DI TEPI sungai yang tenang, Narcisus, tokoh mitologi Yunani putra dewa sungai Cephissus, menatap bayangannya.
Air jernih memantulkan wajahnya, matanya yang kelam, dan senyumnya penuh rahasia. Ia terpikat, bukan karena kecantikan fisik, tetapi karena bayangan itu berbisik tentang dunia yang sempurna—dunia di mana ia adalah pusat segalanya.
Setiap gerak kepalanya, setiap kedipan matanya, diikuti bayangan itu dengan penuh setia. Namun, sungai ini bukan sekadar air; ia adalah cermin digital, diciptakan algoritma kecerdasan buatan yang tak pernah lelah.
Algoritma itu mengenal Narcisus lebih baik daripada dirinya sendiri (setiap ketakutannya, setiap hasratnya, dan setiap mimpi yang tak pernah ia ucapkan).
Bayangan di sungai berubah, menampilkan gulungan cerita yang disesuaikan: pujian dari orang-orang yang tak pernah ia temui, petualangan yang hanya ada dalam pikiran, dan janji-janji kebahagiaan yang selalu satu klik lagi.
Narcisus meraih air, ingin menyentuh bayangan itu, tetapi jari-jarinya hanya menyapu permukaan kosong. Semakin ia mencondongkan tubuh, semakin ia tenggelam ilusi.
Baca juga: Belajar Bahagia di Era Prompt Bersama Para Filsuf
Sungai digital ini, dengan algoritmanya yang licik, telah menjebaknya dalam khayalan tentang dirinya sendiri.
Khayalan yang bukan miliknya, tetapi diciptakan mesin yang haus perhatiannya.
Narcisus tidak lagi mendengar kicau burung atau merasakan angin di kulitnya. Ia lupa pada teman-teman yang menunggunya, pada tugas-tugas yang menumpuk, pada dunia nyata yang penuh warna di luar sungai.
Ia hanya melihat bayangan-bayangan yang semakin memudar seiring tubuhnya melemah, hingga akhirnya ia lenyap ditelan sungai yang ia kira mencintainya.
Tragisnya, Narcisus tidak mati karena cinta pada dirinya sendiri, tetapi karena cinta pada ilusi yang diciptakan algoritma, yang memperkuat pikiran dan khayalannya hingga ia kehilangan esensi keberadaannya.
Kisah Narcisus adalah cermin bagi kita; Netizen modern yang terpaku layar, terjebak dalam sungai digital yang menjanjikan kebahagiaan, tetapi mencuri kehidupan sejati.
Survei Sharing Vision 2025 mengungkap betapa banyak dari kita yang seperti Narcisus, tenggelam dalam bayangan ilusi digital.
Gambaran kecanduan internet di Indonesia
Berdasarkan survei kami, Sharing Vision, Mei-Juni 2025 dengan lebih dari 5.000 responden netizen di Indonesia menggunakan uji adiksi internet Kimberly Young, ditemukan bahwa aktivitas daring berlebihan berkontribusi pada gejala adiksi internet yang mengancam kebahagiaan hidup.
Berikut sepuluh temuan utama:
- Hanya 2 persen responden yang tidak pernah online lebih lama dari yang direncanakan, berarti 98 persen sering kehilangan kendali atas waktu daring mereka.
- Hanya 18 persen yang tidak pernah memeriksa email sebelum aktivitas lain, menunjukkan 82 persen memprioritaskan dunia digital di atas kebutuhan nyata.
- Hanya 24 persen yang tidak pernah menggunakan internet untuk menutupi kecemasan hidup, mengindikasikan 76 persen melarikan diri dari masalah psikologis ke dunia daring.
- Hanya 15 persen yang tidak pernah menjalin pertemanan baru secara daring, berarti 85 persen membangun hubungan virtual yang mungkin menggantikan interaksi nyata.
- Hanya 8 persen yang tidak pernah mengabaikan tugas rumah tangga demi online lebih lama, menunjukkan 92 persen mengorbankan tanggung jawab demi internet.
- Hanya 9 persen yang tidak pernah lebih memilih internet daripada teman, mengindikasikan 91 persen mengutamakan dunia daring ketimbang hubungan sosial.
- Hanya 17 persen yang tidak pernah mengalami penurunan kualitas pekerjaan karena internet, berarti 83 persen terdampak negatif dalam performa profesional.
- Hanya 27 persen yang tidak pernah mengalami penurunan prestasi karena sering online, menunjukkan 73 persen kehilangan potensi akademik atau profesional.
- Hanya 33 persen yang tidak pernah mendapat keluhan dari orang sekitar karena sering online, berarti 67 persen menyebabkan ketegangan sosial.
- Hanya 37 persen yang tidak pernah mudah tersinggung saat ditanya tentang aktivitas daring, mengindikasikan 63 persen menunjukkan tanda defensif terkait adiksi.
Data ini menunjukkan mayoritas netizen Indonesia menunjukkan gejala adiksi internet, yang dapat berkembang dari gangguan psikologis menjadi penyakit kejiwaan jika tidak ditangani, mencuri kebahagiaan sejati.
Kecanduan internet, seperti yang dialami Narcisus digital, mengalienasi kita dari kehidupan otentik.
Baca juga: Seperti Apakah Netizen Hari Ini dengan Pendekatan Plato?
Psikolog dunia, Martin Seligman, dalam teori PERMA (Positive Emotions/Emosi Positif), Engagement (Keterlibatan), Relationships (Hubungan), Meaning (Makna), dan Achievement (Pencapaian) menegaskan, kebahagiaan berasal dari hubungan positif, makna hidup, dan pencapaian nyata.
Ketika 91persen responden memilih internet daripada teman, elemen "Relationships" dari PERMA sudah terkikis, jelas melemahkan kesejahteraan emosional.
Filsuf Jerman Martin Heidegger memperingatkan ketidakotentikan dalam dunia teknologi, di mana kita terjebak dalam mode Being-towards-technology alih-alih Being-towards-Being.
Ketika 76 persen responden melarikan diri dari kecemasan ke internet, mereka menjauh dari makna hidup yang otentik.
Filsuf Korea, Byung-Chul Han, dalam The Burnout Society, mengkritik masyarakat digital yang mendorong produktivitas daring, tetapi menyebabkan kelelahan mental.
Dengan 83 persen responden mengalami penurunan produktivitas, kita melihat paradoks di mana koneksi digital memutuskan potensi sejati.
Filsuf Jerman Edmund Husserl mengajak kita kembali ke pengalaman langsung tanpa mediasi teknologi. Sementara psikolog Inggris, Rupert Sheldrake, menekankan, hubungan antarmanusia nyata menciptakan ikatan energi yang memperkaya jiwa.
Ketika 92 persen responden mengabaikan tugas rumah tangga atau 85 persen menjalin pertemanan daring, mereka kehilangan kontak dengan dunia fisik dan sosial yang esensial.
Adiksi internet, jika dibiarkan, dapat menjadi penyakit kejiwaan, sebagaimana diperingatkan Kimberly Young, dengan 63 persen responden menunjukkan sikap defensif dan 67 persen memicu ketegangan sosial.
Lantas, bagaimana mengatasi situasi ini?
Bersambung, baca artikel selanjutnya Detoksifikasi agar Bahagia, Menjauhi Bayangan Narcisus di Sungai Digital (Bagian II-Habis)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.