KOMPAS.com - Rencana pembangunan peternakan babi di Jepara oleh PT Charoen Pokphand Indonesia menuai reaksi beragam dari berbagai pihak.
Fatwa haram dari MUI Jawa Tengah menjadi penanda kuat penolakan, tetapi pemerintah daerah dan pusat masih membuka ruang diskusi untuk mencari jalan tengah.
Di tengah tekanan publik dan urgensi investasi, sejumlah tokoh menyarankan opsi relokasi sebagai solusi jalan tengah.
Baca juga: Ciri-ciri Makanan yang Mengandung Minyak Babi, Apa Saja?
Lokasi baru yang steril dari keberatan warga dinilai bisa menjadi alternatif yang menghindari benturan antara nilai agama dan kebijakan ekonomi.
Lantas, benarkah relokasi akan menjadi solusi yang ditempuh terkait polemik peternakan babi ini?
Apakah relokasi bisa menjadi jalan tengah?
Anggota DPD RI Jawa Tengah, Abdul Kholik, menilai bahwa relokasi bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan antara investasi dan aspirasi warga.
Ia menyebut, solusi semacam ini perlu dipertimbangkan bila masih sesuai aturan dan tidak menimbulkan penolakan.
"Kalau masyarakat keberatan, harus dicarikan solusi, misalnya lokasi yang steril dari keberatan warga," ujar Kholik di kantornya, seperti dilansir dari Kompas.com, Selasa (5/8/2025).
Ia juga menekankan bahwa fatwa haram dari MUI harus dijadikan pedoman.
Pemerintah, kata Kholik, tetap harus menjaga kelayakan kebijakan berdasarkan ketentuan agama dan hukum yang berlaku.
"Fatwa itu harus menjadi pegangan karena berkaitan dengan produk yang secara agama punya aturan tersendiri," katanya.
Baca juga: Malaysia Tarik Produk Indonesia yang Berlabel Halal tapi Mengandung Babi
Apakah pemerintah akan serius cari lokasi alternatif?
Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimoen, mengisyaratkan kemungkinan mencari tempat lain untuk pembangunan peternakan tersebut.
"Kalau saran kami ya nanti bisa dibicarakan lagi, kita cari tempat yang lain kalau masih memungkinkan," ungkap Yasin usai rapat paripurna di Kantor DPRD Jawa Tengah, dikutip dari Kompas.com, Senin (4/8/2025).
Yasin menyebut bahwa meski nilai investasi tinggi, ketenteraman sosial tetap menjadi prioritas utama.
Polemik yang melibatkan MUI, NU, dan lembaga lain harus disikapi secara bijak agar tidak memicu perpecahan.
"Yang lebih utama adalah bagaimana kondusivitas di lingkungan tersebut," ujarnya.
Baca juga: Apa Babi Lebih Bahaya dari Sapi, Kambing, dan Kerbau karena Punya Cacing Pita?
Bagaimana status produk nonhalal secara hukum?
Kholik menjelaskan bahwa produk nonhalal sebenarnya tetap boleh beredar selama mencantumkan statusnya secara eksplisit.
Hal ini telah diatur dalam undang-undang tentang produk halal.
"Artinya kalau produk yang mengandung unsur barang yang tidak halal tersebut kan harus sebenarnya boleh beredar. Tetapi harus disebutkan bahwa barang tersebut tidak halal. Baik dengan tulisan ataupun dengan logo," katanya, dikutip dari Kompas.com, Selasa.
Namun, ia mendorong agar orientasi produksi diarahkan ke luar negeri atau segmen nonmuslim.
Menurutnya, pendekatan ini lebih aman secara sosial dan tetap memberi nilai ekonomi.
"Kalau lebih baik lagi kalau itu orientasinya untuk produk kebutuhan di luar (negeri). Artinya ada kebutuhan ekspor misalnya yang bisa dipenuhi sehingga bisa menambah nilai ekonominya," lanjutnya.
Apakah pemkab hanya merujuk pada fatwa MUI?
Yayasan Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKIS) mengingatkan agar Pemkab Jepara tidak hanya mengandalkan fatwa MUI sebagai dasar kebijakan.
Kebijakan publik, menurut mereka, seharusnya merujuk pada analisis yang inklusif dan objektif.
"Duduklah bareng antara pemerintah kabupaten, provinsi untuk cari solusi bareng yang terbaik. Jadi bukan kemudian menggunakan satu pendekatan dari MUI," ujar Manajer Program LKIS Tri Noviana, dikutip dari Kompas.com, Rabu (6/8/2025).
Noviana juga mendorong keterlibatan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Kemenag untuk menciptakan harmoni antarpemeluk agama dalam pengambilan keputusan.
Ia mengingatkan agar keberagaman di Jepara dijadikan dasar penyusunan kebijakan.
"Kalau kita bicara soal keadilan maka perwakilan dari agama-agama yang berbeda itu juga diundang. Jadi perspektifnya beragam," tuturnya.
Baca juga: BPJPH dan BPOM Temukan 7 Produk Berlabel Halal tapi Mengandung Babi, Ini Daftarnya
Sejauh mana implikasi Fatwa MUI Jateng?
Fatwa MUI Jawa Tengah dengan nomor Kep.FW.01/DP-P.XII/SK/VIII/2025 secara tegas melarang pendirian dan keterlibatan dalam usaha peternakan babi.
Ketua MUI Jateng, Ahmad Darodji, menyampaikan bahwa fatwa ini dikeluarkan atas dasar laporan warga mayoritas Muslim dan koordinasi dengan MUI Pusat.
"Kemudian yang di Jawa Tengah persidangan Komisi Fatwa mengeluarkan fatwa bahwa peternakan babi di Jawa Tengah hukumnya haram. Mereka yang membantu hukumnya haram. Mereka yang bekerja di sana hukumnya haram," ujar Darodji, Senin (4/8/2025).
Fatwa ini tak hanya melarang peternakan, tapi juga keterlibatan dalam bentuk apa pun, sesuai pertimbangan Al Quran dan hadis Nabi.
Baca juga: BPOM Rilis Daftar 9 Produk Pangan Mengandung Babi, 7 di Antaranya Bersertifikat Halal
Akankah solusi relokasi jadi kenyataan?
Hingga kini belum ada keputusan final dari pemerintah mengenai lokasi baru yang memungkinkan.
Namun, wacana relokasi terus bergulir sebagai kompromi agar investasi tetap berjalan tanpa mengabaikan norma sosial dan agama.
Para pihak menunggu langkah resmi berikutnya dari Pemerintah Kabupaten Jepara dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Relokasi ke wilayah yang tidak menimbulkan penolakan bisa menjadi langkah krusial untuk meredakan ketegangan.
(Sumber: Kompas.com/Titis Anis Fauziyah | Editor: Gloria Setyvani Putri, Krisiandi, Ihsanuddin)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.