Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen STEI ITB & Founder Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Indonesia
Bergabung sejak: 18 Feb 2022

Dimitri Mahayana adalah pakar teknologi informasi komunikasi/TIK dari Bandung. Lulusan Waseda University, Jepang dan ITB. Mengabdi sebagai Dosen di STEI ITB sejak puluhan tahun silam. Juga, meneliti dan berbagi visi dunia TIK kepada ribuan profesional TIK dari ratusan BUMN dan Swasta sejak hampir 20 tahun lalu.

Bisa dihubungi di dmahayana@stei.itb.ac.id atau info@sharingvision.com

Detoksifikasi agar Bahagia, Menjauhi Bayangan Narcisus di Sungai Digital (Bagian II-Habis)

Baca di App
Lihat Foto
FREEPIK
Ilustrasi stres.
Editor: Sandro Gatra

GUNA melawan gejala adiksi internet, penulis mengusulkan 10 langkah detoksifikasi digital yang justru seluruhnya kebalikan dari temuan survei. Dan ini semua dirancang untuk memulihkan keseimbangan hidup.

Pertama, batasi waktu online. Alih-alih online tanpa rencana tetapkan batas waktu, misalnya dua jam per hari untuk aktivitas non-esensial.

Kedua, mulai hari dengan aktivitas nyata. Daripada memeriksa email/WA/medsos dulu, lakukan olahraga setelah shalat, dzikir, atau ibadah pagi untuk memulai hari dengan tenang.

Baca artikel sebelumnya: Detoksifikasi agar Bahagia, Menjauhi Bayangan Narcisus di Sungai Digital (Bagian I)

Ketiga, kelola kecemasan secara langsung. Alih-alih melarikan diri ke internet, praktikkan mindfulness atau konsultasi profesional.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keempat, bangun hubungan nyata. Daripada pertemanan daring, temui teman atau keluarga secara langsung secara rutin.

Kelima, selesaikan tugas rumah tangga. Alih-alih mengabaikan tanggung jawab, buat daftar tugas dan selesaikan sebelum online.

Keenam, prioritaskan interaksi sosial. Daripada memilih internet ketimbang teman, rencanakan aktivitas sosial seperti piknik.

Ketujuh, tingkatkan fokus kerja. Alih-alih membiarkan internet menurunkan produktivitas, gunakan teknik Pomodoro untuk bekerja tanpa gangguan. Cara kerja teknik Pomodoro: 

Kedelapan, jaga prestasi. Daripada membiarkan prestasi turun, maka tetapkan tujuan dan jauhkan perangkat digital saat belajar.

Kesembilan, dengarkan keluhan orang sekitar. Alih-alih mengabaikan mereka, diskusikan dampak internet dan komitmen untuk berubah.

Kesepuluh, bersikap terbuka. Daripada defensif tentang aktivitas daring praktikkan komunikasi jujur dan refleksi diri.

Baca juga: Belajar Bahagia di Era Prompt Bersama Para Filsuf

Semua tergantung pada kita, yang diusulkan adalah bukan utopia. Sepuluh usulan ini adalah hal keseharian kita semua, biasa dilakukan masyarakat Indonesia sebelum internet kemudian popular menyeruak negeri di akhir tahun 1990-an.

Belajar dari Disney

Mengapa sepuluh usulan di atas penting? Mari belajar dari kisah seorang Walt Disnet berikut.

Di pagi di Marceline, Missouri, tahun 1901, ketika dunia masih tertutup kabut dingin dan salju menyelimuti jalanan.

Di tengah kegelapan sebelum fajar, seorang anak kecil bernama Walt Disney, baru berusia lima tahun, melangkah keluar dari rumah petak sederhana keluarganya.

Dengan jaket usang yang terlalu besar untuk tubuh mungilnya, ia menyeret karung koran yang hampir seberat dirinya sendiri.

Salju menusuk telapak kakinya melalui sepatu yang sudah bolong, tangannya memerah karena dingin. Namun ia terus berjalan, melemparkan koran ke beranda rumah-rumah tetangga.

Di rumah, ayahnya, Elias, menunggu dengan tatapan keras. Dia ayah yang tak pernah ragu mengayunkan tangan jika pekerjaan Walt terlambat atau tak sempurna.

Setiap sen yang Walt peroleh dari koran itu mengalir ke kantong ayahnya, bukan untuk mainan atau permen, tetapi untuk kelangsungan keluarga yang nyaris tak pernah cukup.

Di sekolah, Walt sering tertunduk di meja, matanya berat karena kelelahan. Teman-temannya menertawakan anak yang selalu mengantuk ini, memanggilnya "si pemimpi" dengan nada ejekan.

"Kau tak akan jadi apa-apa, Walt," kata mereka, sambil tertawa.

Namun, di balik cemoohan itu, ada dunia lain yang hanya Walt lihat. Di gudang tua di belakang rumah, di bawah cahaya lilin yang berkedip-kedip, ia mencuri waktu untuk menggambar.

Dengan pensil tumpul dan kertas bekas, ia menciptakan dunia-dunia ajaib: ksatria pemberani, hewan-hewan yang bisa bicara, dan petualangan yang tak pernah ia alami di kehidupan nyata.

Tikus-tikus kecil yang berlarian di gudang menjadi teman imajinasinya. Salah satunya, bertahun-tahun kemudian, akan hidup sebagai Mickey Mouse, ikon yang akan mengubah dunia.

Kehidupan Walt tidak pernah mudah. Ketika keluarganya pindah ke Kansas City, ia mencoba peruntungan sebagai ilustrator di studio kecil. Namun, pintu impiannya seolah selalu tertutup rapat.

"Kamu kurang kreatif," kata bosnya, saat memecatnya tanpa basa-basi. Kegagalan itu seperti pukulan, tetapi Walt tidak menyerah.

Baca juga: Seperti Apakah Netizen Hari Ini dengan Pendekatan Plato?

Ia mendirikan perusahaan kecilnya sendiri, hanya untuk melihatnya bangkrut di usia muda. Di tengah malam-malam kelam, ketika dompetnya kosong dan perutnya keroncongan, Walt duduk di bangku taman, menatap bintang-bintang, dan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini akhir dari mimpiku?

Namun, seperti dalam film-film epik karya Steven Spielberg, di mana pahlawan selalu menemukan cahaya di tengah kegelapan, Walt menemukan kekuatan dalam dirinya.

Setiap luka, setiap penolakan, setiap tetes keringat di jalanan bersalju, menjadi batu loncatan menuju sesuatu yang lebih besar.

Dari puing-puing kegagalan, Walt Disney membangun kerajaan hiburan yang menyentuh hati jutaan orang.

Ia menciptakan dunia di mana anak-anak dan orang dewasa bisa percaya pada keajaiban, di mana tikus kecil bernama Mickey bisa menjadi simbol harapan, dan di mana taman bermain menjadi tempat di mana keluarga berkumpul untuk tertawa bersama.

Walt berhasil bukan karena ia melarikan diri dari dunia nyata, tetapi karena ia menatapnya dengan mata seorang pemimpi. Dengan mata yang melihat kanvas tak terbatas di tengah kesulitan.

Ia mengajarkan kita bahwa dunia nyata, meski penuh dengan salju yang menggigit dan cemoohan menyakitkan, adalah tempat di mana kita menemukan siapa kita sebenarnya.

Kisah Walt Disney adalah panggilan bagi kita semua. Di era di mana layar ponsel menyedot jiwa kita, di mana algoritma menjebak kita dalam bayangan ilusi seperti Narcisus modern, kita punya pilihan.

Kita bisa mematikan layar, melangkah keluar, dan menghadapi dunia nyata dengan keberanian dan imajinasi, seperti yang Walt lakukan.

Kesulitan bukanlah akhir, tetapi awal dari cerita epik. Cerita tentang bagaimana kita menemukan kebahagiaan sejati dengan merangkul kehidupan.

Mari kita mulai sekarang: lepaskan genggaman pada dunia digital, pandang dunia di sekitar kita, dan tulis kisah kita sendiri, dengan setiap langkah penuh harapan dan keajaiban. 

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi