Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 19 Jul 2016

Dosen Digital Public Relations Telkom University, Lulusan Doktoral Agama dan Media UIN SGD Bandung. Aktivis sosial di IPHI Jabar, Pemuda ICMI Jabar, MUI Kota Bandung, Yayasan Roda Amal & Komunitas Kibar'99 Smansa Cianjur. Penulis dan editor lebih dari 10 buku, terutama profil & knowledge management dari instansi. Selain itu, konsultan public relations spesialis pemerintahan dan PR Writing. Bisa dihubungi di sufyandigitalpr@gmail.com

TikTok, Demo, dan Ilusi Kuasa Medsos

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/rwa.
Pengunjuk rasa melakukan aksi di bawah Jembatan Semanggi, Jakarta, Jumat (29/8/2025).
Editor: Sandro Gatra

PUBLIK masih mengingat riuh demo pada Senin 25 Agustus 2025, yang berlangsung di sekitar Gedung DPR/MPR RI Jakarta.

Ratusan pelajar ikut terseret turun ke jalan, hingga 196 orang diamankan aparat. Padahal saat itu, jam sekolah masih berlangsung.

Dua hari kemudian, Kamis 28 Agustus, ribuan buruh kembali memenuhi kawasan Senayan dan heboh dengan meningalnya seorang pengemudi ojol.

Demonstrasi meluas, hingga terjadi pembakaran sejumlah gedung pemerintah dan DPRD. Selain itu, terjadi penjarahan di rumah tokoh-tokoh nasional.

Polda Metro Jaya lalu memberi imbauan agar massa tidak melakukan siaran langsung di media sosial, terutama TikTok.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi menyebut, siaran langsung yang disertai harapan gift dan hadiah berpotensi memancing pelajar ikut bergerak ke jalan.

Aparat bahkan mengaku akan memantau live streaming karena dinilai dapat memicu provokasi.

Baca juga: Di Mana Menko Polkam Budi Gunawan?

Fenomena ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar teknis keamanan. Media sosial, khususnya TikTok, kini menjelma arena dominan dalam kehidupan publik Indonesia.

Bukan hanya sebagai tempat hiburan, melainkan panggung politik, ruang mobilisasi, sekaligus etalase identitas sosial.

Yang menarik, polisi tidak lagi semata mengawasi pengeras suara atau selebaran demonstran, melainkan ikut memberi imbauan tentang bagaimana seharusnya masyarakat menggunakan fitur live TikTok.

Inilah titik di mana platform digital bukan sekadar medium komunikasi, melainkan instrumen kekuasaan yang menandingi, bahkan melampaui ruang publik konvensional.

Jean Baudrillard, filsuf Perancis, sejak awal telah memperingatkan tentang dunia Simulacra and Simulation (1981).

Menurut dia, di era digital kita hidup dalam realitas semu, ketika representasi dan simbol menggantikan kenyataan itu sendiri.

Live TikTok saat demo bukan lagi sekadar dokumentasi, tetapi membentuk persepsi baru yang bisa lebih berpengaruh dibanding peristiwa fisik.

Seorang pelajar yang melihat ribuan komentar dan emotikon dalam siaran langsung bisa merasa bahwa turun ke jalan adalah kewajiban moral, meski tanpa pernah mengerti substansi tuntutan demo itu.

Di sini kita melihat bagaimana simulasi menggantikan realitas, menciptakan “apokaliptik budaya” di mana ilusi lebih kuat dari kenyataan.

Yuval Noah Harari dalam Nexus (2024) juga mengingatkan bahwa manusia bisa kehilangan kedaulatannya di bawah kekuasaan teknologi.

Baca juga: Negara Bukan Malaikat, Rakyat Bukan Nabi

Dataisme, kata Harari, adalah agama baru yang menggeser humanisme. Jika algoritma TikTok menentukan apa yang viral, apa yang dianggap penting, dan siapa yang layak ditonton, maka masyarakat dengan cepat menyerahkan kendali kepada logika data, bukan lagi pada kesadaran rasional.

Demo buruh yang disiarkan langsung berubah menjadi komoditas visual, bersaing dengan konten hiburan lain, dan akhirnya lebih ditentukan oleh algoritma platform daripada oleh gagasan yang diperjuangkan.

Byung-Chul Han, filsuf Korea Selatan, dalam Burnout Society (2015) menambah perspektif menarik. Ia menyebut kita hidup dalam masyarakat prestasi, di mana manusia tertekan bukan oleh larangan negara, melainkan oleh tuntutan internal untuk tampil produktif dan bahagia.

Live TikTok saat demo bisa dibaca sebagai bagian dari tekanan itu. Peserta aksi merasa harus menampilkan diri, harus terlihat berani, harus mendapat gift atau komentar ramai, karena di era digital nilai diri ditakar oleh performa sosial.

Akhirnya demo bukan lagi sekadar aksi politik, tetapi juga panggung personal untuk menunjukkan eksistensi.

Inilah bentuk baru dari kontrol sosial yang halus, tapi menyiksa, membuat masyarakat kelelahan dan kehilangan makna sejati.

Neil Postman sejak 1992 dalam bukunya, Technopoly, sudah menegaskan bahwa masyarakat modern menyerahkan nilai, budaya, bahkan moralitas ke tangan teknologi.

Ketika demo buruh, demo pelajar, bahkan aksi solidaritas sosial harus menunggu verifikasi TikTok untuk menjadi penting, maka yang berdaulat bukan lagi masyarakat sipil atau parlemen, tetapi teknologi itu sendiri.

Masyarakat seolah rela tunduk pada logika platform, sementara nilai luhur demokrasi semakin dikerdilkan menjadi tontonan yang viral.

Paradoks ganda

Fenomena demo beberapa hari terakhir, memperlihatkan dua paradoks sekaligus. Pertama, media sosial telah memberi ruang ekspresi yang luas, membuka kanal partisipasi politik yang mungkin tidak tersedia di media arus utama.

Namun kedua, media sosial juga menggeser substansi aksi ke wilayah citra dan performa. Aksi yang seharusnya berorientasi pada kebijakan publik bisa berubah menjadi arena mencari gift, like, dan pengikut baru.

Di titik ini, tantangan bangsa tidak lagi sekadar mengamankan demo di jalan raya, tetapi mengelola ruang publik digital.

Baca juga: Mundurlah, Kita Sudah Terlalu Jauh

Aparat boleh saja mengimbau, tetapi lebih penting adalah bagaimana negara bersama masyarakat sipil membangun literasi digital yang kritis.

Masyarakat perlu sadar bahwa tidak semua yang viral adalah nyata, dan tidak semua yang ramai ditonton mencerminkan kebenaran.

Tanpa kesadaran ini, kita akan terus hidup dalam jebakan simulasi, kehilangan pijakan pada realitas, dan akhirnya demokrasi hanya menjadi permainan algoritma.

Kita tentu tidak bisa menutup TikTok atau melarang sepenuhnya siaran langsung. Yang bisa dilakukan adalah membangun budaya komunikasi digital yang lebih dewasa.

Demonstrasi tetap penting sebagai hak konstitusional, tetapi harus dikembalikan pada substansi tuntutan, bukan sekadar konten viral.

Masyarakat perlu belajar bahwa suara mereka lebih berharga daripada gift dan komentar semu. Pemerintah, media, dan platform digital harus bekerja sama menciptakan ruang publik yang aman, sehat, dan jujur, agar demokrasi tidak terjebak dalam ilusi layar kecil yang menggoda. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi