Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Estetika Bingungologi Ekuasi Aritmatikal

Baca di App
Lihat Foto
freepik.com
Ilustrasi matematika. Siswa SMK jurusan tata busana dari pedesaan China berhasil menempati rangking 12 dari 802 peserta dalam kompetisi matematika internasional.
Penulis: Jaya Suprana
|
Editor: Sandro Gatra

PADA masa tidak ada tugas yang harus saya lakukan alias menganggur, saya gemar bermain telaah bingungologi dengan diri saya sendiri.

Misal, saya membingungkan otak saya sendiri dalam bidang ekuasi alias rumusan aritmatikal yang sudah disepakati sebagai aksioma alias sudah disepakati sebagai yang benar tanpa perlu repot dibuktikan kebenarannya.

Wajar bahwa ibu guru SD saya marah ketika saya nekad kurang ajar bertanya kenapa 1+1=2 bukan tiga atau empat atau selanjutnya. Kenapa harus dua?

Satu di antara ekuasi yang membingungkan otak dangkal saya adalah rumusan aritmatika yang menegaskan bahwa satu dikali satu hasilnya sama dengan satu.

Apabila konsekuen diterjemahkan ke dalam bahasa aljabar menjadi a x a = a atau bisa juga b x b = b dst, sampai seluruh abjad aksara Latin habis digunakan sehingga terpaksa berhenti pada z x z = z.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ternyata rumusan aljabaraika tidak sama dengan kenyataan analog dengan paradoks tidak sama dengan kenyataan, semisal, paradoks Zeno tentang Achilles dan kura-kura.

Memang satu dikali satu sama dengan satu. Namun, dua dikali dua hasilnya bukan dua, tetapi empat. Selanjutnya tiga dikali tiga hasilnya bukan tiga, tetapi sembilan serta empat dikali empat hasilnya bukan empat, tapi enam belas.

Juga membingungkan bahwa jarak antara setiap hasil pengalian yang seharusnya cuma tetap ternyata dari langkah ke langkah selalu makin membesar dari tiga menjadi lima kemudian tujuh lalu sembilan lalu sebelas lalu tiga belas lalu sayang disayang 64 - 49 = bukan 17, tetapi 15.

Angka prima baru kembali muncul pada saat 9 x 9 = 81 dikurangi 8 x 8 = 64 sama dengan abrakadabra 17.

Terus terang ketidak-teraturan jarak hasil pengalian dua angka yang sama dikurangi hasil pengalian dua angka yang sama tetapi lain tersebut membingungkan otak saya yang sudah terlanjur didresur untuk percaya pada keberaturan alam semesta yang kemudian dipatahkan oleh teori ketidak-beraturan Wittgenstein plus teori ketidak-lengkapan Goedel maupun teori kenisbian Einstein serta teori kuantum Bohr maupun eksperimen pemikiran kucing Schroedinger meski atau justru karena tidak (terlalu) dipahami oleh Einstein.

Secara malumologis saya tidak malu mengakui bahwa saya gagal-paham inkonsistensi ekuasi aljabarika a x a = a yang ternyata tidak berlaku bagi b x b = b bahkan berlanjut sampai dengan z x z = z .

Namun, secara bingungologis saya menikmati keindahan yang terkandung di dalam kebingungan saya yang pada hakikatnya membenarkan fakta bahwa otak saya memang de facto tidak sempurna sebagai bukti bahwa saya adalah manusia yang mustahil sempurna maka mustahil saya mampu membuka semua tabir misteri yang menyelimuti alam semesta.

Sama halnya saya menikmati estetika bingungologis saya terhadap ekuasi minus dikali minus sama dengan plus yang akan saya bahas pada lain kesempatan. Dengan syarat, saya masih memperoleh kesempatan untuk membahasnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi