KOMPAS.com - Seorang pria berusia 60 tahun menderita kondisi langka usai menerima saran diet dari chatbot berbasis kecerdasan buatan (AI), ChatGPT.
Hal tersebut dilaporkan dalam sebuah studi kasus yang diterbitkan dalam jurnal Annals of Internal Medicine pada 5 Agustus 2025.
Dikutip dari The Guardian, Selasa (12/8/2025), studi tersebut ditulis oleh tim ilmuwan dari University of Washington, Seattle, Washington, Amerika Serikat.
Saran diet dari ChatGPT itu membuat korban meracuni dirinya sendiri hingga mengalami gangguan mental parah.
Namun, studi tersebut tidak mengungkapkan identitas korban, lokasi, dan waktu peristiwa itu terjadi.
Baca juga: Mengenal Dark AI yang Jadi Ancaman Serius bagi Dunia Digital
Halusinasi akibat konsumsi natrium bromida
Cerita ini bermula ketika korban memutuskan untuk menghilangkan garam dari pola makannya.
Pria itu kemudian meminta ChatGPT untuk mencari alternatif pengganti garam.
ChatGPT kemudian menyarankan natrium bromida, senyawa yang secara historis digunakan dalam industri farmasi dan manufaktur.
Pria itu lantas membeli natrium bromida sesuai saran ChatGPT dan menggunakannya sebagai pengganti garam meja selama tiga bulan.
Baca juga: Pakar Sebut AI Bikin Gelar Sarjana Ketinggalan Zaman, Ini Pekerjaan yang Terdampak
Akibatnya, ia mengalami delusi paranoid dan segera dilarikan di ruang gawat darurat rumah sakit. Padahal, dia sebelumnya tidak mempunyai riwayat masalah kesehatan mental.
Pria itu justru meyakini bahwa tetangganya yang telah meracuni dirinya, sehingga enggan menerima air dari rumah sakit, meski ia sendiri merasakan haus yang ekstrem.
Dia terus mengalami peningkatan paranoia, serta menderita halusinasi pendengaran dan penglihatan.
Pria tersebut akhirnya ditempatkan dalam ruang psikiatri secara paksa setelah sempat mencoba melarikan diri selama perawatan.
Baca juga: Kurir di India Manfaatkan AI untuk Layani Pelanggan Berbahasa Inggris
Menderita kondisi bromisme
Dilansir dari USA Today, Rabu (13/8/2025), dokter menyebutkan, pria itu menderita keracunan bromida atau dikenal juga sebagai bromisme.
Kondisi itu dapat menyebabkan gejala neurologis dan psikiatris, serta jerawat dan angioma ceri (benjolan pada kulit), kelelahan, insomnia, ataksia ringan (kecanggungan), dan polidipsia (haus berlebihan).
Gejala lain dari bromisme dapat meliputi mual dan muntah, diare, kejang, kantuk, sakit kepala, lemas, penurunan berat badan, kerusakan ginjal, kegagalan pernapasan, dan koma.
Pada zaman dahulu, kondisi bromisme ini jauh lebih umum, karena garam bromida mudah ditemui dalam produk sehari-hari.
Namun, saat ini, garam bromida digunakan dalam obat-obatan tanpa resep, sering kali menyebabkan gejala neuropsikiatri dan dermatologis.
Pria itu kemudian dirawat di rumah sakit selama tiga minggu dan gejalanya secara bertahap membaik.
Baca juga: Politisi Inggris Ciptakan Chatbot AI Kloningan Dirinya untuk Dengar Keluhan Warga
Tanggapan ChatGPT
Perusahaan OpenAI menegaskan, ChatGPT tidak bisa digunakan sebagai saran kesehatan.
“Syarat dan ketentuan kami menyatakan bahwa ChatGPT tidak dimaksudkan untuk digunakan dalam pengobatan kondisi kesehatan apa pun, dan bukan pengganti nasihat profesional,” terang OpenAI.
“Kami memiliki tim keamanan yang bekerja untuk mengurangi risiko dan telah melatih sistem AI kami untuk mendorong orang mencari bimbingan profesional,” imbuhnya.
Sementara, studi yang meneliti kasus itu menyebutkan, AI berisiko memberikan informasi tanpa konteks.
ChatGPT dan sistem AI lainnya juga bisa menghasilkan ketidakakuratan ilmiah, dengan tidak memiliki kemampuan untuk membahas hasil secara kritis.
Hal tersebut pada akhirnya akan mengakibatkan penyebaran informasi yang salah kepada para penggunanya.
Baca juga: Chatbot AI Kalahkan 30 Matematikawan Top Dunia, Jawab Soal yang Belum Terpecahkan
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.