KOMPAS.com - Beberapa hari terakhir, narasi pembubaran DPR menggema dan memaksa massa untuk melakukan aksi demonstrasi besar-besaran.
Kehadiran narasi tersebut merupakan buntut kemarahan publik akibat adanya tunjangan rumah Rp 50 juta per per bulan bagi setiap anggota DPR.
Kebijakan tersebut dianggap tak seharusnya dilakukan, terutama melihat kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini sedang lesu.
Namun, apakah pembubaran DPR menjadi solusi yang tepat?
Baca juga: Saran untuk Presiden, DPR, dan Polri untuk Redam Kemarahan Publik...
Pengamat politik sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI), Cecep Hidayat, menjelaskan beberapa kemungkinan yang bisa terjadi apabila DPR dibubarkan.
Menurut dia, keberadaan DPR sangat penting di negara demokrasi karena berfungsi untuk mengawasi pemerintah.
“Secara konstitusional DPR kan lembaga legislatif ya, yang membuat Undang-Undang, menyetujui APBN, atau mengawasi pemerintah,” kata Cecep saat dihubungi Kompas.com, Minggu (31/8/2025).
Baca juga: Eko Patrio dan Uya Kuya Dinonaktifkan dari DPR RI, Susul Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach
Akibatnya, akan ada beberapa risiko yang dapat terjadi jika DPR benar-benar dibubarkan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Kekosongan kekuasaan legislatif
Salah satu risiko yang bisa terjadi jika DPR bubar, menurut Cecep, adalah adanya kekosongan kekuasaan legislatif.
“Negara bisa masuk ke dalam situasi krisis konstitusional. Padahal keberlangsungan sebuah negara modern itu sangat ditopang oleh institusi ini (DPR) ya,” ujar Cecep.
“Jadi bubarnya DPR bisa berarti hilangnya salah satu pilar, yakni institusi yang mengawasi dan menyeimbangkan, gitu,” sambung dia.
Baca juga: Ahmad Sahroni Dicopot dari DPR RI Buntut Pernyataan Kontroversial
Berpotensi menimbulkan dominasi eksekutif
Jika DPR bubar, seluruh fungsi legislasi dan pengawasan akan beralih ke tangan eksekutif. Artinya, presiden berpotensi menjadi penguasa absolut.
“Selanjutnya, dalam konteks Trias Politica, ketika yang satu bubar, berarti apa? Akan ada dominasi yang lain. Dalam hal ini, bisa jadi ada dominasi eksekutif yang terjadi gitu,” jelas Cecep.
Baca juga: Resmi Dinonaktifkan dari DPR, Apakah Sahroni dan Nafa Urbach Masih Digaji?
Tanpa DPR sebagai legislatif, presiden selaku eksekutif otomatis menguasai hampir seluruh kewenangan negara.
“(Presiden bisa berkuasa penuh) karena tidak ada lembaga yang mengimbangi, dalam hal ini legislatif. Di sini berarti, yang terjadi kemudian bisa mengorbankan demokrasi ke depannya,” pungkasnya.
Muncul lembaga alternatif
Ada kemungkinan lain yang bisa terjadi jika DPR dibubarkan, kata Cecep, yakni kemunculan lembaga alternatif baru.
“Kan DPR bubar karena krisis legitimasi, kemudian bisa aja ada bentuk perwakilan baru yang ad hoc, meskipun ini tidak ada di konstitusi sebenarnya,” jelas Cecep.
Baca juga: Alasan NasDem Nonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR
“Jadi krisis legitimasi bisa menghasilkan institusi baru yang mungkin lebih bisa diterima rakyat. Ini bisa menjadi seperti reformasi, tapi juga bisa rawan manipulasi elite,” lanjutnya.
Cecep menerangkan bahwa, dalam konteks negara demokrasi, suka atau tidak dengan adanya partai politik atau parlemen, negara tetap membutuhkannya untuk menyeimbangkan kekuasaan.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.