek, atau asesmen formatif. Tapi yang terjadi saat ini justru malah mundur ke paradigma lama.
“Jika kembali ke sistem tes nasional serentak, hanya dengan nama baru, itu artinya kita mundur ke paradigma lama,” kata Ina.
Ia menyebutkan, kerugian negara yang mungkin saja terjadi, yakni Indonesia tidak akan mendapatkan SDM unggul yang diharapkan tahun 2045.
“Hal ini dikarenakan kecakapan yang dipersiapkan tidak sejalan dengan tren masyarakat 5.0,” tegas Ina.
Selain itu, dampak dari terlalu seringnya berganti sistem, dapat menimbulkan ketidakpastian di lingkungan sekolah, terutama jika tanpa adanya evaluasi dari kebijakan sebelumnya.
Selain itu, Ina menambahkan bahwa pelaku di lapangan akan menjadi skeptis karena merasa perubahan hanya bersifat administratif, bukan substantif.
Guru jadi bingung harus menyiapkan murid sesuai sistem yang mana. Murid bingung harus fokus pada capaian jangka panjang atau pada strategi lolos ujian semata.
“Yang lebih berbahaya, bisa saja muncul persepsi bahwa pendidikan hanya soal taat aturan, dan fokus sekolah hanya agar siswa lulus 100 persen,” pungkas Ina.
Ina mengatakan bahwa kebijakan dari pemerintah, walau memang harus dinamis, tetap tidak bisa mengandalkan satu sistem saja.
“Justru kebijakan harus bersifat dinamis, mengingat keberagaman kondisi di Indonesia. Makanya prinsip merdeka belajar itu sudah benar, tidak one size fits all," pungkas Ina.
Baca juga: H-5 Ujian, Berikut Link Cek Lokasi UTBK-SNBT 2025
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.