SETIAP pagi, di banyak pemukiman kelas menengah di kota-kota besar, sebuah tarian canggung dipertontonkan.
Mobil hendak keluar dari gerbang rumahnya, tapi lajunya terhenti. Dari arah berlawanan, mobil lain hendak masuk. Keduanya tak bisa bergerak.
Penyebabnya adalah "mobil-mobil sang raja"—kendaraan yang berjejer angkuh di kedua sisi jalan, mereduksi lebar jalan yang seharusnya bisa dilalui dua lajur menjadi lorong sempit untuk satu kendaraan saja.
Ada klakson pelan yang dibunyikan sebagai kode, ada lambaian tangan yang menyiratkan "silakan duluan", ada pula helaan napas panjang dari pengemudi yang merasa paginya sudah terganggu.
Pemandangan ini begitu jamak sehingga kita cenderung memakluminya sebagai kewajaran urban, ketidaknyamanan kecil yang harus diterima.
Namun, jika kita berhenti sejenak dan merefleksikannya, kita akan sadar bahwa ini bukanlah sekadar gangguan minor. Ini adalah gejala dari penyakit sosial yang lebih dalam: sebuah krisis etos, pemahaman yang terdistorsi tentang hak, dan pengkhianatan terhadap makna kemerdekaan itu sendiri.
Premis dasarnya sederhana, tapi menusuk: fenomena mobil tanpa garasi yang memakan badan jalan bukanlah masalah ketiadaan lahan, melainkan krisis tanggung jawab.
Baca juga: Bendera One Piece Berkibar, HAM Bergetar
Ini adalah manifestasi fisik dari egoisme ruang yang tumbuh subur di tengah masyarakat yang merayakan kebebasan individual tanpa menginternalisasi kewajiban komunal.
Ketika setiap meter persegi aspal publik dianggap sebagai lahan parkir pribadi yang gratis, kita tidak sedang menyaksikan solusi kreatif atas keterbatasan lahan, melainkan erosi nilai-nilai fundamental yang menopang kota yang beradab.
Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menunjukkan pertumbuhan kepemilikan kendaraan yang masif pasca-pandemi, indikator kemajuan ekonomi.
Namun, kemajuan ini menjadi ironis ketika tidak diimbangi dengan kemajuan cara berpikir.
Badan PBB untuk pemukiman, UN-Habitat, dalam laporannya seringkali menekankan bahwa kualitas hidup di perkotaan sangat bergantung pada kualitas ruang publik yang dapat diakses secara adil (INRIX. (2022).
Ketika jalanan yang seharusnya menjadi arteri kehidupan kota justru tersumbat oleh properti pribadi yang "diparkir", kita secara kolektif sedang menurunkan kualitas hidup kita sendiri.
Masalahnya kini bukan lagi "di mana harus parkir?", melainkan "sudah benarkah pemahaman kita tentang hak dan ruang bersama?".
Merampas hak dan keadilan ruang
Jalanan di depan rumah kita, sejatinya, bukanlah perpanjangan dari properti pribadi kita. Ia adalah ruang publik.
Seperti yang digagas dalam disertasi Muzwar Irawan (2014) berjudul “Makna Ruang Publik Kota (Studi Kasus: Lapangan Karebosi di Kota Makassar)” yang dimuat di jurnal Nalars, 13(1), ruang publik bukanlah sekadar ruang fisik yang kosong, melainkan arena kultural dan politik tempat hak-hak warga bertemu dan bernegosiasi.
Ketika mobil diparkir permanen di badan jalan, pemiliknya secara sepihak telah mengklaim hak yang bukan miliknya.
Ia telah merebut hak pejalan kaki untuk berjalan dengan aman di bahu jalan, hak anak-anak untuk memiliki ruang gerak yang lebih leluasa, hak tetangga untuk mengakses rumahnya tanpa halangan, dan yang terpenting, hak kendaraan darurat seperti ambulans atau pemadam kebakaran untuk lewat dengan cepat.
Baca juga: Tengkorak Topi Jerami: Literasi Simbolik di Era Pasca-Kebangsaan
Ini adalah bentuk pelanggaran terhadap keadilan ruang (spatial justice). Kelas menengah yang kritis terhadap kemacetan di jalan raya seringkali buta terhadap ketidakadilan yang mereka ciptakan sendiri di depan rumah mereka.
Mereka menuntut pemerintah menyediakan infrastruktur yang lebih baik, tetapi gagal menyediakan hal paling mendasar: tidak merampas infrastruktur yang sudah ada untuk kepentingan pribadi.
Kemerdekaan yang kita rayakan setiap tahun bukanlah kemerdekaan untuk mengambil apa yang bukan milik kita.
Kemerdekaan sejati justru terletak pada kemampuan untuk menahan diri dan menghormati hak orang lain atas ruang yang kita gunakan bersama.
Membiarkan jalanan bebas dari parkir liar adalah tindakan sederhana yang menegaskan bahwa kita memahami esensi dari hidup berkomunitas.
Masalah ini melampaui sekadar isu sosial; ia adalah cerminan dari rendahnya kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship).
Konsep ini, seperti yang diwujudkan dalam studi di Kampung Gambiran, Yogyakarta (Haryanto, J. T. (2020) yang ditulis di Jurnal Pemikiran Sosiologi 7(2), mengajarkan bahwa tanggung jawab kita sebagai warga negara tidak berhenti pada sesama manusia, tetapi meluas hingga ke lingkungan tempat kita tinggal.
Mobil yang terparkir di jalan tidak hanya memakan ruang. Ia menghalangi sistem drainase, menyebabkan genangan saat hujan.
Ia mempersulit petugas kebersihan untuk menyapu jalan, membiarkan debu dan sampah menumpuk yang pada akhirnya mencemari udara dan tanah.
Deretan mobil yang terpanggang di bawah sinar matahari turut menyumbang pada efek pulau bahang perkotaan (urban heat island), membuat lingkungan sekitar menjadi lebih panas.
Kita mungkin bangga memiliki mobil baru yang mengkilap, tetapi kita seringkali buta terhadap jejak ekologis yang ditinggalkannya, bahkan saat ia diam.
Kita menuntut udara bersih, tetapi berkontribusi pada polusi mikro di lingkungan kita sendiri. Kita mengeluhkan banjir, tetapi ikut andil dalam menyumbat saluran air.
Baca juga: Sri Mulyani, Urunan Gaji Dosen, dan Ironi Negara Pendidikan
Kemerdekaan sejati adalah bebas dari egoisme ruang yang merusak. Ia adalah kesadaran bahwa trotoar, selokan, dan aspal jalan merupakan bagian dari ekosistem urban yang rapuh.
Menjaga fungsi-fungsi ekologis ini adalah bentuk tanggung jawab kewarganegaraan yang paling nyata, langkah kecil untuk memastikan kota kita tetap layak huni bagi generasi mendatang.
Jebakan prestise konsumtif semu
Mengapa fenomena ini begitu meluas? Jawabannya terletak pada perspektif sosial-budaya kita terhadap kepemilikan mobil.
Seperti yang dianalisis oleh Dr. Yannes Martinus Pasaribu, M.Sn (Kompas, 22/7/2022) dari ITB, di Indonesia, mobil seringkali bukan lagi sekadar alat transportasi fungsional, melainkan telah berevolusi menjadi simbol status, penanda kesuksesan, dan validasi sosial.
Dorongan untuk diakui sebagai bagian dari kelas menengah yang "berhasil" seringkali lebih kuat daripada pertimbangan logis tentang kebutuhan dan kapasitas.
Akibatnya, banyak orang memaksakan diri membeli mobil tanpa memikirkan konsekuensi paling mendasar: di mana mobil itu akan "tidur" di malam hari.
Inilah kemerdekaan yang semu, kemerdekaan konsumtif yang menjebak kita dalam perlombaan prestise tanpa akhir.
Kita merasa "merdeka" karena mampu membeli mobil, tetapi pada saat yang sama kita memenjarakan diri kita dan tetangga kita dalam ketidaknyamanan dan konflik sosial.
Tulisan ini secara khusus ditujukan kepada kita, kelas menengah penikmat pembangunan, untuk merefleksikan kembali makna sukses.
Apakah sukses itu diukur dari apa yang bisa kita pamerkan di pinggir jalan, atau dari kontribusi kita dalam menciptakan lingkungan hidup yang nyaman dan adil?
Kemerdekaan yang sejati bukanlah kebebasan untuk mengonsumsi tanpa batas, melainkan kesadaran untuk memilih secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampak sosial dari setiap pilihan pribadi kita.
Bela negara dari tepi jalan
Dalam konteks urbanisasi yang pesat, makna bela negara pun harus diperluas. Bela negara hari ini bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi tentang partisipasi aktif warga dalam menjaga stabilitas sosial dan kelestarian lingkungan( Kusumastuti & Khoir, 2019).
Ketika kita membiarkan parkir liar merajalela, kita secara tidak langsung sedang menggerogoti ketertiban sosial. Kita menciptakan potensi konflik antarwarga, menumbuhkan sikap apatis terhadap aturan, dan melemahkan rasa kebersamaan.
Kesadaran berbangsa dan bernegara mendorong kita untuk menjaga harmoni. Menjaga harmoni di tingkat mikro—di gang pemukiman kita—adalah fondasi dari harmoni di tingkat makro.
Baca juga: Vox Iuvenes Vox Dei?
Dengan memastikan mobil kita memiliki garasi, kita tidak hanya menjadi tetangga yang baik, kita sedang melakukan tindakan bela negara.
Kita membela hak publik, menjaga kelestarian lingkungan mikro, dan memperkuat tatanan sosial.
Kemerdekaan untuk menikmati hasil pembangunan harus diimbangi dengan kesadaran untuk menjaga fondasi negara ini, yang salah satunya adalah keteraturan dan rasa hormat dalam kehidupan bersama.
Pada akhirnya, solusi atas masalah "mobil-mobil sang raja" ini tidak hanya terletak pada penegakan perda oleh pemerintah. Ia berakar pada pendidikan dan kesadaran.
Sebagaimana studi di Kampung Bekelir yang berhasil mengubah perilaku warga melalui pendidikan kewarganegaraan berbasis komunitas, kita pun perlu mendidik diri kita sendiri.
Kita perlu memulai percakapan di lingkungan RT/RW, saling mengingatkan dengan empati, dan bersama-sama mencari solusi.
Kemerdekaan sejati adalah kemerdekaan yang aktif, yang mau terlibat dan bertanggung jawab dalam menjaga ruang hidup bersama.
Sudah saatnya kita memerdekakan jalanan kita dari egoisme pribadi, dan mengembalikannya pada fungsinya sebagai milik publik, demi kota yang lebih adil, lestari, dan manusiawi untuk semua.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.