Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengusaha Kafe dan Restoran Tercekik Biaya Royalti Musik, Ini Dampaknya

Baca di App
Lihat Foto
Dok. Istimewa
Ilustrasi memutar musik di ruang publik komersial.
|
Editor: Intan Maharani

KOMPAS.com - Para pengusaha kafe dan restoran Indonesia kini menghadapi situasi silut terkait royalti musik. 

Setelah terungkapnya kasus pelanggaran hak cipta musik oleh PT Mitra Bali Sukses (Mie Gacoan), pengusaha kafe dan restoran semakin merasakan dampak dari kewajiban pembayaran royalti musik yang tinggi.

Dalam aturan yang berlaku, pengusaha kafe dan restoran di Indonesia diwajibkan membayar royalti musik kepada pencipta lagu dan pemilik hak terkait. 

Berdasarkan SK Menteri Hukum dan HAM RI Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, tarif royalti ini dihitung berdasarkan jumlah kursi yang tersedia di restoran atau kafe. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Di Balik Konflik Royalti, AI Siap Mencuri

Setiap kursi dikenakan tarif Rp 60.000 per tahun untuk royalti pencipta dan Rp 60.000 untuk royalti hak terkait. 

Dengan demikian, restoran dengan banyak kursi harus membayar lebih banyak.

Sebagai contoh, Mie Gacoan Bali, yang memiliki lebih dari 10 outlet, diperkirakan harus membayar sekitar Rp 120.000 per kursi setiap tahun. 

Total biaya royalti musik yang harus dibayar oleh Mie Gacoan Bali diperkirakan mencapai miliaran rupiah. 

Dengan kewajiban pembayaran royalti yang besar, sejumlah restoran mulai mengganti pemutaran musik dengan suara alam. 

Lantas, bagaimana dampak yang dihadapi para pengusaha kafe dan restoran? Apa usulan terhadap pemerintah?

Harga makanan dan minuman kemungkinan naik

Dampak langsung dari tarif royalti ini adalah kemungkinan kenaikan harga makanan dan minuman di kafe dan restoran. 

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran memaparkan, jika tarif royalti menjadi biaya tetap, pengusaha restoran terpaksa menyesuaikan harga jual produk mereka. 

"Kalau dia menjadi fixed cost seperti sekarang, tentu kan menjadi cost tetap, restoran harus menyesuaikan harga makanan dan minumannya," terang dia, dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/7/2025). 

Baca juga: Belajar dari Kasus Gacoan, Apa Sanksi Pelaku Bisnis yang Tak Bayar Royalti Musik?

Namun, meskipun tarif royalti ini sudah menjadi beban tetap, kapasitas tempat usaha yang sering kali hanya terisi sebagian membuat pengusaha harus cermat dalam menghitung biaya yang dikeluarkan. 

Di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi, banyak restoran yang mengalami kesulitan mengatur tarif royalti sesuai dengan jumlah pengunjung.

Sebagai alternatif, beberapa pengusaha memilih untuk tidak memutar musik di tempat usaha mereka untuk menghindari kewajiban royalti musik. 

"Beberapa restoran memilih untuk memutar suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air untuk menghindari biaya royalti," kata Yusran.

PHRI minta pemerintah pertimbangkan ulang kebijakan royalti

Yusran menyatakan bahwa pemerintah seharusnya mengkaji ulang aturan mengenai tarif royalti musik yang dikenakan pada kafe dan restoran.

Menurutnya, skema pembayaran royalti musik yang didasarkan pada jumlah kursi dirasa memberatkan pengusaha kafe dan restoran, karena tidak semua kursi terisi penuh.

"Padahal belum tentu semua kursi di restoran terisi penuh, sementara target royalti musik ini adalah semua pengguna lagu. Cakupannya luas," jelas Yusran, dikutip dari Kompas.com, Rabu (30/7/2025).

PHRI berpendapat bahwa penghitungan tarif royalti musik sebaiknya tidak hanya berdasarkan jumlah kursi, tetapi mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti okupansi restoran dalam satu tahun.

Yusran menambahkan bahwa pemerintah perlu melihat ketimpangan antara aturan undang-undang dan implementasi yang ada di dunia usaha. Mengingat jumlah bisnis kafe dan restoran yang sangat banyak di Indonesia.

"Kita enggak bisa lihat dalam satu atau dua hari. Kita bisa melihat pendapatan restoran itu setidaknya dalam satu tahun, kondisinya menguntungkan atau tidak," tambahnya.

Tantangan yang dihadapi pengusaha kafe dan restoran

Penyelesaian masalah ini tidak mudah. PHRI telah berusaha menjembatani perbedaan antara pengusaha dan pemerintah terkait tarif royalti musik. 

Namun, Yusran menegaskan bahwa asosiasi tidak bisa memaksa pengusaha untuk memenuhi kewajiban royalti. Menurutnya, semua kembali kepada pemilik usaha.

Saat ini, para pengusaha berharap pemerintah bisa mencari solusi yang lebih adil. 

Adanya tarif royalti tinggi kemungkinan akan berdampak pada daya saing mereka. 

Pemerintah juga diminta untuk mempertimbangkan penghitungan royalti berdasarkan hasil pendapatan tahunan daripada jumlah kursi, yang dapat memberikan fleksibilitas bagi pengusaha yang baru pulih pasca-pandemi.

Sektor pariwisata dan kuliner Indonesia, yang sempat terpuruk, juga diprediksi akan terkena dampak dari masalah ini. 

Mie Gacoan Bali, sebagai salah satu restoran besar yang terlibat dalam kasus ini, menjadi contoh betapa besar dampak pelanggaran hak cipta musik terhadap reputasi dan finansial bisnis restoran.

(Sumber: Kompas.com/Krisda Tiofani | Editor: Yoga Sukmana)

 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi