KOMPAS.com - Indeks Optimisme Indonesia 2025 menunjukkan bahwa 55,8 persen responden merasa harga kebutuhan pokok mengalami kenaikan secara signifikan.
Hal tersebut terungkap dalam survei yang dilakukan Good News From Indonesia (GNFI) dan GoodStats pada 3 Juni-3 Juli 2025.
Survei melibatkan 1.020 responden yang tersebar di seluruh Indonesia dengan rincian Sumatera (21,2 persen), Jawa (61,5 persen), Kalimantan (5,8 persen), Sulawesi-Papua (7,3 persen), dan Bali-Nusa Tenggara (4,2 persen).
GNFI dan GoodStats mengumpulkan data melalui survei online dan Forum Group Discussion (FGD).
Baca juga: 10 Provinsi dengan Tingkat Kemiskinan Tertinggi 2025, Pulau Jawa Mendominasi
Skala pengukuran menggunakan Likert 1-10 dengan interpretasi skor dibagi ke dalam kategori "sangat pesimis" (1-2), "pesimis" (3-4), "netral" (5-6), "optimis" (7-8), dan "sangat optimis" (9-10).
Selain kenaikan harga kebutuhan pokok, hasil survei juga mencatat 33,8 persen responden merasa pendapatan rumah tangganya mengalami penurunan dalam enam bulan terakhir.
Sementara itu, 37,4 persen responden mengaku tidak merasakan penurunan pendapatan rumah tangga dan 38,8 persen mengaku tidak tahu atau tidak ingin menjawab.
“Sebanyak 33,8 persen responden merasa pendapatan rumah tangganya cenderung turun, menunjukkan pemulihan ekonomi belum sepenuhnya dirasakan, terutama di tingkat mikro,” jelas GNFI dan GoodStats dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Sabtu (9/8/2025).
Baca juga: 10 Provinsi dengan Tingkat Kemiskinan Terendah di Indonesia 2025, Papua dan Kalimantan Masuk Daftar
“Kondisi ini menunjukkan bahwa ketahanan ekonomi di tingkat rumah tangga masih rentan terhadap perubahan harga barang dan kondisi kerja,” tambahnya.
Hasil survei juga menunjukkan bahwa 67,6 persen responden mengaku menjadi korban atau menyaksikan PHK dalam enam bulan terakhir, sedangkan 32,4 persen menjawab tidak.
Tingginya gelombang PHK memberi sinyal bahwa pekerja, pemberi kerja, dan negara memerlukan langkah adaptif untuk menghadapi perubahan ekonomi dan dinamika pasar tenaga kerja.
Baca juga: Gen Z Bingung Cara Penuhi Kebutuhan di Masa Depan, Bagaimana Tips Atur Keuangannya?
Responden pesimis dengan peluang kerja
Dalam surveinya, GNFI dan GoodStats menunjukkan bahwa indeks optimisme pada dimensi ekonomi hanya 5,16 persen atau masuk kategori netral.
Hasil survei mengatakan, ragam tantangan ekonomi mendorong pelemahan daya beli masyarakat.
Walau optimisme terhadap daya beli cukup tinggi, masih ada bayang-bayang pesimisme di kalangan responden.
Sementara itu, mayoritas responden pesimis bahwa peluang kerja dan pertumbuhan ekonomi akan stabil.
Sebanyak 44,8 persen responden merasa pesimis dengan peluang kerja, sementara 29,4 persen memilih netral dan 25,8 persen masih memilih optimis.
Khusus pertumbuhan ekonomi, tingkat optimisme responden mencapai 40,4 persen dengan persentase netral sebanyak 34,6 persen dan optimis 25 persen.
Baca juga: PPN 12 Persen Resmi Diterapkan Mulai 1 Januari 2025, Kecuali Sembako
Indeks optimisme dimensi pendidikan juga netral
Kondisi netral juga tampak dalam indeks optimisme pada dimensi pendidikan. Sektor ini hanya mencapai skor 5,51.
Hasil survei menunjukkan, pemerataan akses pendidikan berkualitas masih menjadi tantangan, terutama di daerah terpencil, yang masih kesulitan mengakses sekolah dengan fasilitas lengkap dan guru berpengalaman.
“Hal ini turut dibuktikan dengan mayoritas responden yang merasa pesimis akan pemerataan pendidikan berkualitas,” tulis GNFI dan GoodStats dalam laporannya.
Di sisi lain, mayoritas responden merasa optimis akan kualitas tenaga pendidik dan relevansi sistem pendidikan dengan masa depan, meski tingkat pesimisme juga tinggi.
Jumlah responden yang mengaku optimis terhadap pemerataan kualitas pendidikan sebanyak 28,7 persen lebih rendah dari responden yang merasa pesimis 39,6 persen dan netral 31,6 persen.
Sementara itu, tingkat optimisme kualitas tenaga pendidik mampu mencapai 38,9 persen.
Persentase tersebut lebih tinggi ketimbang responden yang merasa pesimis sebesar 30,4 persen dan netral 30,8 persen.
Tingkat optimisme yang begitu tinggi juga bisa dilihat pada sektor relevansi sistem pendidikan.
Sebanyak 40,9 persen responden mengaku optimis, sedangkan 27,9 persen mengaku pesimis dan 21,2 persen netral.
Baca juga: Mengenal Tradisi Cit Gwee, Bukan Cuma Rebutan Sembako
Anak muda kalah optimis dari generasi tua
GNFI dan GoodStats juga mendapati temuan bahwa tingkat optimisme generasi muda yang berusia 17-25 tahun kalah dengan orang dewasa berusia 46-55 tahun.
Tingkat optimisme generasi muda hanya 5,45, sedangkan kelompok 46-55 tahun mencapai skor 6,21.
Menurut GNFI dan GoodStats, kondisi tersebut merupakan anomali karena biasanya generasi yang lebih tua yang diasosiasikan realistis dan sudah lelah menjalani kenyataan ternyata justru lebih optimis.
Sedangkan, anak muda yang idealnya masih penuh ambisi, idealisme, dan semangat malah diliputi oleh kegamangan.
“Generasi muda saat ini menghadapi tekanan ganda, yakni ketidakstabilan ekonomi, lapangan kerja yang kompetitif, dan ketidakpastian global. Mereka juga lebih kritis terhadap sistem yang dianggap gagal memenuhi harapan,” kata GNFI dan GoodStats.
Baca juga: Ilmuwan Ungkap Pola Otak Orang Optimis dan Pesimis, Berpengaruh pada Masa Depan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.