KOMPAS.com - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui pemberian abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.
Tom sebelumnya divonis 4 tahun dan 6 bulan penjara dalam kasus dugaan korupsi importasi gula.
Selain Tom, DPR juga menyetujui pemberian amnesti untuk 1.116 orang.
Salah satunya adalah Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang divonis 3 tahun 6 bulan penjara dalam kasus suap dan perintangan penyidikan perkara Harun Masiku.
Keputusan politik ini menuai beragam respons, termasuk dari kalangan pengamat komunikasi politik.
Baca juga: Apa Perbedaan Amnesti dan Abolisi yang Diberikan Prabowo untuk Hasto dan Tom Lembong?
Berikut penjelasannya:
Tanggapan pengamat komunikasi politik
Pengamat Komunikasi Politik sekaligus Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun mengatakan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto memang boleh dilakukan oleh Presiden Prabowo.
Namun, ia menyoroti mengenai kasus keduanya yang dipandang oleh pengadilan sebagai kasus pidana korupsi, bukan kasus pidana politik.
Menurutnya, hal itu mungkin dikaitkan dengan kedekatan Tom dan Hasto dengan tokoh politik penting, seperti Anies Baswedan dan Megawati.
Ia juga menyebut, kasus Tom dan Hasto ini proses hukumnya dimulai di masa akhir kekuasaan Joko Widodo (Jokowi).
"Kebetulan Tom Lembong dikenal kritis pada Jokowi dan dekat dengan Anies Baswedan, sedangkan Hasto Kristiyanto adalah Sekjen PDI-P yang dikenal dalam dua tahun terakhir ini sangat kritis pada Jokowi dan dekat dengan Megawati," ujar Ubedilah kepada Kompas.com, Jumat (1/8/2025).
Dari hubungan tersebut, Ubedilah menyampaikan, wajar jika publik menilai kedua kasus tersebut disebut-sebut sebagai kasus kriminalisasi.
Sebab, ada semacam politically motivated prosecution atau penuntutan bermotif politik.
"Jadi, sebetulnya proses peradilan yang terjadi sesungguhnya tidak jernih dan tidak murni hukum," kata Ubedilah.
Ia menuturkan, pemberian abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto dinilai membenarkan bahwa kasus tersebut kriminalisasi atau ada semacam politically motivated prosecution.
"Jadi, pemberian abolisi dan amnesti tersebut tidak sepenuhnya jernih dari seorang kepala negara, sebab di dalamnya berkelindan dengan motif politik," ucap Ubedilah.
"Mungkin itu pilihan subyektif Prabowo yang harus ambil keputusan dalam situasi politik dan hukum yang tidak normal," lanjut dia.
Baca juga: 6 Fakta Tentang Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Krsitiyanto
Proses pemberian abolisi dan amnesti
Lebih lanjut, Ubedilah menjelaskan urutan pemberian abolisi dan amnesti kepada seseorang yang terkena kasus pidana politik.
Ia menyampaikan, menurut konstitusi UUD 1945, amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden.
Artinya, presiden boleh memberikan abolisi maupun amnesti.
"Amnesti itu diberikan untuk menghapuskan hukuman pidana yang sudah dijatuhkan, sedangkan abolisi menghentikan kasus sebelum diputuskan pengadilan," kata Ubedilah.
Baik amnesti maupun abolisi adalah hak prerogatif presiden.
Keduanya termasuk kekuasaan khusus seorang kepala negara.
Ubedilah menambahkan, sebelum presiden memberikan keputusan abolisi dan amnesti, ia harus mendapatkan pertimbangan dan persetujuan terlebih dahulu dari DPR.
"Dalam UU Darurat No 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, presiden memberi amnesti dan abolisi setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan menteri kehakiman," jelas Ubedilah.
"Jadi, abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto adalah boleh dilakukan oleh Presiden Prabowo," sambungnya.
Baca juga: Pujian Mahfud MD untuk Prabowo yang Beri Abolisi ke Tom Lembong dan Amnesti ke Hasto
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.