PADA masa tidak ada tugas yang harus saya lakukan alias menganggur, saya gemar bermain telaah bingungologi dengan diri saya sendiri.
Misal, saya membingungkan otak saya sendiri dalam bidang ekuasi alias rumusan aritmatikal yang sudah disepakati sebagai aksioma alias sudah disepakati sebagai yang benar tanpa perlu repot dibuktikan kebenarannya.
Wajar bahwa ibu guru SD saya marah ketika saya nekad kurang ajar bertanya kenapa 1+1=2 bukan tiga atau empat atau selanjutnya. Kenapa harus dua?
Satu di antara ekuasi yang membingungkan otak dangkal saya adalah rumusan aritmatika yang menegaskan bahwa satu dikali satu hasilnya sama dengan satu.
Apabila konsekuen diterjemahkan ke dalam bahasa aljabar menjadi a x a = a atau bisa juga b x b = b dst, sampai seluruh abjad aksara Latin habis digunakan sehingga terpaksa berhenti pada z x z = z.
Ternyata rumusan aljabaraika tidak sama dengan kenyataan analog dengan paradoks tidak sama dengan kenyataan, semisal, paradoks Zeno tentang Achilles dan kura-kura.
Memang satu dikali satu sama dengan satu. Namun, dua dikali dua hasilnya bukan dua, tetapi empat. Selanjutnya tiga dikali tiga hasilnya bukan tiga, tetapi sembilan serta empat dikali empat hasilnya bukan empat, tapi enam belas.
Juga membingungkan bahwa jarak antara setiap hasil pengalian yang seharusnya cuma tetap ternyata dari langkah ke langkah selalu makin membesar dari tiga menjadi lima kemudian tujuh lalu sembilan lalu sebelas lalu tiga belas lalu sayang disayang 64 - 49 = bukan 17, tetapi 15.
Angka prima baru kembali muncul pada saat 9 x 9 = 81 dikurangi 8 x 8 = 64 sama dengan abrakadabra 17.
Terus terang ketidak-teraturan jarak hasil pengalian dua angka yang sama dikurangi hasil pengalian dua angka yang sama tetapi lain tersebut membingungkan otak saya yang sudah terlanjur didresur untuk percaya pada keberaturan alam semesta yang kemudian dipatahkan oleh teori ketidak-beraturan Wittgenstein plus teori ketidak-lengkapan Goedel maupun teori kenisbian Einstein serta teori kuantum Bohr maupun eksperimen pemikiran kucing Schroedinger meski atau justru karena tidak (terlalu) dipahami oleh Einstein.
Secara malumologis saya tidak malu mengakui bahwa saya gagal-paham inkonsistensi ekuasi aljabarika a x a = a yang ternyata tidak berlaku bagi b x b = b bahkan berlanjut sampai dengan z x z = z .
Namun, secara bingungologis saya menikmati keindahan yang terkandung di dalam kebingungan saya yang pada hakikatnya membenarkan fakta bahwa otak saya memang de facto tidak sempurna sebagai bukti bahwa saya adalah manusia yang mustahil sempurna maka mustahil saya mampu membuka semua tabir misteri yang menyelimuti alam semesta.
Sama halnya saya menikmati estetika bingungologis saya terhadap ekuasi minus dikali minus sama dengan plus yang akan saya bahas pada lain kesempatan. Dengan syarat, saya masih memperoleh kesempatan untuk membahasnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.